Aku lahir sebagai anak pertama dalam keluarga pendeta. Dari luar, banyak orang mungkin mengira itu sebuah kehormatan besar punya ayah seorang hamba Tuhan yang cukup dikenal. Tetapi dari kecil aku belajar, bersama kehormatan itu selalu ada beban besar yang harus kupikul.

Sejak kecil aku tahu aku tidak boleh sembarangan. Ada begitu banyak ekspektasi yang tertuju kepadaku—dari orang tua, jemaat gereja, bahkan orang-orang di sekitarku. Aku harus selalu menjadi “anak baik-baik”, tidak boleh nakal, tidak boleh bikin malu keluarga, apalagi mempermalukan nama Tuhan. Aku sering merasa seolah-olah aku bukan anak-anak biasa; aku harus menjadi teladan, bahkan ketika aku sendiri masih mencari tahu siapa diriku.

Aku masih ingat satu peristiwa waktu di sekolah dasar. Aku sedang bermain bersama teman-teman di lapangan. Tiba-tiba aku melihat ada kotoran kucing di dekat kami. Refleks aku teriak dengan suara lantang, “Awas, ada t** kucing!” Aku pikir itu wajar saja itu memang kata yang tepat, karena jelas itu bukan kue. Tapi seketika teman-teman menoleh ke arahku dan meneriakiku:

“Wah, parah! Anak pendeta ngomong jorok!”

Sepanjang hari itu mereka mengejek dan mempermasalahkan ucapanku. Aku terdiam. Hatiku hancur. Aku bertanya dalam hati,“Apa salahku? Bukankah aku hanya mengingatkan mereka? Kenapa kata yang keluar dari mulutku terasa begitu salah, hanya karena aku anak pendeta?” Sejak hari itu aku sadar, aku berbeda dengan anak-anak lain. Mereka bebas berkata apa saja, tapi aku harus menjaga setiap kata dan tingkahku, karena label itu: “anak pendeta.”

Beban itu makin terasa ketika aku beranjak remaja. Waktu SMP, aku mulai mengenal cinta monyet. Aku punya seorang pacar, dan aku pikir hal itu wajar saja. Di sekolah aku melihat teman-temanku juga bergandengan tangan dengan pacar mereka, jadi aku pun melakukan hal yang sama. Yang tak kusangka, beberapa anak jemaat yang satu sekolah denganku melihatnya, dan segera melaporkannya kepada orang tua mereka. Kabar itu bergulir cepat sampai ke telinga ayahku, bahkan jadi bahan pembicaraan di gereja.

Tuduhan demi tuduhan pun berdatangan.
“Bagaimana anak pendeta bisa seperti itu?”
“Orang tuanya tidak mengajarkan, ya?”
“Atau memang anaknya bandel sekali?”

Aku hanya bisa menunduk. Rasanya seluruh dunia menudingku. Ayahku akhirnya memintaku untuk memutuskan hubungan itu. Dan di dalam hatiku, aku bergumam kepada Tuhan, “Mengapa aku berbeda, Tuhan? Aku tidak pernah meminta lahir sebagai anak pendeta. Banyak orang melihat aku punya privilese, tapi mereka tidak tahu begitu banyak tuntutan yang mengikatku. Semua mata selalu mengawasiku.”

Belum lagi, ayah yang sibuk dengan pelayanan seringkali tidak punya waktu untukku dan adik-adikku. Ia lebih sering tahu kabar kami dari laporan mama, atau dari sekolah, ketika tiba-tiba nilai kami menurun, atau ketika aku berantem dengan teman. Hubungan kami terasa jauh, dan aku makin merasa sendirian.

Di tengah tekanan itu, aku mulai belajar bermain peran. Sejak SMP aku hidup dengan dua wajah. Di rumah dan gereja, aku mengenakan topeng anak baik-baik. Aku melayani, terlihat rohani, seolah sempurna tanpa cela. Di sekolah, aku membuka topeng itu. Aku ikut teman-teman nakal, berbicara kotor, ikut tawuran, bahkan belajar merokok. Semua itu kulakukan hanya agar bisa diterima, agar aku tidak lagi merasa berbeda.

Aku merasa seperti dua orang yang berbeda dalam satu tubuh. Di satu sisi, aku anak pendeta yang dituntut harus kudus. Di sisi lain, aku remaja yang haus akan penerimaan, meski harus melanggar nilai-nilai yang selalu diajarkan padaku.

Saat kuliah hukum, topeng itu makin tebal. Hari-hari kuliahku dipenuhi pesta, rokok, alkohol, dan kesenangan duniawi. Tapi tiap akhir pekan, aku berubah wajah: melayani di gereja, jadi role model, bahkan orang tua berkata kepada anak-anak mereka, “Nanti kalau besar, jadilah seperti abang ini ya, dia sangat mencintai Tuhan.” Oh, betapa munafiknya hidupku! Aku haus akan pujian manusia, bukan kebenaran Tuhan.

Setelah lulus kuliah, aku merasa lelah dengan permainan peran itu. Aku memutuskan jadi full-timer di gereja. Aku kira aku sudah aman, sudah jadi baik. Aku melayani, berkhotbah, menjadi pemusik, mengajar, dan ikut pelayanan misi 3-4 kali dalam satu tahun, bahkan mendaftar kuliah pascasarjana jurusan teologi. Aku punya mimpi besar menjadi misionaris ke Afrika. Dari luar, semua tampak sempurna. Tapi aku lupa: luka lama, kepahitan, dan tekanan batin yang bertahun-tahun kupendam, hanya menunggu waktu untuk meledak.

Puncaknya pun tiba di tahun 2014. Gereja yang dirintis papaku selama 20 tahun tidak dapat dipertahankan lagi. Sosok yang selama ini kuanggap sempurna, seorang figur ayah dan gembala yang kubanggakan, kini jatuh. Hingga akhirnya papa meninggalkan gereja yang ia bangun dengan air mata. Hatiku koyak.

Belum sembuh dari luka itu, aku diputuskan oleh pacar yang sudah 9 tahun kudoakan. Semakin perih lukaku saat aku mengetahui bahwa ia memilih menikah dengan orang lain. Duniaku pun runtuh. Aku marah kepada semua orang: kepada ayahku, kepada orang-orang percaya, kepada mantan pacarku, dan kepada diriku sendiri. Pada akhirnya… juga kepada Tuhan.

Aku berteriak dalam hati:“Tuhan, kalau Engkau ada, mengapa Engkau tidak peduli. Kalau Engkau peduli, mengapa Engkau biarkan semua ini? Aku sudah melayani-Mu, aku sudah memberikan hidupku—tapi apa yang kudapat? Semuanya hancur!!”

Dalam amarah itu, aku memutuskan meninggalkan semuanya. Aku keluar dari rumah hanya bermodal gitar dan uang seadanya. Aku meninggalkan pelayanan, meninggalkan gereja, meninggalkan Tuhan. Aku pindah ke kos-kosan kecil, hidup dengan mengamen di jalanan. Dari situ aku mulai masuk lebih jauh ke kegelapan. Kemudian aku mendapatkan pekerjaan bagus sebagai legal staff di sebuah perusahaan besar, tetapi hidupku penuh pesta, clubbing, mabuk, narkoba, seks bebas, dan bahkan jadi mucikari dan bandar narkoba.

Tujuh tahun lamanya aku hidup seperti itu. Aku merasa bebas, padahal aku hancur. Aku pikir aku hebat, padahal aku budak dosa.

Sampai akhirnya awal 2021, semuanya berubah. Malam itu, aku pergi ke apartemen seorang teman untuk ‘berpesta’ menggunakan obat-obatan terlarang, Pada pukul 23.30, kami dikejutkan dengan ketukan keras di pintu. Tiba-tiba 15 orang polisi masuk ke dalam menggerebek kami. Aku dan temanku digiring ke kantor polisi, lalu dijebloskan ke sel sempit ukuran 2×3 meter, berdesakan dengan sepuluh orang tahanan lain.

Hari-hari pertama di sel, aku masih berada di bawah pengaruh narkoba, dan masih merasa biasa saja. Namun, setelah efeknya habis, aku baru menyadari bahwa aku sedang berada di titik terendahku. Aku benar-benar hancur, kosong, tidak ada apa-apa lagi selain tubuhku dan baju yang kupakai. Hancur hatiku sewaktu mendengar teman yang kubela dan berada satu sel denganku berkata,”Bro, kalo gua punya kesempatan bisa keluar, maaf ya bro, lo gua tingalin disini.” Aku merasa putus asa hingga hampir gila.

Dalam keadaan terpuruk, bukannya kembali kepada Tuhan, aku justru semakin marah kepada Tuhan. Setelah 10 hari mendekam di sel, diputuskan untuk aku direhabilitasi. Aku memberontak dan mencoba mengusahakan segala cara supaya tidak jadi dikirim ke tempat rehabilitasi. Meski demikian, dengan air mata dan keteguhan hati, papaku tetap menyerahkan aku ke sana.

Hari-hari pertama di tempat rehabilitasi kuisi dengan penuh penolakan. Aku merasa seperti Tuhan seakan menjebloskanku ke sana. Namun, suatu pagi, dalam kesendirian yang panjang, aku melihat Alkitab dengan kondisi masih baru tergeletak di meja. Dengan berat hati, aku membukanya. tanganku berhenti di kitab 1 Raja-raja 17: kisah Elia di tepi sungai Kerit.

Elia, nabi besar yang pernah dipakai Tuhan menghancurkan Baal, tiba-tiba putus asa, kabur, dan bersembunyi di pinggir sungai. Ia sendirian, lapar, haus, merasa tidak berguna. Namun, justru di sana, Tuhan datang. Ia memelihara Elia lewat burung gagak.

Saat itu, hatiku bergetar. Aku yakin Tuhan berbicara kepadaku: “Inilah waktumu. Aku sedang menarikmu ke Kerit. Bukan untuk menghancurkanmu, tapi untuk merawatmu. Aku mau me-reset hidupmu.”

Malam harinya aku membuka Mazmur 139:7-10 (TB) “Ke mana aku dapat pergi menjauhi roh-Mu, ke mana aku dapat lari dari hadapan-Mu? Jika aku mendaki ke langit, Engkau di sana; jika aku menaruh tempat tidurku di dunia orang mati, di situ pun Engkau. Jika aku terbang dengan sayap fajar, dan membuat kediaman di ujung laut, juga di sana tangan-Mu akan menuntun aku, dan tangan kanan-Mu memegang aku.”

Aku tidak dapat menahannya lagi. Malam itu, tangisanku pecah dan aku menangis sejadi-jadinya. Seketika aku tersadar: selama 7 tahun aku melarikan diri, Tuhan tidak pernah sekalipun berhenti mengejarku. Aku memang hancur sehancur-hancurnya, tapi justru di titik nol itu, Tuhan membuktikan diri-Nya. Ia setia dan tetap mengasihiku.

Itulah awal mula kisah Tuhan memulihkan hidupku…

Di titik paling rendah hidupku itu papa hadir untukku. Papa tidak hadir sebagai seorang pendeta yang menuntut kesucian, kekudusan dan kesempurnaanku sebagai anak. Ia tidak berdiri di depan pintu rumah dengan daftar kesalahanku dan siap menghakimi perbuatanku. Sebaliknya, ia membuka tangannya lebar-lebar, memelukku, dan berkata: “Nak, pulanglah.” Pelukan itu masih jelas kuingat dan hangatnya masih dapat kurasakan hingga saat ini. Pelukan itu menjadi saluran kasih Tuhan yang pertama kali kurasakan setelah sekian lamanya aku menjauh dari-Nya.

Tuhan telah me-reset hidupku. Seolah-olah Ia berkata kepadaku, “Nak, Aku mau memulai sesuatu yang benar-benar baru dalam hidupmu. Aku mau berjalan bersamamu dalam perjalanan yang baru.”

Hari itu aku sadar bahwa peran seorang ayah itu bisa mempengaruhi cara pandang anak terhadap dunia, bahkan terhadap Allah. Ketika sang ayah hadir dengan kasih, anak akan lebih mudah mengenal Allah sebagai Bapa yang penuh kasih.

Oleh sebab itu, berdasarkan pengalaman yang telah kutuliskan ini, izinkan aku berkata kepada para orang tua terkasih:
Kami, anak-anak, tidak butuh engkau sempurna. Kami butuh engkau hadir.
Kami butuh rumah yang dipenuhi kasih yang nyata. Menegur, dab juga mendukung. Mendidik, dan juga memeluk. Kami butuh papa dan mama yang mendengar, menuntun, dan menjadi teladan bagi kami; bukan hanya menghakimi

Dan inilah pesanku kepada saudara-saudaraku sebagai anak-anak terkasih:

Kita tidak bisa terus-menerus hidup dengan menyalahkan orangtua, keadaan, atau luka masa lalu. Orangtua kita adalah manusia yang tidak sempurna, rapuh, berdosa, dan butuh anugerah Allah, sama seperti kita. Mari buka hati kita saat Tuhan menegur kita agar kita dapat kembali kepada-Nya. Izinkan Dia me-reset hidup kita.