Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada TUHAN, dan buah kandungan adalah suatu upah. Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda. (Mazmur 127:3-4)

Dalam Nyanyian Ziarah ini, Raja Salomo menggunakan analogi seorang pemanah untuk menggambarkan pola asuh anak. Analogi ini terus-menerus menjadi sumber pewahyuan yang memberikan pemahaman baru dalam perjalanan saya sebagai orangtua.

Tindakan melesatkan anak panah, dapat dibagi menjadi dua bagian: menarik anak panah dan membidik; serta melepaskan anak panah dan membiarkannya terbang.

Saya yakin setiap pemanah sepakat bahwa tindakan memanah tidaklah sesederhana itu, tetapi izinkan saya menggunakan kerangka sederhana ini untuk menjelaskan beberapa prinsip pola asuh di era digital.

Tarik dan Bidik

Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu. (Amsal 22:6)

Saya sudah berbicara dengan ribuan orangtua di seluruh dunia, dan tampaknya ada satu tantangan dalam mengasuh anak yang berlaku secara universal di zaman sekarang: Pergumulan dengan anak-anak kita mengenai penggunaan perangkat digital.

Inilah sumber pertengkaran yang selalu terjadi di hampir semua keluarga ketika anak-anak menolak mematuhi batas-batas yang ditetapkan orangtua.

Banyak orangtua akhirnya menyerah dan membiarkan anak-anak dengan bebas menggunakan gawai; sementara sebagian orangtua lainnya mengambil tindakan keras yang membuat relasi orangtua-anak retak dan rusak.

Menetapkan peraturan dalam menggunakan perangkat digital sejak anak masih kecil sangatlah penting. Jauh lebih mudah mengajar dan menegakkan peraturan tersebut di awal, daripada mencoba menegakkan kembali peraturan yang telah telanjur dipandang sebelah mata oleh anak.

Fokus pada Perilaku, Bukan Perangkat

Pertanyaan yang paling sering dilontarkan orangtua di acara lokakarya pola asuh era digital adalah: “Berapa banyak waktu memakai gawai yang diperbolehkan bagi anak saya?”, atau: “Pada usia berapa anak saya baru boleh memiliki perangkat digital sendiri?”

Sangat mudah untuk terpaku pada perangkat digital, karena benda tersebut memiliki wujud. Perangkat digital menjadi objek yang paling sering menimbulkan perdebatan di antara kita dan anak-anak. Namun, penting untuk tidak hanya fokus pada perangkat tersebut, melainkan pada menetapkan aturan untuk berbagai aspek penggunaannya.

Perangkat digital adalah jendela untuk banyak hal. Dengan gawai ini kita dapat belajar cara membuat kue, mengikuti perkembangan terkini, berbincang, menyerahkan tugas sekolah, membaca Alkitab, dan sebagainya. Pertanyaan “berapa banyak waktu menggunakan gawai?” harus selalu diikuti dengan “untuk apa?”

Biasakan Diri Menggunakan Mode “Kontrol Orangtua”

Orangtua harus nyaman dengan mode “kontrol-orangtua” dalam menggunakan perangkat digital.

Dengan menggunakan berbagai mode “kontrol-orangtua” yang tersedia, orangtua dapat memantau berapa banyak waktu yang dihabiskan anak untuk aplikasi atau game tertentu. Dengan sedikit eksplorasi, orangtua akan menemukan bahwa mereka dapat:

  • Menetapkan batasan waktu pada aplikasi atau game hiburan;
  • Membatasi akses Internet;
  • Mengatur waktu tidur atau waktu makan di mana perangkat akan menonaktifkan akses Internet;
  • Mewajibkan anak untuk mendapatkan persetujuan orangtua sebelum menginstal aplikasi ke dalam perangkat.

Banyak orangtua yang saya temui senang mengetahui fungsi-fungsi ini dan tidak sabar untuk pulang dan memberlakukan batasan-batasan ini. Namun, saya harus memohon kepada orangtua untuk mengingat peran kita: “Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan” (Efesus 6:4).

Kita harus melatih anak-anak membedakan yang benar dan yang salah. Selain menuntut anak-anak untuk mematuhi aturan yang kita tetapkan, kita perlu mengajar mereka dasar-dasar alkitabiah yang kuat.

Jika putra Anda cukup besar untuk memahami, saya mendorong seluruh keluarga untuk bersama-sama menyusun aturan dalam keluarga mengenai penggunaan perangkat digital sedemikian rupa sehingga seluruh keluarga berada di bawah tuntunan dan nasihat Tuhan.

Pentingnya Kontrol Orangtua

Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? …. Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.” (Matius 7:3-5)

Sebagai orangtua, kita perlu merenungkan bagaimana kita sendiri menggunakan teknologi digital, dan membawanya ke hadirat Tuhan untuk diselidiki oleh-Nya.

Kita tidak dapat menguras begitu banyak energi untuk mencereweti kebiasaan digital anak-anak kita tetapi tidak menyelidiki kebiasaan kita sendiri. Anak-anak kita perlu merasa bahwa aturan yang ditegakkan di rumah dipatuhi oleh seluruh anggota keluarga tanpa terkecuali.

Jika kita tidak mencontohkan perilaku seperti yang kita tuntut dari anak-anak kita, perkataan kita akan kosong dan munafik.

Jika kita tidak mencontohkan perilaku seperti yang kita tuntut dari anak-anak kita, perkataan kita akan kosong dan munafik.

Banyak remaja mengeluh bahwa orangtua mereka selalu sibuk dengan gawai dan tidak bisa diajak bicara atau dimintai nasihat. Belajar menggunakan teknologi dengan bijak adalah perjalanan yang harus dilakukan oleh seluruh keluarga bersama-sama, dan orangtua perlu memberi teladan.

Lepaskan dan Biarkan Mereka Terbang

“Ketika aku kanak-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu.” 1 Korintus 13:11 (TB)

Meski anak-anak saya belum dewasa, saya sering mengingatkan diri untuk mengembangkan pola asuh seiring bertambahnya usia anak-anak saya.

Pola asuh yang digunakan saat anak masih balita tidak berlaku lagi setelah anak tumbuh besar dan memiliki hubungan interpersonal di sekolah.

Terkadang kita terlalu sibuk melarang, dan lupa bahwa kita adalah penatalayan anak-anak kita, tetapi hanya untuk satu musim.

Terkadang kita terlalu sibuk melarang, dan lupa bahwa kita adalah penatalayan anak-anak kita, tetapi hanya untuk satu musim.

Tugas kita adalah mempersiapkan anak-anak untuk mencapai kedewasaan dan bertanggung jawab atas perjalanan pribadi mereka bersama Tuhan.

Orangtua kadang-kadang gagal melakukan transisi ini, dan mendapati diri mereka menggenggam si anak panah dan tidak pernah melepaskannya.

Ada banyak alasan, yang paling umum adalah rasa takut kehilangan kendali.

Kita memiliki generasi pria dan wanita dewasa yang tidak pernah sepenuhnya beralih ke masa dewasa karena orangtua mereka terus membuat keputusan untuk mereka, melindungi mereka dari konsekuensi dan tanggung jawab.

Anak panah yang tidak pernah dilepaskan akan gagal mencapai tujuan yang sudah ditetapkan Allah baginya.

Sepersekian Detik Sebelum Anak Panah Dilepaskan

Momen paling penting dalam gerakan seorang pemanah adalah setelah busur ditarik dan sebelum anak panah dilepaskan.

Segala sesuatu bergerak lambat: napas si pemanah, detak jantungnya, jemari yang dilepaskan dengan mulus, dan kekuatan tak tergoyahkan dari lengan yang bergeming menggenggam busur.

Anak panah adalah perpanjangan dari tubuh sang pemanah dan ekspresi dari keinginannya.

Ketika anak-anak tumbuh besar, salah satu kesalahan paling umum yang dilakukan orangtua adalah tidak bertumbuh bersama mereka.

Pola asuh yang digunakan saat anak masih balita tidak berlaku lagi setelah anak tumbuh besar dan memiliki hubungan interpersonal di sekolah.

Orangtua semakin frustrasi karena anak remaja mereka tidak lagi cukup hanya dijawab dengan “Pokoknya Mama/Papa bilang begitu.”

Kita semua membutuhkan relasi yang terus berkembang dengan anak-anak kita. Hal ini terutama berlaku dalam hal penggunaan teknologi oleh anak-anak kita, yang berkembang seiring dengan usia mereka.

Selain menuntut anak-anak untuk mematuhi aturan yang kita tetapkan, kita perlu mengajari mereka dasar-dasar alkitabiah yang kuat.

Ada banyak orangtua yang tidak memiliki relasi yang kuat dengan anak-anak mereka.

“Kebutuhan” generasi muda untuk selalu daring sering kali membuat orangtua kesal, dan kesenjangan ini menjadi perbedaan yang tidak dapat dibereskan.

Orangtua merasa tidak mampu memahami anak-anak mereka, dan anak-anak tinggal di rumah di mana mereka merasa terisolasi dan kesepian.

Anak-anak kita menjalani kehidupan yang membuat mereka tertekan.

Pertanyaan “berapa banyak waktu menggunakan gawai?” harus selalu diikuti dengan “untuk apa?”

Masyarakat menjadikan prestasi yang diraih, penampilan, atau popularitas sebagai patokan keberhargaan diri anak-anak. Banyak anak muda menghabiskan waktu berjam-jam untuk bermain video game karena persona digital mereka memberi mereka perasaan sukses dan keberhargaan diri yang meningkat.

Mungkin mereka tidak menemukan peluang seperti itu dalam kehidupan nyata karena berbagai faktor.

Sebagai orangtua, kita tidak boleh terlalu cepat menilai kemelekatan anak-anak dengan identitas digital mereka sebagai sesuatu yang tidak dewasa atau kekanak-kanakkan.

Bagi generasi digital, identitas asli mereka adalah juga identitas digital mereka, jadi tidak ada pemisahan di antara keduanya.

Jika kita ingin membimbing anak-anak kita dalam perjalanan digital mereka, kita perlu meluangkan waktu dan upaya untuk mencari tahu apa yang mereka lakukan secara daring dan mengapa mereka menganggap kegiatan tersebut bermakna.

Apabila satu-satunya interaksi kita dengan mereka adalah memarahi mereka agar tidak selalu bermain gawai, kita tidak akan bisa menjadi bagian sangat integral dari kehidupan mereka.

Jika kita memilih untuk tidak mau tahu tentang dunia mereka, kita tidak dapat berjalan bersama mereka untuk membimbing mereka.

Penting untuk menetapkan peraturan dalam menggunakan perangkat digital sejak anak masih kecil.

Orangtua perlu menjadi kurator dan penjunan atas pengalaman digital anak-anak mereka. Kita dapat mencari konten yang memperkaya dan menarik untuk hiburan anak-anak, sambil terus membentuk selera mereka sehingga mereka dapat menemukan kesenangan dalam segala sesuatu yang benar, suci, indah, dan patut dipuji (Filipi 4:8).

Daripada membiarkan anggota keluarga menonton video sendiri di perangkat seluler masing-masing, mengapa tidak menontonnya bersama-sama sebagai pengalaman seluruh keluarga?

Tip lainnya adalah mencari video game yang dapat dinikmati oleh orangtua dan anak, sehingga bermain game menjadi kesempatan untuk menjalin ikatan dan persahabatan.

Interaksi kita dengan anak-anak kita dapat lebih dari sekadar “Bagaimana sekolah?”, dan “PR-mu sudah selesai?”

Kehidupan Busur

Ketika saya berbicara di lokakarya pola asuh digital sekuler, saya membagikan sebagian besar poin di atas. Ada pewahyuan khusus bagi orang tua yang ada di dalam Kristus:

Kita adalah busur panah.

Saya akhirnya sadar bahwa saya bukanlah pemanah dalam analogi ini. Tanggung jawab untuk mengarahkan kehidupan anak-anak saya pada target yang saya pilihkan bagi mereka terlalu berat untuk saya tanggung. Saya mengetahui kekurangan dan keterbatasan saya, dan meski berniat baik, saya tahu pola asuh saya sering dinodai oleh keegoisan dan kesombongan.

Saya hanya dapat mempercayakan masa depan anak-anak saya ke dalam tangan Tuhan.

Perjalanan saya selanjutnya sebagai orangtua adalah belajar bahwa kehidupan sang busur sesungguhnya merupakan kehidupan di mana kita tunduk pada kehendak sang Tuan. Kehidupan ini bukanlah mengenai memainkan peran sebagai orangtua, melainkan tentang belajar menjadi anak-Nya.

Kiranya kita dapat merelakan diri kita digunakan oleh Bapa kita yang pengasih untuk menolong anak-anak kita memenuhi tujuan indah yang Dia rancangkan bagi mereka.

 

Artikel ini diadaptasi dari tulisan Lucian Teo dengan judul Parenting In The Digital World Is Like Archery

Anda diberkati dengan materi ini?
Pastikan Anda tidak ketinggalan membaca tulisan-tulisan terbaru kami lainnya.

Klik untuk SUBSCRIBE