Seorang penulis mengamati bahwa ada epidemi rasa bersalah yang mewabah di antara orangtua zaman sekarang. Banyaknya informasi tentang apa yang dibutuhkan anak dan membanjirnya informasi tentang pola asuh anak dapat menimbulkan rasa bersalah pada diri orangtua. Mereka bertanya-tanya, “Apakah saya sudah membesarkan anak saya dengan benar?” “Apakah saya sudah salah besar dalam mengasuh anak?” “Apakah kesalahan-kesalahan yang saya buat akan berdampak serius dan panjang bagi anak saya?” Pikiran-pikiran seperti itu membuat pola asuh anak modern sangat menekan.
Berikut ini beberapa hal yang membuat orangtua merasa bersalah:
- Tidak memberi cukup waktu mendampingi dan memahami anak
- Tidak menyimak perkataan anak
- Terlalu sibuk dengan urusan rumah dan/atau pekerjaan
- Tidak memberikan cukup kasih sayang
- Terlalu sering mengkritik
- Berteriak, memukul, menyalahkan
- Menjadi teladan yang buruk
- Tidak konsisten
- Terlalu memaksa
- Tidak memberikan motivasi yang cukup
Pada saat orangtua semakin sering mengabaikan anak-anaknya, rasa bersalah yang dialami orangtua pun meningkat. Rasa bersalah timbul karena melanggar peraturan atau mengabaikan tanggung jawab atau hubungan. Memang ada rasa bersalah yang benar, yang dialami orangtua ketika kita bersalah secara objektif. Misalnya, orangtua harus merasa bersalah apabila mereka mengabaikan anak sedemikian rupa hingga anak itu kekurangan gizi atau menderita penyakit. Namun ada juga rasa bersalah yang salah, misalnya kekuatiran mengenai akan jadi seperti apakah anak kita kelak.
Setiap orangtua perlu menghadapi kenyataan yang menyadarkan ini: Bahwa bagaimana jadinya seorang anak kelak tidaklah hanya bergantung pada cara ia diasuh. Kita perlu menyadari bahwa ada banyak faktor yang menentukan apa jadinya anak-anak kita kelak. Faktor-faktor tersebut termasuk: anugerah Allah, pengaruh baik dari luar, tanggapan yang benar dari anak-anak yang lahir dari orangtua yang jahat, dan lain-lain.
Jika kita mempelajari kisah banyak raja Yehuda dan Israel dalam Perjanjian Lama, kita akan menemukan dua kenyataan berikut:
- Raja-raja yang baik dapat menghasilkan anak-anak yang baik.
- Raja-raja yang jahat dapat menghasilkan anak-anak yang jahat.
Dua pernyataan ini masuk akal. Namun, bila kita mengamati hubungan antara raja-raja dan anak-anak mereka dalam Perjanjian Lama, kita juga menemukan kenyataan lain yaitu:
- Raja-raja yang jahat dapat menghasilkan anak-anak yang baik.
- Raja-raja yang baik dapat menghasilkan anak-anak yang jahat.
Mungkin kita bertanya, apa yang salah. Sekali lagi kita diingatkan bahwa pola asuh anak itu sendiri tidak dapat menentukan jalan yang akan diambil seorang anak dalam hidupnya kelak. Mungkin ada rasa bersalah ketika orangtua yang jahat menghasilkan anak-anak yang jahat dan orangtua yang baik menghasilkan anak-anak yang jahat. Ketika hal ini terjadi, dapatkah orangtua yang merasa bersalah karena telah mengabaikan anak-anaknya, atau tidak memenuhi perannya dalam mengasuh anak kemudian menebus rasa bersalah mereka? Tentunya pengampunan selalu tersedia. Dalam situasi seperti itu, orangtua dapat bertobat dari kesalahan dan dosa mereka, dan meminta Allah mengampuni mereka. Mereka juga dapat meminta pengampunan dari anak-anak mereka, dan ini bisa menjadi awal proses penyembuhan serta pemulihan dalam hubungan mereka.
Orangtua juga dapat meminta hikmat dan petunjuk Allah untuk melihat bagaimana kesalahan yang sudah terjadi bisa diperbaiki. Tidak ada kata terlambat untuk mengupayakan perubahan, dan semua ini dapat terjadi bila orangtua mulai menabur kasih, meluangkan lebih banyak waktu untuk mendengarkan anak-anak mereka, dan mengupayakan rekonsiliasi secara proaktif.
Sebagian orangtua yang baik telah berusaha sebaik mungkin untuk membesarkan anak-anak mereka dengan cara yang baik. Namun, mereka bisa kecewa ketika anak-anak mereka berpaling dari iman pada masa remaja dan dewasa. Dalam situasi seperti itu, orangtua tidak seharusnya menghukum diri dengan menyalahkan diri sendiri dan menyimpan rasa bersalah berlebihan. Ada hal-hal yang memang terjadi di luar kendali mereka. Sebaliknya, orangtua yang menghadapi dilema ini perlu mencurahkan perasaan mereka kepada orang Kristen dewasa lainnya, dan menyerahkan anak-anak mereka kepada Allah di dalam doa.
Ingatlah sang ayah dalam Perumpamaan Anak yang Hilang (Lukas 15:11-32). Sang ayah mungkin bersedih karena anaknya yang hilang, tetapi saya rasa ia tidak sampai menghukum diri sendiri dengan rasa bersalah. Dia ayah yang baik dan memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Namun demikian setiap anak harus bertanggung jawab atas tindakan mereka sendiri. Ketika anak yang hilang pulang, ayahnya dengan senang hati menyambut dan berdamai dengannya. Pastilah ia ayah yang senantiasa berdoa dan menantikan anaknya. Tangannya tetap terbuka untuk merangkul anaknya yang bertobat.
Tidak ada orangtua yang sempurna. Kita semua pernah berbuat salah dan mengabaikan beberapa aspek pola asuh anak. Ketika melihat ke belakang, kita selalu bisa menemukan apa yang seharusnya kita lakukan dengan lebih baik untuk anak-anak kita. Namun, kita tidak boleh tenggelam dalam kesalahan masa lalu. Sebaliknya, kita harus belajar dari kesalahan tersebut dan melakukan sesuatu yang positif di masa kini.
Bersikap perfeksionis tidak akan menolong kita. Sebaliknya, menerapkan pola asuh anak dengan lebih santai akan membantu kita menjadi orangtua yang penuh cinta dan terbebas dari kecemasan. Karena ketika cemas dan gelisah, kita cenderung membuat lebih banyak kesalahan. Kita yakin, satu-satunya yang sempurna adalah Allah Bapa kita, yang bersedia mengampuni dan menolong kita mengganti apa yang hilang. “Demikianlah kita ketahui, bahwa kita berasal dari kebenaran. Demikian pula kita boleh menenangkan hati kita di hadapan Allah, sebab jika kita dituduh olehnya, Allah adalah lebih besar dari pada hati kita serta mengetahui segala sesuatu” (1 Yohanes 3:19-20).
Ingatlah bahwa keadaan dapat membuat kita stres, tetapi apa yang ada di dalam diri kita dapat mengurangi stres tersebut. Dengan kata lain, keadaan mungkin menambah rasa cemas tetapi karakter dan iman membantu kita menghadapinya. Percaya pada firman ini: “…Sebab Roh yang ada dalam kamu, lebih besar daripada roh yang ada di dalam dunia.” ( 1 Yohanes 4:4b).
Renungkanlah:
Dari daftar penyebab yang biasanya membuat orangtua merasa bersalah tentang pola asuh anak mereka, penyebab mana yang paling mengena dengan Anda?
Kapan orangtua harus merasa bersalah dan kapan harus berhenti merasa bersalah ketika teringat pada cara mereka mengasuh anak-anak?