Didiklah anakmu, maka ia akan memberikan ketenteraman kepadamu, dan mendatangkan sukacita kepadamu. — Amsal 29:17

 

Setiap wanita pasti ingin menjadi ibu yang baik bagi anak dan menciptakan kondisi rumah yang menyenangkan keluarga. Namun, dalam menjalani peran sebagai ibu, sebagian besar wanita pasti pernah melakukan kesalahan. Misalnya ketika menghadapi anak yang tantrum, ketika mengarahkan anak untuk makan makanan yang bergizi, mengusahakan agar anak tidak bertengkar dengan kakak atau adiknya, dan sebagainya. Perasaan bersalah ataupun malu tidak bisa mendidik anaknya dengan baik sering menghinggapi pikiran para ibu. Bahkan, tidak sedikit yang merasa bahwa dirinya bukanlah ibu yang baik. Untuk menghilangkan pikiran dan perasaan negatif tersebut, umumnya, para ibu akan terus berusaha menjadi lebih baik. Semakin ia terganggu dengan pikiran tersebut, semakin keras usahanya untuk mengalahkan pikiran tadi, demi meningkatkan perasaan berharganya. Akibatnya, tidak jarang para ibu mengabaikan kebutuhan pribadinya demi mengurus anak.

Tidak sedikit ibu-ibu yang berada dalam konteks demikian. Memiliki anak dengan penampilan yang terawat baik, namun penampilan si ibu berkebalikan.

Tidak sedikit ibu-ibu yang berada dalam konteks demikian. Memiliki anak dengan penampilan yang terawat baik, namun penampilan si ibu berkebalikan. Bahkan tidak jarang pula ibu-ibu mengabaikan kesehatannya demi mengurus anak. lbu-ibu yang demikian, biasanya merasakan hidupnya sangat sibuk. Kehidupannya hanya seputar rumah tangga dan pekerjaan kantor, bila ibu tersebut juga bekerja di luar rumah. Jangankan untuk melakukan hobi ataupun pengembangan diri, waktu untuk bersosialisasi dengan keluarga besar atau teman pun sudah tidak ada.

Ibu yang Baik

Akibatnya, setelah beberapa lama, ibu yang demikian akan merasa tidak bahagia. Parahnya lagi, mereka tidak tahu penyebab dari ketidakbahagiaan tersebut. Berbagai macam pertanyaan biasanya berputar dalam pikiran mereka. Misalnya, mengapa aku tidak merasa bahagia padahal aku selalu punya waktu untuk mengurus dan bermain bersama anak, apakah aku bukan ibu yang baik? Mengapa ibu-ibu lain memiliki waktu untuk merawat diri ke salon, sedangkan aku, jangankan untuk mengurus penampilan, untuk mandi saja aku sering harus buru-buru. Apakah aku bukan ibu yang dapat membagi waktu dengan baik? Tidak jarang pertanyaan-pertanyaan semacam itu muncul dan membuat ibu tersebut semakin dikuasai kesedihan. Akibatnya, keefektifannya dalam menjalankan peran sebagai seorang ibu bagi anak semakin menurun.

Tentu tidak ada satu ibu pun, yang secara sadar, ingin berada dalam kondisi seperti itu. Untuk menghindarinya, pertama-tama kita melepaskan diri dari mitos “ibu yang baik”. Mitos apakah itu? Mitos bahwa seorang ibu yang baik pasti akan memiliki anak yang baik. Mitos tersebut terkait dengan kesalahpahaman bahwa anak adalah cerminan dari baik tidaknya seorang ibu. Dalam dunia ilmiah, fenomena tersebut dikenal dengan istilah “Achievement by Proxy Syndrome”. Sindrom tersebut menimbulkan banyak masalah. Misalnya, seorang ibu menggantungkan nilai dirinya sebagai individu bukan pada tindakannya sendiri, melainkan pada tindakan anaknya.

Tentunya, kepribadian seorang ibu akan berpengaruh kepada baik tidaknya perilaku anak. Namun, perlu disadari bahwa ada faktor-faktor lain di luar kuasa seorang ibu yang juga mempengaruhi perilaku anak. Misalnya saja kesehatan anak, teman dan guru di sekolah, lingkungan rumah, buku-buku yang dibaca, film yang ditonton, dan sebagainya. Selain itu, yang tidak kalah penting, nilai individu tidak dapat ditentukan oleh tindakan individu lain. Itu berarti nilai diri ibu sebagai individu tidak ditentukan oleh baik tidaknya perilaku anak.

Mari kita lihat apa kata Alkitab mengenai ibu yang baik itu. Seorang ibu yang baik adalah seorang yang membuka mulutnya dengan hikmat, pengajaran yang lemah lembut ada di lidahnya (bandingkan Amsal 31:26-27). Banyak pengajaran-pengajaran penting dalam hidup seorang anak yang didapat secara langsung dari seorang Ibu. Bahkan ketika seorang anak masih berada dalam kandungan seorang ibu, pertalian batin diantara keduanya sudah terjalin. Maka penting bagi seorang ibu untuk memandang bahwa berkomunikasi dengan anak sejak dini merupakan kesempatan emas untuk membagikan norma-norma dan nilai-nilai hidup pada anak. Bahkan nilai tertinggi yaitu firman Allah itulah yang terpenting dalam pengajaran lemah-lembut seorang ibu pada anaknya.

Selain memberikan pengajaran, seorang ibu yang baik juga akan memperhatikan kebutuhan keluarganya. Ia menjadi seperti seorang manager yang bertanggungjawab mengelola dan mengawasi segala perbuatan rumah tangganya, makanan kemalasan tidak dimakannya. Sehingga anak-anaknya pun terkesan akan tindakannya, dan menyebutnya berbahagia (bandingkan Amsal 31:28a).

Prinsip firman Tuhan ini berbeda dengan mitos Iain yang perlu dihilangkan yaitu bahwa ibu yang baik selalu memprioritaskan kebutuhan dan kepentingan anak dibandingkan diri sendiri. Ibu-ibu yang demikian cenderung berpikiran bahwa menyediakan waktu untuk diri sendiri bukanlah hal yang perlu diprioritaskan, sehingga mereka sering merasa bersalah jika meluangkan waktu untuk dirinya sendiri. Akibatnya sering kali muncul perasaan letih dan sedih yang tiba-tiba yang membuat para ibu menjadi tidak sabaran terhadap anak. Ibu-ibu yang demikian tentu jauh dari perasaan berbahagia.

Ibu yang Baik

Para ibu perlu menyadari bahwa memenuhi kebutuhan diri bukanlah tindakan yang egois melainkan tindakan yang memang diperlukan agar dapat berperan efektif dalam kehidupan.

Para ibu perlu menyadari bahwa memenuhi kebutuhan diri bukanlah tindakan yang egois melainkan tindakan yang memang diperlukan agar dapat berperan efektif dalam kehidupan. Penerapan prinsip ini dapat dilihat pada instruksi yang ada di setiap penerbangan, bila ada kondisi darurat maka para orangtua harus terlebih dahulu memakai masker udara sebelum menolong anak-anak mereka. Instruksi tersebut diberikan bukan karena maskapai penerbangan lebih memprioritaskan orang dewasa, melainkan karena sudah terbukti bahwa orangtua tidak akan dapat berperan dengan efektif bila kebutuhan pribadinya tidak terpenuhi, daIam hal ini kebutuhan akan masker udara.

Jelaslah bahwa seorang ibu yang baik akan menghargai dan memperhatikan kebutuhan dirinya sebagai bagian dari pola asuh yang efektif bagi anak-anaknya. la juga akan melihat dan memperhatikan konteks dirinya secara menyeluruh, tidak hanya sebagai seorang ibu, tapi juga sebagai seorang istri, seorang kakak atau adik, seorang teman, dan seorang profesional di dunia kerja. la menyadari bahwa keberhasilannya dipengaruhi oleh konteks kehidupan secara keseluruhan dan oleh kemampuannya memenuhi kebutuhan diri sebagai individu.

Indah sekali penggambaran Lemuel, raja Masa yang mendapatkan pengajaran ini dari ibunya. Ia mendahuluinya dengan melontarkan pertanyaan retoris, istri yang cakap siapakah akan mendapatkannya?… pula suaminya memuji dia: “Banyak wanita telah berbuat baik, tetapi kau melebihi mereka semua. Kemolekan adalah bohong dan kecantikan adalah sia-sia, tetapi isteri yang takut akan TUHAN dipuji-puji.” (Amsal 31:10a, 28b-30).

Namun, perlu disadari bahwa para ibu memerlukan waktu bertahun-tahun melatih dan menerapkan konsep untuk menjadi ibu yang baik bagi anak-anak atau istri yang cakap bagi suami. Seperti yang kita tahu bahwa semua perubahan pola pikir dan kebiasaan memerlukan waktu yang lama untuk bisa berakar. Mari kita terus belajar dan belajar lagi. Selamat menjadi “ibu yang baik”.

 

Letting go doesn’t mean that you don’t care about someone anymore.
It’s just realizing that the only person you really have control over is you.
(Deborah Reber)

 

Disadur dari buku “Mendidik Anak dengan Hati”, Jakarta: Yayasan Busur Emas, cetakan pertama 2016, penulis Ellen Patricia, MA(Counseling), PCC.