Pernahkah Anda berjalan menyusuri jalan tempat Anda tinggal dan melihat rumah-rumah di sepanjang jalan itu dan bertanya bagaimana orang-orang yang tinggal di rumah itu saling menjalin relasi? Atau pernahkah Anda mengamati seorang wanita yang duduk di depan Anda di gereja, lalu berpikir, “Wah! Pasti ia punya segalanya! Suaminya yang tampan adalah pemimpin di gereja, dan ia memperlakukan istrinya seperti ratu. Anak-anak mereka yang patuh itu tampaknya tak pernah menyusahkan mereka. Mereka punya uang untuk melakukan apa pun dan pergi ke mana pun yang mereka inginkan. Rasanya seperti apa ya punya keluarga Kristen yang sempurna seperti itu?”
Terkadang kita melihat orang-orang di sekitar kita dan mengasihani diri sendiri ketika memikirkan bahwa kehidupan orang lain jauh lebih baik daripada kehidupan kita. Namun kita tidak tahu apa yang terjadi di balik pintu tertutup dari sebuah keluarga Kristen kemungkinan sangat berbeda dari yang seharusnya terjadi dalam sebuah keluarga. Keluarga “sempurna” yang duduk di bangku depan bisa jadi sama sekali tidak sempurna.
Saya punya sahabat yang suaminya setiap kali duduk di meja makan hampir selalu mengomentari makanan yang seharusnya dimasak istrinya dan bagaimana seharusnya makanan itu dimasak. Selama lebih dari dua puluh lima tahun, sahabat saya menanggung semburan kritik tersebut setiap kali mereka makan. Tidak mengherankan jika ia tidak punya rasa percaya diri. Si suami mengkritiknya siang dan malam. Suaminya ini adalah seorang penganiaya, dan sahabat saya ini juga wanita yang teraniaya.
Penganiayaan bisa dilakukan secara fisik. Penganiayaan bisa dilakukan secara verbal maupun non-verbal. Apa pun bentuknya, banyak wanita Kristen menerima perlakuan kejam ini atas nama pengabdian. Mereka meyakini bahwa sebagai wanita Kristen mereka tidak memiliki pilihan selain menerima penganiayaan ini sebagai kehendak Allah bagi hidup mereka. Apa yang harus dilakukan para wanita ini?
Dalam 1 Samuel 25, kita menemukan studi kasus tentang menangani seorang pria penganiaya. Di bagian ini kita bertemu dengan Nabal yang menikahi Abigail:
“Ketika itu ada seorang laki-laki di Maon, yang mempunyai perusahaan di Karmel. Orang itu sangat kaya: ia mempunyai tiga ribu ekor domba dan seribu ekor kambing. Ia ada di Karmel pada pengguntingan bulu domba-dombanya. Nama orang itu Nabal dan nama isterinya Abigail. Perempuan itu bijak dan cantik, tetapi laki-laki itu kasar dan jahat kelakuannya. Ia seorang keturunan Kaleb (1 Samuel 25:2-3).”
Sangat sulit untuk hidup bersama Nabal, yang digambarkan Allah sebagai pria yang kasar dan jahat. Bahasa Ibrani menyatakannya dengan lebih jelas bahwa Nabal adalah orang yang kasar dan sombong, kejam dan berkelakuan jahat.
Para hamba di rumah Nabal pasti setuju dengan gambaran Allah tentang pria ini. Di ayat 17 kita mendengar seorang hamba berbicara kepada Abigail tentang tuannya yang juga merupakan suami Abigail: “Ia seorang yang dursila, sehingga orang tidak dapat berbicara dengan dia.” Sekali lagi, teks dalam bahasa Ibrani menyatakannya dengan penekanan yang sangat kuat. Nabal adalah “orang yang dursila, putra Belial,” kata-kata penghinaan paling buruk yang bisa digunakan oleh hamba tersebut. Nabal adalah orang yang keras, sulit, dan kejam. Tidak mungkin berbicara dengannya.
Bukan hanya hamba itu yang berpendapat demikian. Abigail menggambarkan suaminya kepada Daud di ayat 25: “Janganlah kiranya tuanku mengindahkan Nabal, orang yang dursila itu, sebab seperti namanya demikianlah ia: Nabal namanya dan bebal orangnya.”
Abigail mungkin memasuki pernikahan yang tidak menyenangkan itu bukan atas kemauannya sendiri. Pada zaman itu, pernikahan diatur oleh orangtua. Tidaklah penting jika pada kenyataannya Abigail mungkin tidak bahagia dalam pernikahannya tersebut.
Sayangnya, saat ini banyak wanita yang karena pilihan mereka sendiri, memasuki pernikahan yang sama menyedihkannya seperti Abigail. Pangeran tampan itu ternyata berubah menjadi katak. Pemimpin Kristen yang baik itu ternyata berubah menjadi seorang penganiaya.
Bagaimana Abigail menangani situasinya ketika terikat dalam pernikahan dengan seorang pria dursila, yang terang-terangan berbuat jahat dan yang tidak bisa diajak bicara atau dibantah oleh siapa pun? Bisakah kita belajar sesuatu dari Abigail untuk bisa membantu kita atau membantu para wanita yang kita kenal, yang terperangkap dalam situasi yang sama?
Kisah ini dibuka pada suatu masa di tahun ketika tiga ribu domba Nabal sedang digunting bulunya. Musim menggunting bulu domba pada zaman Nabal juga merupakan saat yang meriah. Sudah merupakan adat bagi si pemilik domba untuk mengadakan pesta setelah pekerjaan itu usai. Pada pesta tersebut, ia akan memberi hadiah kepada semua orang yang dengan cara apa pun telah membantu selama tahun itu. Inilah ucapan syukurnya kepada Allah dan itikad baik yang ditunjukkannya pada tetangga-tetangganya.
Ketika Daud mengirim anak buahnya yang masih muda untuk mengambil yang menjadi hak mereka karena telah memberikan perlindungan kepada para gembala Nabal selama tahun itu, mereka sangat beralasan untuk mengharapkan kemurahan hati dari Nabal. Namun sebaliknya, di ayat 10 dan 11, kita melihat Nabal menghina anak buah Daud. Bahkan ia juga mencemooh karakter Daud di depan anak buahnya.
Daud memberikan reaksi tak terduga, “Baiklah, masing-masing menyandang pedang. Kita akan menyapu bersih orang ini dan juga setiap laki-laki dan anak laki laki di rumahnya.” Dengan 400 orang bersenjata, Daud berangkat untuk membinasakan Nabal dan seisi rumahnya.
Pada saat yang bersamaan, seorang hamba yang bijaksana lari menemui Abigail dan melaporkan yang telah terjadi. Abigail harus menangani sebuah situasi yang buruk. Ada empat ratus orang sedang dalam perjalanan untuk membunuh Nabal dan juga sebagian besar anggota rumah tangganya.
Abigail berpikir cepat, lalu bergegas untuk mengambil jalan pintas guna mencegah masalah. Namun menurut Anda, apakah yang Abigail lakukan? Sebagai wanita Kristen, apakah menurut Anda, ia telah bertindak dengan benar? Apakah yang sebenarnya terjadi ketika ia bergegas memanggang semua roti, mengemas kismis dan buah ara, dan memuat buyung anggur itu ke atas keledai? Pertama-tama, tindakan Abigail berkebalikan dengan tindakan suaminya. Nabal telah mengusir anak buah Daud, tetapi Abigail menyiapkan sejumlah besar makanan bagi mereka. Kedua, Abigail melakukan semua ini tanpa sepengetahuan Nabal.
Lalu berkatalah Daud kepada Abigail: “… bahwa engkau pada hari ini menahan aku daripada melakukan utang darah dan daripada bertindak sendiri dalam mencari keadilan.” Daud melihat tindakan Abigail sebagai tindakan dari Allah. Dan menurut bagian Kitab Suci ini, Abigail menjadi teladan bagi kita sebagai wanita yang bijaksana dalam situasi yang sulit. Ia bertindak demi kepentingan rumah tangganya dan suaminya. Orang pertama yang akan merasakan tajamnya pedang Daud ialah Nabal. Dengan menentang keinginan Nabal, Abigail menyelamatkan nyawa suaminya. Ia memikirkan kepentingan Nabal dan kepentingan rumah tangganya.
Disadur dari buku “Wanita Yang dibentuk Allah” Hak Cipta © 1990, 2012 oleh Alice Mathews.
Untuk membeli buku tersebut, silakan kunjungi versi ebook klik: di sini