“Saudara-saudara, kalaupun seorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani, harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri, supaya kamu juga jangan kena pencobaan.” –Gal 6:1

 

Gawai di saku doctor scrub kembali bergetar, saat Sharon sedang sibuk melakukan tindakan jahitan pada luka sobek di kaki pasiennya. Bila sudah tenggelam dalam pekerjaannya, Sharon pasti tidak akan mengindahkan gangguan sekecil apa pun.

“Dok, hpnya—” Mbak Ani, perawat puskesmas yang sedang mengasistensi Sharon mengingatkan.

“Biar. Kita harus bersikap profesional.” Mata Sharon masih fokus pada gerakan tangan yang memegang needle holder dan pinset bedah.

Setelah tindakan selesai, Sharon segera mencuci tangan, dan mengecek gawai yang ngotot tak berhenti bergetar. Alisnya mengernyit. Ada dua puluh panggilan tak terjawab dari sekolah dan juga pesan masuk dari Bu Rina.

“Bu, tolong ke sekolah. Eden berkelahi.”

Semburan udara kasar ke atas, melambaikan poni Sharon. Lagi-lagi Eden membuatnya harus berurusan dengan guru dan wali murid lain. Kenapa anak itu tidak seperti kakaknya yang penurut sih?

Mau tidak mau, Sharon meminta izin untuk pulang lebih cepat. Sepanjang perjalanan, lambat laun kekhawatiran menyusup di batinnya. Bagaimana nasib Eden bila masih kecil saja sudah bermasalah? Rasanya darah Sharon mendidih mengingat betapa bengalnya anak itu.

Akhirnya Sharon menepikan mobilnya di depan sekolah. Tak ada lalu lalang anak sekolah karena waktu masih menunjukkan pukul sebelas. Dengan langkah tergopoh, ia bergegas menuju ruang guru. Ia sama sekali tidak sadar hair cap bunga-bunganya masih membungkus kepala.

Suster Kepala Sekolah yang baru tiga bulan bertugas sudah menunggu kedatangannya. Wanita berkerudung cokelat dari ordo Fransiskan itu menyambut Sharon dan mempersilakan wanita berumur tiga puluh enam tahun itu duduk di sofa di tengah ruang guru.

Sharon duduk dengan canggung, walau sofa itu tidak asing baginya. Sorot menghakimi dari dua pasang mata guru yang hadir di sana seolah mencekik tenggorokan.

“Jadi, Eden berkelahi lagi.”

Sharon hanya mengembuskan napas panjang. Untuk kesekian kali ia dipanggil untuk alasan yang sama. Ah, tidak! Dia juga ingat pernah dipanggil karena nilai-nilai Eden yang buruk sewaktu ujian pertengahan semester kemarin.

Lidah Sharon kelu. Tidak tahu harus berkata apa. Hanya anggukan yang bisa mewakili suaranya. “Maaf, Suster. Saya tidak bisa mendidiknya dengan baik. Dia berbeda dengan kakaknya, Sangka.”

Suster menggeleng, senyuman terbingkai di wajah bulat berkeriput itu. “Anda salah. Setiap anak dilahirkan dengan keistimewaan sendiri. Eden bukan Sangka, begitu juga Sangka pun tidak seperti Eden.”

Sharon menggigit sudut bibirnya. Dia mengalihkan pandangan, dan baru tersadar hair cap masih terpasang di kepalanya saat melihat bayangan di kaca bufet. Buru-buru dilepasnya penutup kepala itu lalu merapikan rambut dengan jemari. Pasti penampakannya kacau sekali saat ini!

“Suster, gimana kondisi Eden dan temannya?”

“Mereka baik-baik saja. Hanya saja Eden terluka.” Suster terdiam saat Eden masuk ke ruang guru diantar oleh Bu Rina.

Anak laki-laki berumur delapan tahun itu beringsut ke balik tubuh wali kelasnya, membuat Sharon semakin geregetan. Ingin rasanya ia menghardik Eden. Tapi, mengingat mereka masih berada di sekolah, dia menggertakkan rahang agar emosinya tidak menggelegak.

“Eden, kemari.” Suster melambaikan tangan, mengajak Eden untuk duduk bersama mereka.

Eden menggeleng. “Nggak mau.”

“Ayo, Eden…” Bu Rina berusaha mengurai cengkeraman tangan kecil Eden di blusnya.

“Takut… nanti Mama marah.”

Sharon menelan ludah dengan kasar. Wah, hebat sekali putranya sudah bisa meramalkan apa yang terjadi. Bagaimana ia tidak marah, mengingat Eden selalu saja bikin ulah di sekolah? Rasanya tidak pernah sedikit pun anak bungsunya ini bersikap manis seperti anak-anak lain.

“Nggak, Mama nggak bakalan marah. Mama sayang sama Eden.” Suster masih membujuk anak itu.

“Nggak! Mama cuma sayang sama Kak Sangka. Nggak sayang sama Eden!”

Teriakan Eden seperti guntur di siang hari yang cerah itu. Sharon sama sekali tidak menyangka anaknya bakal meluapkan tantrum di depan beberapa guru dan kepala sekolah. Bagaimana bisa Eden menganggap Sharon tidak menyayanginya? Ia menyayangi kedua anaknya, tapi karena polah Eden yang selalu membuatnya marah, ia jadi sering membanding-bandingkan Eden dengan Sangka yang penurut. Salahkah bila sebagai ibu, Sharon ingin Eden bersikap baik? Seminggu saja. Atau kalau itu tidak mungkin, paling tidak sehariii saja, ia berharap Eden tidak memantik kemarahannya.

“Bu Rina, bisa bawa Eden keluar dulu? Saya ingin ngobrol sebentar dengan Bu Sharon.”

Suara lembut itu seperti mengobrak-abrik batin Sharon. “Ya, Suster?”

Ada hening sejenak di antara mereka. Sepertinya suster sedang berusaha menghidupi tulisan Rasul Paulus yang demikian, “Saudara-saudara, kalaupun seorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani, harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri, supaya kamu juga jangan kena pencobaan” (Galatia 6:1). Ia berdeham sebelum mulai bicara. “Maaf, bukan bermaksud mengintervensi pola asuh Ibu ke anak-anak. Hanya saja, saya ingin memberi pandangan, karena selama tiga bulan saya menjabat sebagai kepala sekolah di sini, sudah tiga kali Eden terlibat masalah yang sama.”

“Ehm… si-silakan, Suster.” Sharon tergagap.

Suster berbicara dengan sangat hati-hati karena tidak ingin kata-kata yang akan meluncur dari bibirnya nanti melukai hati Sharon. Ia tidak bermaksud menuduh, namun ia harus membeberkan fakta yang dalam kasus ini mungkin memang benar adanya.

“Sebelumnya, saya ingin bertanya apakah Ibu sering membanding-bandingkan Eden dengan kakaknya?”

Sharon mengangguk pelan. Tidak ada gunanya menyangkal, karena Eden seolah sudah mengumumkan kepada semua orang bahwa Sharon ibu yang tidak becus.

“Wajar. Tapi sepertinya, apa yang Ibu lakukan, melukai perasaan Eden. Eden selalu mencari gara-gara karena ingin diperhatikan.”

Sharon berdecak. “Tapi, tidak dengan cara seperti ini juga, Suster. Papanya bisa marah besar kalau tahu Eden berulah lagi. Jujur, saya bingung harus bagaimana menyikapi sifat Eden.”

“Apa yang salah dengan sifat Eden?”

Sharon mengerjap mendengar pertanyaan Suster Brigita. “Ibu tahu kenapa Eden bertengkar?” tanya Suster lagi.

Sharon main tebak saja. “Mainannya dirusak…?” Ya, Eden sering marah kalau barangnya dirusak.

“Tadi, saya sempat bertanya kenapa dia sering berkelahi. Dulu dia memang marah karena mainannya dirusak, tapi rupanya itu karena mainan tersebut hadiah dari Ibu. Dia menganggap mainan itu sebagai pengganti Ibu yang selalu sibuk bekerja.”

Hati Sharon mencelus. Dia tidak pernah mengira Eden punya “pengganti” dirinya.

“Nah, kali ini, dia membela temannya yang dijahili Dino. Dia tidak suka ada orang yang ditindas.”

Mata Sharon tiba-tiba terasa panas. Dia mengerjap dan menghirup napas dalam-dalam untuk menenangkan perasaannya yang berkecamuk. Apakah selama ini dia tidak mengenal putra bungsu yang pernah bersemayam di rahimnya selama sembilan bulan sepuluh hari itu?

“Pernahkah Ibu bicara dari hati ke hati dengan Eden?”

Sekali lagi lidah Sharon kaku, tak bisa mengucapkan satu kata. Dia menghela napas panjang, sembari menengadahkan kepala agar air matanya tidak jatuh.

“Saya memang tidak punya anak. Mungkin saran saya hanya berkesan seperti teori.”

“Tidak, Suster. Katakan saja.” Sharon mempersiapkan hatinya.

“Sebaiknya Ibu mencoba mengajak Eden berbicara dari hati ke hati. Dia merindukan perhatian dan didikan seorang ibu. Anak itu istimewa. Ibu cukup mempercayainya.”

Selama perjalanan pulang, ucapan Suster Brigita terus terngiang di benak Sharon. Seolah Tuhan sendiri tengah mengingatkannya melalui ucapan wanita yang memilih hidup selibat melayani Tuhan itu.

“Dik, apa yang kamu nggak suka dari Mama?” hati-hati Sharon bertanya pada putra bungsunya.

Eden yang sibuk dengan mainan robotnya, menoleh. Lalu menggeleng.

“Jujur saja, Mama tidak akan marah. Apa yang Adik nggak suka dari Mama?” Sharon melirik lelaki kecilnya.

“Nggak ada. Mama cantik, pintar, jadi dokter, banyak uang.”

Sharon mengerutkan alis, sekonyong-konyong matanya terasa pedas. Dalam sekali kerjapan, buliran bening mengalir di pipi. Dia tertampar. Eden, anak yang selalu dia banding-bandingkan ini sangat menyayanginya. Sedikit pun ia tidak menyimpan dendam terhadap ibunya. Padahal tidak jarang saat marah, Sharon mencubit dan menghardik Eden dengan keras.

Mungkinkah selama ini dia memang tidak mengenal anaknya? Ah, ibu seperti apakah dia ini? Gelar dokter yang disandangnya sepertinya tidak membuat Sharon dan suaminya menjadi orangtua yang baik bagi kedua anak mereka.

“Mama suka marah loh.” Sharon mengusap pipinya yang basah dengan punggung tangan.

“Ah, iya. Mama kalau marah nakutin. Kalau udah senyum, Eden suka. Eden kangen senyumnya Mama.

Sharon mendesah. Dia selalu jatuh dalam pencobaan bila mendapati putra bungsunya melakukan hal yang tidak berkenan di hatinya. Mungkin selama ini, apa yang dilakukan Sharon dan suaminya telah menerbitkan amarah dalam diri Eden karena dibanding-bandingkan dan dimarahi. Dalam hati Sharon berjanji, mulai sekarang ia tak akan mengulangi kesalahan ini lagi. Mulai detik ini, ia akan mengajarkan hal-hal baik kepada Eden dan Sangka, berulang-ulang sesuai ajaran dan nasihat Tuhan, “Didiklah anakmu, maka ia akan memberikan ketentraman kepadamu, dan mendatangkan sukacita kepadamu” (Amsal 29:17). Meski sebagai manusia, tak bisa dipungkiri, akan ada waktunya rasa bosan dan lelah menyelinap karena mengulangi hal yang sama setiap hari sehingga membuat emosinya mudah tersentil. Namun ia yakin semakin hari dia akan semakin lebih baik dalam melakukannya.

“Ma, makasih sudah berusaha nggak marahin Eden kaya dulu lagi. Eden sayang Mama.”