“Putra kami autis, dan kami tidak tahu apakah dia tidak bakal mengamuk. Ini nomor telepon kami—jika Anda tidak dapat menenangkannya, tolong hubungi kami,” ucap Bernard.

Mereka sering menggunakan kalimat ini, dan sudah terbiasa menerima berbagai reaksi. Namun pada hari itu, sang guru memandang mereka, tersenyum, dan berkata, “Jangan khawatir, saya terlatih menangani anak berkebutuhan khusus.”

Bagi Bernard dan istrinya, hal seperti ini adalah pengingat paling kuat atas kesetiaan Allah dalam perjalanan mereka sebagai orangtua. Ini juga merupakan pelajaran pertama dari banyak pelajaran yang akan mereka pelajari mengenai tempat anak-anak berkebutuhan khusus di dalam kerajaan Allah, gereja, dan masyarakat.

Meski Evan, putra Bernard, yang juga penyandang disabilitas intelektual, mungkin tidak terlalu memahami khotbah-khotbah yang didengarnya, orangtuanya mencoba untuk menjelaskan dasar iman Kristen kepadanya.

Mereka memberi tahunya bahwa ada Allah yang mengasihinya, dan bahwa ia dapat memiliki hubungan pribadi dengan-Nya. Bernard menjelaskan bahwa mereka mencoba menyampaikan hal itu dalam bahasa sederhana: “Proses pemuridan Evan lebih dengan memberi teladan iman kita, dan bukan mengajar.”

Anak Spesial 1

Ia menambahkan, “Meski secara kognitif Evan tidak mampu memahami apa artinya menerima Yesus sebagai Juruselamat dan Tuhan, saya percaya kita memiliki Allah yang penuh kasih yang akan memastikan ada tempat baginya di surga.”

Namun toh tempat Evan di dalam masyarakat adalah masalah lain lagi.

Tempat yang Tidak Pasti di Dalam Masyarakat

Bernard khawatir memikirkan masa depan Evan. Ketakutan terbesarnya adalah, jika kelak ia dan istrinya sudah tiada, Evan akan ditempatkan di panti perawatan psikiatrik.

“Kebanyakan dari kami tidak bermimpi bahwa anak kami akan dipekerjakan di suatu tempat,” Bernard berbicara mengenai orangtua anak-anak dengan disabilitas tingkat berat. “Kami hanya berharap kebutuhan mendasarnya terpenuhi—tempat bernaung, cukup makan, dan beberapa teman.”

Karena pengalamannya sendiri di bidang layanan sosial, Bernard, yang sekarang menjabat sebagai CEO St. Andrew’s Autism Centre, sangat menyadari betapa terbatasnya pilihan yang dimiliki para penyandang disabilitas intelektual.

Di tempat Bernard tinggal, para difabel intelektual yang lebih ringan yang dapat hidup mandiri dengan pengawasan minimal, dapat tinggal di residensi model hostel, dan mengikuti berbagai pelatihan atau bahkan bekerja pada siang hari.

Namun, mereka yang membutuhkan perawatan dan perhatian penuh mungkin perlu ditempatkan di panti-panti difabel dewasa pada saat orangtua atau perawat mereka tidak ada lagi atau tidak dapat lagi merawat mereka.

Sayangnya, panti-panti seperti ini kemungkinan kekurangan tenaga staf dikarenakan keterbatasan dana. Jika orang dewasa dengan kebutuhan yang lebih kompleks menemukan bahwa panti-panti ini tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka, ujung-ujungnya mereka akan ditempatkan di panti perawatan psikiatrik.

Bernard berharap ini tidak terjadi pada putranya di masa depan.

Tempat di Dalam Gereja?

Sebagai orangtua anak autis dan pemimpin pusat autisme, Bernard selalu bergumul dengan pertanyaan ini: tempat seperti apa yang dimiliki orang-orang dengan disabilitas tingkat sedang sampai berat di dalam masyarakat?

Ini memprihatinkan, mengingat mereka yang berkebutuhan khusus mungkin tidak memiliki hal-hal yang mereka butuhkan untuk dapat bertahan hidup di tengah masyarakat, yakni kemampuan untuk hidup mandiri, kemampuan untuk bekerja, dan produktivitas.

Bernard percaya, dalam hal inilah gereja dapat mengambil sikap yang berbeda.

Ia merujuk pada Lukas 14:12-14, yang memanggil orang Kristen untuk menyediakan tempat bagi mereka yang cacat atau miskin:

Kemudian Yesus berkata kepada orang yang mengundang Dia… “Apabila engkau mengadakan perjamuan, undanglah orang-orang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan orang-orang buta. Dan engkau akan berbahagia, karena mereka tidak mempunyai apa-apa untuk membalasnya kepadamu. Sebab engkau akan mendapat balasnya pada hari kebangkitan orang-orang benar.”

Bernard memandang perintah Yesus sebagai panggilan kepada gereja untuk menyambut dan menerima orang-orang berkebutuhan khusus, baik orang dewasa maupun anak-anak, ke dalam komunitas.

“Sulit rasanya ketika saya merasa bahwa masyarakat tidak memahami putra atau putri saya,” ia berkata mengenai Evan dan Chloe, sekarang 15 tahun, penyandang disleksia dan masalah kecemasan. “Tetapi tantangan lebih besar bagi iman saya adalah ketika penolakan itu datang dari gereja.”

Anak Spesial 2

Namun, tambahnya, ketika hal seperti ini terjadi, ia mengingatkan dirinya bahwa gereja tidak sempurna, dan bahwa “kita semua adalah orang berdosa yang diselamatkan oleh kasih karunia.”

“Allah adalah satu-satunya yang mengasihi dengan sempurna. Bahkan kita, sebagai orangtua, tidak mengasihi anak-anak kita dengan sempurna,” katanya sambil tertawa.

Bernard akan selalu ingat saat ia melangkah memasuki sebuah gereja yang menyambut para penyandang disabilitas.

“Kali pertama menghadiri ibadahnya, saya terkesima,” ia terkenang. “Selama ibadah, para autis tingkat sedang-sampai-berat melompat-lompat, bahkan di mimbar. Dan tidak seorang pun mengerjap!”

Bernard ingat dirinya membatin, “Wow, beginilah seharusnya sebuah gereja itu.”

Semakin berat tingkat disabilitasnya, semakin besar kemungkinan seorang difabel tidak mampu mengungkapkan rasa terima kasihnya secara eksplisit, katanya, apalagi membalas budi orang-orang yang menolongnya. “Jika kita memiliki perspektif abadi, kita akan mengasihi dan belajar mengasihi orang yang paling sulit.”

Menyambut Semua Orang adalah Berkat

Dalam Lukas 14:14, Yesus berjanji bahwa mereka yang menyambut difabel akan “berbahagia” dan “mendapat balasnya pada hari kebangkitan orang-orang benar.” Berpegang pada janji ini, Bernard percaya bahwa mereka yang menyambut para penyandang disabilitas ke dalam hidup mereka akan menemukan diri mereka dilayani oleh interaksi dan perjumpaan itu.

Ia telah belajar tentang kesabaran, empati, dan kasih sayang dari anak-anaknya dan orang-orang berkebutuhan khusus. “Saya semakin memahami penderitaan orang lain, dan ini membantu saya untuk melayani orang lain dengan lebih baik,” katanya.

Putranya sendiri telah menunjukkan kepadanya bagaimana memandang kehidupan dengan cara baru. “Ketika Evan mengenal lagu penyembahan yang dimainkan, senyuman terus tersungging di wajahnya. Karena non-verbal, Evan tidak bisa ikut bernyanyi, tetapi ia bersenandung mengikuti lagunya, “katanya. “Ekspresi kekanak-kanakan mereka atas sukacita Tuhan adalah salah satu hadiah mereka untuk kita.”

Bernard menambahkan: “Jika kita dapat melihat hadiah yang bisa diberikan oleh anak-anak berkebutuhan khusus kepada gereja, kita akan memiliki pandangan yang sangat berbeda tentang tempat orang-orang ini.”

Harapan Pasti bagi Orangtua

Bernard tahu benar bahwa upaya menolong anak-anak berkebutuhan khusus untuk menemukan tempat di dunia ini tidak dapat dilakukan sendiri oleh orangtua. Hal ini membutuhkan perhatian dan upaya gereja, komunitas, dan masyarakat, serta tidak dapat dipaksakan.

Anak Spesial 3

CEO St. Andrew’s Autism Centre itu menyadari bahwa mengadvokasi inklusi semacam itu tidak mudah dan sering kali membuat frustrasi. Pada saat-saat seperti itu, Bernard mendapat kekuatan dan penghiburan dari mengetahui bahwa anak-anak ini adalah anak-anak Allah, dan mereka sudah memiliki tempat di dalam kerajaan-Nya.

“Mungkin dunia ini bukan tempat mereka; mungkin ini benar-benar tentang dunia yang akan datang,” renung Bernard. “Pada hari saya dapat bermain sepak bola dengan Evan, itu takkan terjadi di sisi surga yang ini.”

Berfokus pada kerajaan Allah tak hanya memberinya perspektif alkitabiah mengenai kehidupan di bumi, melainkan juga memberi orangtua seperti Bernard harapan untuk terus melangkah.

“Ada tempat istimewa di dalam kerajaan Allah bagi penyandang disabilitas, khususnya mereka dengan disabilitas berat,” katanya. “Saya terhibur dan dikuatkan oleh pemikiran itu.”

 

Anda diberkati dengan materi ini?
Pastikan Anda tidak ketinggalan membaca tulisan-tulisan terbaru kami lainnya.

Klik untuk SUBSCRIBE