“Di otak bayi Anda ada cairan,” kata dokter. “Saya sudah melakukan tes berulang-ulang untuk memastikan.”

Mardiana tertunduk lesu. Belakangan ia sudah berusaha menguatkan hati, berharap diagnosis dokter sebelumnya keliru. Namun, sekarang ia tidak dapat menampik pil pahit ini lagi.

Sungguh tak terbayangkan seperti apa rupa bayinya saat lahir nanti, dan akan seperti apa hari-hari yang dijalaninya? Sanggupkah ia bertahan? Lalu bagaimana respons suami dan kedua putri mereka mengenai kondisi bayi dalam kandungannya ini? Bagaimana kalau… dan ribuan pikiran, kecemasan, perasaan gundah pun menerpanya bagai gelombang laut pasang.

Seperti kehamilan-kehamilan sebelumnya, pada awalnya kehamilannya kali ini pun tidak berbeda. Ia dan bayi dalam kandungannya sehat, dan ia rutin memeriksakan kandungannya ke dokter. Namun, saat memasuki bulan keenam, hasil USG menunjukkan ada penambahan cairan otak janin yang konstan.

Dari sinilah perjuangan dimulai. Berbekal tekad yang kuat untuk menyelamatkan janinnya, Mardiana dan suami berangkat ke rumah sakit di Tarakan. Sayang obat yang diberikan dokter hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Akhirnya, Mardiana disarankan untuk memeriksakan diri ke dokter kandungan di Samarinda. Bayinya membutuhkan penanganan serius selama di kandungan.

Pejuang Sehat

Okta Anugrah lahir pada tanggal 30 Oktober 2014 di Samarinda melalui operasi Caesar. Ia dilahirkan prematur, saat kandungan baru memasuki bulan kedelapan. Hal ini terpaksa dilakukan mengingat Okta harus segera mendapat penanganan khusus.

Satu bulan lamanya Okta ditempatkan di inkubator. Tak terhitung banyaknya permohonan, doa, dan syafaat yang mereka panjatkan, tak terukur dalamnya tangisan dan rintihan yang mereka tumpahkan. Namun dalam hati Mardiana tetap menaruh harap kepada Sang Khalik. Ia terus menepis pendapat para dokter dan perawat yang memperkirakan kondisi anaknya tidak akan segera membaik, bahkan kemungkinan Okta tidak akan berumur panjang. Sebagai ibu, Mardiana tidak akan berhenti berjuang untuk anak terkasihnya. Ia yakin, Tuhan yang ia sembah siang dan malam itu akan memberinya kekuatan. Ia yakin, doa-doanya tidak terpental di langit kosong. Yakin, justru air mata yang tertumpah itu telah menumbuhkan benih-benih iman di dalam dirinya … dan suaminya.

Justru dalam keadaan terdesak seperti inilah Mardiana dan suami semakin rekat satu sama lain, saling menopang, saling menjaga. Bukan hanya itu, Mardiana juga bersyukur Tuhan telah melembutkan hati kakak-kakak Okta sehingga mengasihi adik mereka bagaimanapun keadaannya.

“Tuhanku luar biasa!” jerit Mardiana dalam hati. Dia telah mengatur segala sesuatu dengan selaras, ada suka ada duka, ada sehat ada sakit. Memang Okta berbeda dengan kakak-kakaknya, namun ia diterima dan dikasihi dengan sepenuhnya, dan itu cukup melegakan hati Mardiana.

Okta dan Keluarga

“Saya ingin anak saya dirawat di rumah sakit di Malinau saja, supaya kami bisa lebih fokus menjaganya sembari mengurus rumah tangga dan kakak-kakak Okta,” suatu hari Mardiana berkata kepada dokter yang menangani Okta. Sudah berbulan-bulan keluarga mereka tinggal terpisah. Sementara Mardiana dan suami menemani Okta di Samarinda, kedua putri mereka yang lebih besar terpaksa dititipkan kepada seorang kerabat di Malinau. Mardiana begitu merindukan anak-anaknya, dan ia tahu kedua putrinya juga membutuhkan orangtuanya. Ah, betapa inginnya ia kembali bisa mengasuh sendiri putri-putrinya. Betapa rindu dirinya bahwa keluarganya bisa bersama-sama lagi seperti sediakala.

Meski berat, dokter akhirnya memberi izin dengan syarat mereka akan didampingi perawat dan dibekali sebuah tabung kecil. Betapa lega hati Mardiana mendengarnya. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit di Malinau, tak henti-hentinya ia berdoa dan mengucapkan syukur. Ia tahu, perjalanan dan perjuangan mereka masih panjang, dan meski Okta masih sebulan lagi dirawat dengan kondisi yang naik-turun, bahkan beberapa kali drop, namun anugerah Tuhan selalu cukup baginya.

Perlahan, sedikit demi sedikit, kondisi Okta pun membaik dan perawatan untuk mengatasi cairan di otak Okta terus berlanjut. Namun, semua itu hampir selalu diselingi perjuangan untuk mengatasi penyakit-penyakit yang timbul sebagai efek sampingan pengobatan jangka panjang yang dilakukan padanya. Lelah! Itu pasti. Namun kobaran kasihnya sebagai ibu, dan naluri melindungi bayi mungilnya, membuat Mardiana mengabaikan semua lelah dan jerih payah yang tiada hentinya.

Suatu hari kondisi sang putra baik sekali tapi hari berikutnya Okta bisa tiba-tiba demam tinggi, membuat hati orangtuanya bagai diremas perasaan cemas. Dan hal seperti ini tidak terjadi hanya sekali.

“Tuhan, belum cukupkah penderitaan putraku? Tolonglah bayi mungilku, Tuhan,” ratap Mardiana. Aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Semua perawatan terbaik sudah diberikan tapi sekarang … apa lagi yang harus kulakukan? jerit hatinya. “Tuhan sayangkanlah nyawa anakku.”

Saat kondisi Okta sudah cukup kuat dan stabil, sekali lagi Mardiana meminta izin agar dapat meneruskan merawat Okta di rumah. Dengan telaten ia merawat bisul akibat infeksi di kepala putranya sampai benar-benar sembuh. Tapi itu baru permulaannya saja, karena penyakit lain rupanya mulai melirik Okta dan bergantian menghinggapi tanpa permisi. Berkali-kali Okta harus dilarikan ke rumah sakit karena kondisi kesehatannya terus naik-turun. Mengingat lingkar kepala Okta semakin membesar, dokter menyarankan agar segera dilakukan pemasangan selang di kepala Okta.

Menjadi Musafir di Jakarta

Operasi pemasangan selang di kepala Okta hanya dapat dilakukan di tiga tempat, salah satunya di RSCM Jakarta. Lama Mardiana dan suaminya menimbang-nimbang, sambil menghitung-hitung dana yang ada. Mereka terus berdoa memohon pimpinan Tuhan, dan akhirnya memutuskan membawa Okta ke RSCM Jakarta. Ini adalah rumah sakit besar dan konon dokter-dokter terbaik ada di tempat ini. Mereka ingin Okta mendapat perawatan terbaik.

Namun, sesampai di Jakarta, mereka masih harus menunggu jadwal operasi yang tidak sebentar. Mardiana sadar perawatan anak berkebutuhan khusus seperti Okta membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan perawatan yang panjang. Namun, ia yakin ada TUHAN dan janji pemeliharaan-Nya akan selalu digenapi. Ia sadar, ia hanyalah salah satu makhluk di antara milyaran manusia yang menjadi fokus perhatian-Nya.

“Namun biarlah setitik debu ini mendapatkan anugerah-Mu untuk bayi kecil kami ini, Bapa.” Itulah doa yang tak putus-putus ia panjatkan.

Dari kamar kos mereka ke rumah sakit, Mardiana dan suami bak musafir di kota metropolitan bernama Jakarta ini. Hampir setiap hari mereka berjibaku menerjang kemacetan kota, berimpit-impitan dalam bus kota yang penuh sesak. Bolak-balik ke rumah sakit demi bayi kecil terkasih ini, terus merajut asa hingga akhirnya kabar yang ditunggu-tunggu itu pun tiba. “Minggu depan Okta akan dioperasi pemasangan selang.”

Sementara pemeriksaan lengkap untuk persiapan operasi dilakukan, harapan pun bersemi di hati Mardiana. Meski tidak berharap putranya akan normal seperti kedua putrinya, ia toh berharap setelah operasi semua akan menjadi lebih baik. Namun sayang, ternyata HB Okta terlalu rendah dan ia membutuhkan transfusi darah sebelum bisa dioperasi.

Ingin rasanya Mardiana menangis. Namun belum sempat ia mengais kembali keping-keping harapannya yang sempat porak-poranda karena jadwal operasi yang ditunda, kini ia harus menelan ludah kembali saat melihat sekujur tubuh Okta dipenuhi bisul.

Oh Tuhan, ternyata Okta alergi terhadap darah asing yang ditransfusikan ke tubuhnya! Hati Mardiana tercabik-cabik melihat kondisi putranya, namun ia tidak membiarkan kesedihan mematahkannya. Sekali lagi ia menyerahkan putranya ke tangan Bapa. Sekali lagi mereka belajar berserah, terus berupaya dan bersabar menunggu satu bulan lagi, sampai Okta benar-benar sembuh dari alerginya.

“Saya bersyukur Tuhan selalu menolong dan campur tangan,” ungkap Mardiana setiap kali seseorang menanyakan keadaannya. Tuhan ajaib dan luar biasa selama dua bulan mereka di Jakarta, dan kebaikan-kebaikan Tuhan terus dinyatakan. Pernah seorang bapak yang mereka tidak kenal sama sekali, begitu saja datang menjenguk Okta dan menyerahkan dana yang sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka di Jakarta. Tuhan memang selalu punya cara untuk memelihara hidup mereka, bahkan cara-cara yang tak pernah terbit dalam pikiran mereka.

Hidroponik untuk Anakku yang Hydrocephalus

Kini usia Okta sudah 8 tahun, dan Tuhan terus menyertainya. Ia masih makan nasi dan sayur yang diblender serta minum susu menggunakan botol dot. Jam tidur siang dan malamnya tidak teratur, membuat ibunya menghabiskan malam-malamnya untuk berjaga. Berat Okta sudah 20 kg dan ke mana-mana masih digendong atau menggunakan stroller. Dan perkembangan sekecil apa pun yang diperoleh putranya selalu membuat Mardiana bergirang. Sama seperti orangtua lainnya, merawat anak berkebutuhan khusus membutuhkan kesabaran, ketelatenan, dan tenaga ekstra. “Tuhan pasti akan terus memampukanku dan terus campur tangan dalam kehidupan keluarga kami,” doa Mardiana setiap hari.

Mama Okta

Ketika Tuhan menuntunnya untuk memulai usaha bertanam sayuran hidroponik di halaman rumahnya, awalnya Mardiana sama sekali tidak mengira bahwa inilah cara Tuhan untuk mencukupkan kebutuhan mereka dan memelihara mereka. Bagaimana tidak? Tadinya ia hanya menanam sayuran untuk memenuhi kebutuhan Okta, tapi siapa sangka kegiatan iseng itu malah menjadi bisnis yang bisa menutupi biaya hidup mereka.

Okta yang ceria terus mendorong semangat Mardiana untuk terus mengisi hari-harinya dengan ungkapan syukur. Ia berharap Tuhan menolong Okta sehingga putranya itu kelak dapat mandiri, setidaknya dapat duduk sendiri. Dan biarlah hidup Okta dipersembahkan untuk melayani Tuhan dan menjadi kesaksian yang memuliakan Tuhan.

Teruntuk orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus, Mardiana berpesan, “Rawatlah mereka, sayangilah mereka, cintailah mereka seperti apa pun keadaan mereka. Kalau kita dapat merawat dengan baik, mereka akan bertumbuh jadi lebih baik. Karena mereka tidak dapat hidup mandiri tanpa dukungan kita, orangtuanya. Bersabarlah terhadap mereka. Apa pun yang Tuhan sudah izinkan terjadi pastilah memiliki maksud dan tujuan yang indah. Semua akan menuju kepada Soli Deo Gloria.”

 

Anda diberkati dengan materi ini?
Pastikan Anda tidak ketinggalan membaca tulisan-tulisan terbaru kami lainnya.

Klik untuk SUBSCRIBE