Suatu hari, anakku pulang sekolah dengan wajah yang murung, seakan-akan beban dunia ada di pundaknya. Dengan lesu dia duduk di sofa. Aku tahu, pasti terjadi sesuatu di sekolah yang mengganggu pikirannya dan membuatnya demikian. Aku seolah bisa merasakan kesedihannya menyelimuti ruang itu. “Dede malu, Ma,” katanya kepadaku sebelum aku sempat bertanya apa pun.
Segera aku menghampirinya, lalu memeluknya hangat. “Apa yang terjadi, Sayang?” tanyaku lembut, mencoba menyerap kesedihannya. “Bahasa Mandarin itu kan ngga mudah Ma. Aku sudah belajar tiap hari, tapi setiap kali ada tes, aku ngga pernah dapat nilai bagus. Seandainya bisa dapat tujuuuuhhh aja, aku pasti senang.” Aku tersenyum sembari mencium keningnya, “Mama tahu Dede udah berusaha keras. Bahasa Mandarin memang ngga mudah. Mama juga sulit mempelajarinya. Meskipun sekarang Dede kesulitan mempelarinya, Mama yakin, Dede semakin hari akan semakin menguasai bahasa itu.” Ia menatapku dengan sedikit binar harapan di matanya. “Mama tahu kamu sedih,” lanjutku pelan dan tenang. “Tapi mama bangga karena kamu mau terus berusaha. Itu yang terpenting, Sayang. Kalau Dede perlu teman saat belajar, Mama siap membantu sebisa mungkin.” Dia pun mengangguk pelan.
Percakapan pendek di hari itu telah mengajariku sesuatu yang berharga. Aku tahu anakku gagal, tapi bagiku kegagalan itu bukan musibah, melainkan kesempatan untuk bertumbuh. Ketika anakku mengalami kegagalan, aku tidak akan berusaha menjadi pahlawan kesiangan yang segera menyelamatkannya dari masalah, tetapi aku ingin menjadikan kesempatan itu untuk menolongnya menjadi lebih kuat. Aku sadar bahwa aku tidak bisa menghilangkan semua kesulitan dalam hidupnya, tetapi aku bisa menjadi tempat di mana dia menemukan rasa aman dan tidak malu untuk terus berusaha.
Ada cuplikan kalimat bagus dari penulis Amsal yang menyatakan demikian, “Sebab tujuh kali orang benar jatuh, namun ia bangun kembali.” –Amsal 24:16a
Ayat ini menggambarkan bahwa kegagalan adalah bagian dari hidup. Sebagai manusia yang sudah tercemar oleh dosa, kemungkinan gagal itu pasti ada. Respon kita terhadap kegagalan itulah yang akan menentukan keberhasilan yang akan kita capai. Kita bisa menganggap kegagalan sebagai bagian dari proses pembentukan karakter. Jadi jangan takut ketika kita mengalami kegagalan. Fokusnya adalah bangkit kembali dan tidak terpuruk berkelanjutan.
Suatu ketika, murid-murid Tuhan Yesus diperhadapkan dengan orangtua yang membawa anaknya yang kerasukan. Ia memohon agar mereka menyembuhkan anaknya dari sakit ayan yang membuatnya begitu menderita. Anak itu sering jatuh ke dalam api sehingga mengalami luka bakar, kadang juga menenggelamkan dia ke dalam air. Rupanya itu terjadi bukan hanya karena sakit fisik saja, tetapi karena dirasuk roh jahat yang membahayakan hidup si anak. Masalah ini cukup pelik untuk diselesaikan, karena para murid sudah berusaha mengusir roh yang merasuki si anak, tetapi masih belum berhasil. Kisah ini dicatat dalam Matius 17:14-16. Saat Yesus mengetahui hal ini, Ia menegur para murid-Nya agar mereka memiliki iman yang lebih teguh. Hal ini dilakukan bukan karena memandang rendah kemampuan mereka, melainkan karena ingin memberikan peneguhan bahwa sesungguhnya mereka dapat melakukannya dengan kuasa yang telah Ia berikan kepada mereka.
Di kisah ini pun Yesus sendiri tidak menghindarkan murid-Nya dari masalah, tetapi ketika masalah datang, Ia hadir menolong dan memberi kekuatan. Yesus mengusir roh jahat yang merasuki si anak dan roh itu pun meninggalkan anak tersebut dengan paksa setelah membantingnya ke tanah. Dari situ murid-murid-Nya belajar percaya akan kuasa-Nya.
Melalui perenungan-perenungan di atas, ada beberapa poin yang ingin saya bagikan untuk dapat kita teladani. Sebagai orangtua, kita bukan hanya hadir ketika anak-anak sukses, tetapi juga ketika mereka gagal. Saya menyebutnya sebagai pilar untuk membesarkan anak yang tangguh:
1. Bantu Anak Memahami bahwa Kegagalan Itu Wajar
Kita bisa menceritakan kisah pribadi kita tentang kegagalan yang akhirnya membawa pelajaran berharga. Ini akan membantu mereka untuk menanamkan harapan dan realisme dalam hati mereka.
2. Bangun Rasa Percaya Diri Anak
Memberi ruang bagi anak untuk mengambil keputusan. Hal ini akan membantu mereka belajar bertanggung jawab. Biarkan mereka memilih, misalnya: pakaian sendiri, memutuskan ingin belajar apa atau melakukan kegiatan apa di waktu luang. Ketika mereka merasa dipercaya, rasa percaya diri mereka pun akan bertumbuh.
3. Dukung dengan Kasih, bukan Nasihat
Peluk, dengarkan dan dampingi mereka saat kecewa. Terkadang, sebuah pelukan lebih bermakna daripada seribu kata.
4. Ajak Anak Berdoa saat Gagal
Ajak anak berdoa bukan hanya saat mereka takut atau sakit, tapi juga ketika mengalami kegagalan. Bimbing mereka untuk menyerahkan rasa sedih dan kecewa kepada Tuhan. Tunjukkan bahwa Tuhan peduli kepada detail kehidupan mereka, termasuk saat mereka gagal. Doa dapat menjadi jembatan untuk membangun iman dan ketangguhan mental.
Refleksi untuk orang tua:
- Apakah saya membiarkan anak belajar dari kesalahan?
- Apakah kita terlalu cepat menyelamatkan anak dari kesulitan?
- Sudahkan saya hadir mendengarkan dengan kasih?
Anak-anak tidak butuh orang tua yang sempurna, yang mereka butuhkan adalah orang tua yang hadir dan mau menemani berjalan bersama dalam langkah hidup mereka. Saat mereka gagal, kita tidak menghakimi. Mari bertumbuh bersama anak-anak kita, belajar dari kegagalan, bangkit dengan harapan, dan terus berjalan dalam terang Firman Tuhan.
KETANGGUHAN BUKAN DIBENTUK DARI KEBERHASILAN YANG TERUS-MENERUS, TAPI DARI KEBERANIAN UNTUK MENCOBA LAGI SETELAH GAGAL.