Seorang ayah sedang meninabobokan dua anaknya. Anaknya yang berumur 5 tahun berkata kepada adiknya, “Kalau kita pura-pura tidur, pasti Ayah akan berhenti bernyanyi.”

Dalam keluarga tradisional Asia, sosok ayah dikenal otoriter dan jauh secara emosional.

Zaman berubah dan sekarang kita melihat ayah-ayah muda mencoba lebih banyak berinteraksi dan menyediakan waktu untuk anak mereka. Kita bahkan punya gerakan yang mendorong pola asuh anak yang lebih baik bagi para ayah agar keluarga dapat berfungsi dengan sehat.

Apakah ada contoh pola asuh anak oleh ayah dalam Perjanjian Baru? Memang tidak mudah menemukan perikop yang membahas hal ini secara khusus, walaupun dalam 1 Tesalonika 2 Paulus menggunakan metafora tentang ayah sebagai pendidik untuk menjelaskan pelayanan yang efektif.

Kamu adalah saksi, demikian juga Allah, betapa saleh, adil dan tak bercacatnya kami berlaku di antara kamu, yang percaya. Kamu tahu, betapa kami, seperti bapa terhadap anak-anaknya, telah menasihati kamu dan menguatkan hatimu seorang demi seorang, dan meminta dengan sangat, supaya kamu hidup sesuai dengan kehendak Allah, yang memanggil kamu ke dalam Kerajaan dan kemuliaan-Nya. (1 Tesalonika 2:10-12)

Prinsip-prinsip yang ditemukan di sini berlaku untuk orangtua lahiriah dan rohani (seperti pendeta dan mentor). Bahkan, orangtua lahiriah adalah juga orangtua rohani karena mereka bertanggung jawab memelihara kehidupan rohani anak-anak mereka. Ada dua prinsip umum tentang pola asuh rohani anak oleh ayah dalam perikop ini.

Pertama, ayah bertanggung jawab menjadi teladan yang baik. Jadi tidak heran bila Paulus berbicara tentang pelayanan teladan rohani ini dalam ayat 10 melalui tiga istilah: saleh, adil, dan tak bercacat. Ketiga istilah ini adalah adverbia (berkaitan dengan kata kerja), bukan adjektiva (berkaitan dengan kata benda) karena ketiga kata tersebut berfokus pada cara hidup Paulus.

Kata “saleh” berkaitan dengan siapa Anda. Kata Yunani hosios merujuk pada hati yang takut, hormat, dan ingin menyenangkan Allah. Kata ini juga diterjemahkan sebagai “saleh” dan “tidak berorientasi duniawi” serta memiliki implikasi yang penting.

Kata “adil” (dikaios) berkaitan dengan apa yang kita katakan dan lakukan. Kata ini berhubungan dengan hidup berintegritas dan berperilaku jujur sesuai dengan standar Allah.

Sementara kata “tak bercacat” (amémptōs) berarti “tanpa salah” dan berkaitan dengan apa yang dikatakan orang tentang Anda. Ini bukan berarti musuh-musuh Paulus tidak menuduhnya—karena memang mereka melakukannya—hanya saja tuduhan itu tidak benar.

Ketiga istilah tadi menggambarkan seorang ayah yang hidupnya menjadi teladan bagi anak-anaknya. Kata-kata ini menggaungkan apa yang ditulis Rasul Paulus: “Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus” (1 Korintus 11:1), dan “Saudara-saudara, ikutilah teladanku dan perhatikanlah mereka, yang hidup sama seperti kami yang menjadi teladanmu” (Filipi 3:17). Paulus tidak berkata, “Lakukan seperti yang aku katakan tetapi jangan mengikuti perilakuku.” Atau, “Pandang kepada Yesus tetapi jangan kepadaku!” Dia berkata, “Pandang kepada Yesus tetapi juga pandanglah aku, karena engkau akan menemukan Yesus dalam hidupku.”

Para ayah diharapkan dapat memberi teladan hidup sebagai murid Kristus. Mereka harus menunjukkan bagaimana mengasihi Kristus, bagaimana berinteraksi dengan orang-orang yang mereka kasihi dan orang lain, bagaimana menjalankan disiplin Kristen, bagaimana menggunakan uang, bagaimana melayani dan bagaimana menjalani hidup. Pengaruh pelayanan ayah ada pada tindakan nyata atas ucapannya, pertama-tama dalam kehidupannya sendiri. C. H. Spurgeon pernah berkata: “Perilaku manusia selalu lebih kuat daripada kata-katanya. Ketika orang menilainya, mereka akan menilai perbuatan, karena itu mempunyai nilai yang lebih besar daripada perkataan. Bila hidup dan doktrin yang dianutnya bertolak belakang, maka orang hanya akan menerima perbuatannya dan menolak perkataannya.”1 Spurgeon juga berkata, “Anda harus terlebih dahulu mengisi tekonya, atau Anda tidak bisa berkeliling dan mengisi cangkir orang-orang haus yang meminta air.”2

Kedua, para ayah harus menjadi motivator yang baik. Paulus menggunakan tiga istilah dalam ayat 11-12: menasihati, menguatkan hati, dan meminta dengan sangat. Mungkin cara terbaik untuk memahami hal ini adalah dengan membayangkan apa yang akan dilakukan seorang jenderal pasukan ketika ia mendatangi medan perang untuk memotivasi pasukannya.

Dalam perjalanan menuju garis depan, ia bertemu prajurit-prajurit yang meninggalkan medan perang karena takut. Mereka membutuhkan dorongan semangat. Inilah saatnya memberi dorongan. Jenderal menasihati dan mendorong semangat pasukannya dengan meyakinkan mereka bahwa mereka akan menang. Kehadirannya di medan perang adalah penyemangat bagi prajurit-prajurit yang kehilangan semangat.

Ketika melanjutkan perjalanan ke garis depan, jenderal tersebut bertemu lagi dengan sekelompok prajurit. Mereka terluka. Mereka terbaring di tanah dan memerlukan bantuan. Petugas medis sedang menolong mereka. Jenderal tersebut turun dari jip untuk berbicara dan mencurahkan perhatian kepada prajuritnya. Inilah waktunya memberi penghiburan. Prajurit yang terluka perlu penghiburan dan penguatan.

Kemudian sang jenderal maju ke garis depan. Peperangan sangat pelik. Prajurit-prajuritnya yang setia bertempur dengan gagah berani. Inilah waktunya untuk meminta dengan sungguh-sungguh. Sang jenderal memuji mereka, membantu mereka dalam pertempuran, dan meminta mereka dengan sungguh-sungguh untuk terus bertahan.

Sungguh indah gambaran ayah yang penuh motivasi. Ini menunjukkan sosok ayah sebagai pemandu sorak yang menasihati anak-anaknya yang patah semangat, penasihat yang menguatkan hati anak-anaknya yang terluka, dan pelatih yang memacu timnya untuk terus maju.

Tujuan pola asuh rohani yang baik, yang dilakukan ayah melalui teladan dan motivasi adalah agar anak-anak “hidup sesuai dengan kehendak Allah” (1 Tesalonika 2:12). Betapa bahagianya seorang ayah sewaktu melihat anaknya mengambil langkah pertama yang baik. Kebahagiaannya terus berlanjut ketika ia melihat anaknya terus berjalan sebagai anak Allah. Inilah tujuan pola asuh anak oleh ayah.

 

Renungkan

Renungkan tiga istilah yang dipakai untuk menggambarkan pelayanan pemberian teladan oleh ayah; saleh, adil, dan tak bercela. Dalam hal apakah masing-masing istilah ini menjadi penting?

Menurut Anda, apa yang anak Anda lihat dari diri Anda?

Pertimbangkan penjelasan ketiga istilah (menasihati, menguatkan hati, dan meminta dengan sangat) yang menggambarkan pelayanan seorang ayah dalam memotivasi anak-anaknya. Mengapa setiap istilah tersebut penting, dan apa yang disampaikan kata- kata tersebut tentang berbagai kebutuhan anak, serta bagaimana ayah mereka dapat membantu memenuhi kebutuhan mereka?

 


1 Helmut Thielicke, Encounter with Spurgeon, terj. John W. Doberstein (Cambridge: James Clark & Co, 1964), 103.
2 Charles Spurgeon, “Three Sights Worth Seeing”, khotbah di Metropolitan Tabernacle, Newington, 24 Maret 1887, (http://archive.spurgeon.org/sermons/1979.php).

Disadur dari buku Membesarkan Generasi Mendatang, Robert Solomon, PT Duta Harapan Dunia, 2019.