Ketika kita berbicara tentang pernikahan, saat yang tepat untuk memulai sesuatu yang baik adalah sejak awal pernikahan itu sendiri:
“Tuhan Allah berfirman: ‘Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.’” (Kejadian 2:18).
Adam membutuhkan seseorang untuk berbagi hidup bersamanya. Kemudian Allah menciptakan Hawa dan membawanya kepada Adam. Dengan awal yang baik, kedua manusia ini—laki-laki dan perempuan—memiliki situasi yang ideal. Mereka diciptakan dalam citra Allah dan ditempatkan di taman Eden, tempat mereka melakukan pekerjaan yang menantang tanpa merasa lelah atau stres. Sampai akhirnya mereka jatuh ke dalam dosa.
Hanya dalam enam generasi sejak Adam dan Hawa, hubungan sempurna antara seorang pria dan seorang wanita telah membuka celah pada poligami. Dalam Kejadian 4:19, kita mengetahui bahwa Lamekh memperistri dua wanita, Ada dan Zila. Hubungan satu daging—keutuhan yang tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara mental, emosional, dan spiritual—tidak lagi dapat terjalin jika seorang pria mempersunting istri-istrinya seperti caranya memperoleh sapi, domba, atau emas.
Bukan putri dambaan Sang Pangeran
Ketika kita beralih ke Kejadian 29, kita bertemu dengan dua wanita, Lea dan saudarinya Rahel, yang bersaing sebagai istri dan terperangkap dalam hubungan poligami. Rahel, wanita yang lebih muda, menjadi istri kesayangan suaminya, sedangkan Lea tidak dicintai.
Kita pertama kali bertemu Lea sebagai alat yang digunakan Laban, ayahnya, untuk menipu Yakub. Di Kejadian 29:16-30, Laban meminta Yakub untuk bekerja 7 tahun padanya barulah bisa menikah dengan Rahel. Namun pada hari yang ditetapkan, bukan Rahel yang didapat Yakub melainkan Lea, kakak Rahel, dengan alasan kesepakatan sebelumnya tidak sesuai dengan adat setempat. Dan Yakub harus bekerja tujuh tahun lagi agar bisa mendapatkan Rahel.
Kepada siapa Anda bersimpati? Sangat mudah untuk merasa jatuh kasihan kepada Yakub sehingga kita melupakan perasaan Lea pada pagi hari itu. Lea pergi ke tenda Yakub malam itu, terbalut tebal dalam cadar pernikahan. Entah sebagai putri yang bersedia diperalat atau sebagai putri berbakti yang semata-mata menaati perintah ayahnya, ia tentu tidak merasa gembira ketika pada keesokan harinya, Yakub marah besar kepada ayah mertuanya.
Lea tidak dicintai, tidak diinginkan, dan tidak dipilih. Dan satu minggu kemudian Lea menjadi istri yang tersingkir, ketika Yakub mengambil Rahel sebagai istrinya.
Sebagian dari kekurangan Lea adalah ia bukan calon Putri Mesopotamia, dan ia memiliki adik yang memenuhi syarat untuk menjadi seorang putri. Rahel sangat cantik dipandang mata, wajahnya jelita, dan bentuk tubuhnya indah. Kemudian ada Lea. Satu-satunya hal yang kita ketahui tentang Lea adalah “ia tidak berseri matanya”, ia dibesarkan di bawah bayang-bayang adiknya yang cantik, dan paras Lea jauh kalah jika dibandingkan dengan adiknya.
Dapatkah Allah menciptakan Lea secantik Rahel? Tentu saja. Jadi, jika Allah benar-benar peduli kepada Lea, mengapa Dia tidak melakukannya? Bukankah hal itu akan menghindarkan Lea dari kesedihan yang besar? Mengapa Allah menunggu sampai Lea menjadi istri yang tidak dicintai Yakub sebelum Dia melakukan sesuatu yang baik baginya?
Nabi Yesaya mengingatkan kita bahwa “Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu” (Yesaya 55:9). Ketika memperhatikan lebih cermat kehidupan Lea, kita melihat bahwa jika Allah membuat Lea secantik Rahel, besar kemungkinan ia tidak akan diberikan kepada Yakub. Jika demikian, Yakub tidak pernah akan memiliki putra-putra yang istimewa, yang melalui mereka, Allah berkarya bagi Israel dan bagi dunia yang berdosa.
Allah sering berkarya di dalam hidup kita, bukan dengan memberi kita keadaan yang sempurna, tetapi dengan menunjukkan kuasa dan kasih-Nya dalam situasi-situasi kita yang tidak sempurna. Dia berkarya demi kebaikan kita dengan memperkenankan kita bergumul dalam hubungan-hubungan yang kurang sempurna.
Beri aku kesempatan mendapat cintamu
Lea tidak dicintai. Namun Allah melihat hal itu dan membuka rahimnya. Tiap kali Lea memeluk bayi mungil di tangannya dan memberinya nama, kita dapat sekilas melihat ke dalam pikiran Lea, ke dalam hatinya, ke dalam kebutuhannya.
Perhatikan progresi dalam pemahaman dan iman Lea ketika Anda mendengar nama-nama anaknya.
Ruben—“Lihatlah, seorang anak laki-laki!” Lea mengakui bahwa Allah telah melihat kesengsaraannya dan membuka rahimnya, serta memberinya seorang anak laki-laki. Ia menafsirkan hal itu sebagai jalan dari Allah untuk dapat memperoleh cinta suaminya. Namun apakah hal itu terjadi? Rupanya tidak. Ia hamil lagi dan Simeon lahir.
Simeon—“Tuhan telah mendengar, bahwa aku tidak dicintai,” kata Lea lalu memberikan nama kepada putranya yang berarti “mendengar”. Kelahiran Ruben tidak membuat Yakub mencintai Lea. Cintanya tetap hanya tertuju kepada Rahel. Namun Allah mendengar keluhan Lea dan melihat air matanya. Allah memahami keinginan Lea yang mendalam untuk mendapatkan cinta Yakub dan memberinya anak laki-laki kedua. Tentu sekarang Yakub akan mencintainya. Namun benarkah demikian?
Lewi—Sekali lagi Lea melahirkan anak laki-laki dan memberinya nama yang berarti “bergabung”. Ia menjelaskan nama itu. “Sekali ini suamiku akan lebih erat kepadaku, karena aku telah melahirkan tiga anak laki-laki baginya.”
Harapan tetap bersemi abadi di hati manusia. Lea berharap, mula-mula dengan Ruben, lalu dengan Simeon, dan kemudian dengan Lewi, bahwa tiap anak laki-laki yang baru dilahirkannya akan membuat perbedaan dalam pernikahannya, bahwa Yakub mungkin akan mencintainya seperti ia mencintai Rahel.
Lea tetap berharap untuk memperoleh cinta yang setara, jika tidak bisa menempati posisi pertama di hati Yakub. Dengan bergulirnya waktu setelah kelahiran setiap anak laki-lakinya, harapan Lea memudar, kemudian terhempas. Segala usahanya untuk memenangkan hati Yakub—dengan bantuan Allah— terasa sia sia belaka. Mata Yakub hanya terus tertuju kepada Rahel yang cantik dan mandul.
Banyak istri berusaha keras untuk memenangkan atau mempertahankan cinta dari suami yang tidak merespons kembali cinta mereka. Sering kali sama seperti Lea, harapan yang tetap bersemi itu menyurut atau harapan itu terhempas. Sungguh sulit menjalani hubungan tanpa komitmen untuk saling mencintai dengan sepenuh hati. Segala sesuatu di dalam diri kita mendambakannya.
Sebagai wanita tak sempurna yang menikah dengan pria tak sempurna, dalam kekecewaan karena merasa kurang dicintai seperti yang kita harapkan, mungkinkah kita menemukan sumber kebahagiaan dalam pernikahan yang kurang sempurna? Di zaman ketika kita dikelilingi media yang mengatakan bahwa cinta romantis merupakan dasar suatu pernikahan yang kuat, sulit rasanya berpegang pada fakta bahwa sebuah pernikahan indah dapat dibangun dari sesuatu selain cinta.
Lihat saja Lea, ketika anak laki-lakinya yang keempat lahir. Ia menamakannya Yehuda, yang berarti “bersyukur”. Ia menjelaskan nama itu dengan berkata, “Sekali ini aku akan bersyukur kepada Tuhan.” Untuk pertama kalinya dalam menamakan putranya, Lea mengalami perubahan. Semula ia mengekspresikan kerinduannya akan cinta Yakub, tetapi kemudian ia bisa menerima dan bersukacita dalam kasih Allah.
Fokus Lea beralih dari yang tidak dipunyainya, pada yang dimilikinya. Benar, tidak ada yang berubah dengan Yakub, yang masih tetap memuja Rahel. Lea tidak bisa mengubahnya. Namun ia bisa mengubah dirinya. Ia bisa mengubah fokusnya. Lea bisa melihat tangan Allah dalam hidupnya, yang memberinya makna.
Langkah terpenting menuju sukacita dalam pernikahan tanpa cinta adalah mengubah fokus kita dari apa yang tidak kita miliki, pada apa yang kita miliki. Lea memiliki empat putra di zaman anak laki-laki merupakan segala-galanya. Ia menyadari kekayaan situasinya dan berkata, “Sekali ini aku akan bersyukur kepada Tuhan.”
Disadur dari buku “Wanita Yang dibentuk Allah” Hak Cipta © 1990, 2012
oleh Alice Mathews. Untuk membeli buku tersebut, silahkan kunjungi versi ebook di: di sini