Kehilangan seorang yang kita kasihi tentunya akan meninggalkan kepedihan yang mendalam. Apalagi jika orang itu adalah pasangan hidup dan anak-anak kita. Namun, pernahkah Anda membayangkan seperti apa dalamnya kesedihan seseorang yang harus kehilangan seluruh keluarganya? Kejadian semacam ini dituliskan secara jujur di dalam Alkitab sebagai pembelajaran tentang hidup manusia dalam dunia yang telah tercemar oleh dosa.
Banyak dari kita tidak asing lagi dengan kisah Naomi yang dituliskan dalam Kitab Rut di Alkitab Perjanjian Lama. Dikisahkan tentang Elimelekh yang meninggalkan Betlehem beserta istri dan kedua anak laki-lakinya, lalu menetap di Moab sebagai orang asing. Kelaparan di tanah Israel membuat hidup mereka terasa pahit dan mereka terpaksa berpisah dengan sanak saudara. Namun, rupanya di negeri Moab kepahitan demi kepahitan masih membayangi. Diawali dengan kematian Elimelekh, kemudian disusul dengan kematian Mahlon dan Kilyon, kedua anak mereka. Akhirnya tinggallah Naomi dan kedua menantunya yaitu Orpa dan Rut.
Tidak seperti namanya yang artinya “manis atau menyenangkan” (dalam terjemahan bahasa Ibrani, Naomi artinya “menyenangkan”), perjalanan hidup Naomi mencerminkan kebalikannya. Alkitab mencatat bahwa Naomi mengganti namanya menjadi “Mara”, yang artinya pahit. Pergantian nama merupakan hal yang signifikan dalam kultur Judaisme; kerap kali Tuhan sendiri yang mengganti nama orang pilihan-Nya dengan tujuan untuk mengubah panggilan hidupnya. Sehingga, apa yang dilakukan Naomi cukup kontroversial di zamannya.
Jika kita berusaha menyelami perasaan Naomi, kepahitan Naomi tidak terjadi dalam satu malam, melainkan telah dipupuk bertahun-tahun sejak kota kelahirannya, Betlehem, mengalami musibah kelaparan. Kesedihan Naomi berlanjut dengan kematian suaminya. Kehilangan pasangan yang dikasihi merupakan cobaan yang sangat berat baginya, tetapi rupanya itu tidak berhenti sampai di situ. Kepahitan Naomi memuncak saat kedua anak lelakinya meninggal di usia muda. Bayangkan malapetaka demi malapetaka yang harus dihadapi Naomi.
Menurut tafsiran Wycliffe, “Naomi sesungguhnya mengatakan bahwa pengalaman hidupnya di Moab telah demikian mendukakan hidupnya sehingga ia tidak layak lagi menyandang nama tersebut. Yang Mahakuasa telah banyak melakukan yang pahit kepadaku. Naomi menyadari bahwa aneka tragedi di dalam hidupnya bukan merupakan peristiwa kebetulan, melainkan ada campur tangan Allah dalam setiap peristiwa. Allah adalah Yang Mahakuasa, Dialah yang mengendalikan segala keadaan dalam kehidupan ini.”1
Mari kita menyelami lebih dalam lagi perasaan Naomi. Sesungguhnya kekecewaan Naomi menjelaskan pengertiannya tentang siapa Tuhan kita. Perhatikan kata-kata yang diberi huruf tebal pada kalimat-kalimat dalam Rut 1:20-21 ini:
“Janganlah sebutkan aku Naomi; sebutkanlah aku Mara, sebab Yang Mahakuasa telah melakukan banyak yang pahit kepadaku. Dengan tangan yang penuh aku pergi, tetapi dengan tangan yang kosong TUHAN memulangkan aku. Mengapakah kamu menyebutkan aku Naomi, karena TUHAN telah naik saksi menentang aku dan Yang Mahakuasa telah mendatangkan malapetaka kepadaku.”
Naomi menggunakan kalimat-kalimat aktif untuk perlakuan Tuhan pada dirinya. Berulang kali ia menyatakan “Tuhan telah…” atas bencana hidup yang dialaminya. Saat Naomi mengubah namanya menjadi Mara dikarenakan Tuhan telah mendatangkan malapetaka kepadanya, Naomi mengerti betul bahwa Tuhan merupakan penguasa hidupnya. Di balik kepahitan dan kemarahannya, ia mengakui bahwa Tuhan yang memberi dan juga Tuhan-lah yang mengambil (1:21: “Dengan tangan penuh aku pergi, tetapi dengan tangan yang kosong TUHAN memulangkan aku”). Naomi sadar bahwa kepenuhan yang ia terima sebelumnya juga merupakan hadiah dari Tuhan. Maka saat kepenuhan itu dikosongkan, ia datang kembali kepada si Pemberi.
Ketika Naomi yang didampingi Rut tiba di tanah kelahirannya, mereka datang pada musim yang tepat, yaitu pada permulaan musim menuai jelai. Inilah panen pertama rakyat itu, yang sesudahnya diikuti panen gandum. Sekarang, matanya sendiri meyakinkannya akan kebenaran kabar yang didengarnya dari Moab, yakni bahwa TUHAN telah memperhatikan umat-Nya dan memberikan makanan kepada mereka. Rut pun melihat negeri subur ini pada keadaannya yang terbaik. Kini, mereka punya kesempatan mengumpulkan persediaan untuk menghadapi musim dingin.
Lalu apakah kepahitan Naomi di masa lalu membuat ia patah semangat dan mengabaikan tanggung jawabnya? Tentu tidak. Naomi tetap taat mengerjakan panggilan Tuhan dalam hidupnya. Di pasal-pasal berikutnya, Alkitab mencatat bahwa Naomi setia menjalankan tugas dan panggilannya sebagai seorang ibu, yakni ibu mertua dari Rut. Ia menjaga Rut. Ia juga membimbing Rut dalam kesehariannya. Ia bahkan mencarikan pasangan yang layak untuk Rut. Naomi-lah otak di balik pernikahan Rut dan Boas.
Naomi tidak patah semangat meski pada puncak kepahitannya, hidupnya seolah kehilangan arah. Ia tetap ingin memberikan yang terbaik untuk menantu perempuannya. Naomi memang pernah mengeluh kepada Tuhan dan ini merupakan respons yang sangat wajar sebagai ibu yang ditinggalkan suami dan anak-anaknya. Meski demikian, Naomi tidak pernah melupakan tanggung jawabnya. Dan justru di saat itulah iman Naomi bertumbuh, di saat ia setia melakukan peran dan tanggung jawabnya dalam keadaan dan situasi apa pun juga.
Cerita Naomi tidak berhenti pada kesedihan dan kepahitannya. Kitab Rut menuliskan bahwa Naomi menerima kepenuhan itu kembali saat Boas menikahi Rut. Patut kita ketahui bahwa peran lelaki dalam sebuah keluarga adalah bak ujung tombak perisai. Baik ayah maupun anak lelaki memegang peran yang sangat penting dalam hukum kekeluargaan pada zaman tersebut; sehingga, pernikahan Rut dan Boas sesungguhnya menjamin masa tua Naomi. Boas dan Rut juga dikaruniai tujuh orang anak. Angka tujuh dapat disimbolisasikan sebagai “kepenuhan” di dalam alkitab (seperti tujuh hari penciptaan).
Kisah Naomi mengingatkan kita bahwa semua hal yang terjadi dalam kehidupan kita ada di bawah kendali Tuhan. Tidak sekali pun Tuhan meninggalkan kita, tinggal kita saja yang bersedia peka mengenali berkat-berkat yang sering kali kita anggap remeh, yang sebenarnya merupakan bukti kasih setia-Nya. Semasa Naomi merasa kecewa terhadap hidupnya, ia tetap ingat akan kasih setia Tuhan pada dirinya. Di saat Naomi melihat Rut membawa pulang hasil panen dari lahan sanak saudaranya, Boas, Naomi memberkati Boas dengan mengingat kasih setia Tuhan padanya. Ujian dari Tuhan pada akhirnya membuat Rut semakin peka akan kasih setia dan berkat Tuhan yang senantiasa menyertainya.
Dalam hidup ini, kita sering kali tidak mengerti rencana baik Tuhan. Sering kali juga, kita tidak memahami waktu sempurna Tuhan. Di saat kita mengalami ujian dari Tuhan, kerap kali respons kita kurang tepat. Kita meninggalkan Tuhan dan melupakan panggilan kita. Jangan lupa, bahwa Anda dan saya lebih baik mengeluh kepada Tuhan dan membawa semua kepahitan kita kepada-Nya. Ingat bahwa kasih setia Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Tetaplah setia mengerjakan panggilan kita dengan segenap hati, karena akan tiba waktunya di mana kita akan melihat ke belakang dan mengucap syukur atas kebaikan, ujian, dan penggenapan janji-Nya.2
1. Commentary Alkitab Sabda Rut 1:20
2. Rick Meyer, E-sword – the sword of the LORD with an electronic edge, Matthew Henry commentary on the whole Bible, Rut 1:21-22
Anda diberkati dengan materi ini?
Pastikan Anda tidak ketinggalan membaca tulisan-tulisan terbaru kami lainnya.