God placed the husband as the head over the family, whether he deserves it or not and whether he rises up to take his position or not. It’s God’s order of things. This doesn’t mean that one position is more important than the other. They work together. This doesn’t mean that the wife can’t work and the husband can’t care for the home; it’s the attitudes of the heart and head that make the difference.
Tuhan menempatkan para suami sebagai kepala keluarga, tanpa memandang apakah ia pantas menerimanya atau apakah ia sanggup menjalankan perannya atau tidak. Ini merupakan aturan yang ditetapkan Tuhan. Bukan berarti peran suami jauh lebih penting daripada peran istri, ataupun sebaliknya. Suami dan istri harus bekerja sama. Ini bukan berarti istri tidak boleh bekerja dan memiliki karier, dan suami tidak peduli dengan pekerjaan rumah tangga. Namun yang membedakan semua ini adalah sikap hati dan pola pikir seseorang.
– Stormie Omartian
Beberapa hari yang lalu ketika membuka laman Facebook, saya menemukan kutipan di atas pada news feed akun Facebook saya. Saya terkejut dengan kata-kata “Whether he deserves it or not and whether he rises up to take his position or not”. Sebagai seorang wanita bekerja dan ibu rumah tangga yang telah menikah puluhan tahun, kata-kata tersebut sangat menemplak saya. Apakah saya masih menjaga sikap hati yang benar selama ini di hadapan Tuhan dalam hal menghormati suami sebagai kepala keluarga?
Di tengah era digital ini, makin beragamnya hubungan dan konflik antar sesama pasti mempengaruhi dinamika hubungan antar suami-istri. Zaman dulu, para istri hanya menjadi ibu rumah tangga, sekarang para istri bisa berkarier. Bahkan tak jarang yang karier, pendapatan, maupun pendidikannya melebihi suami. “Ahhh, tahu apa sih kamu, tanpa kamu, aku sanggup menafkahi diri sendiri dan anak-anak.” “Aduh, jadi suami keras kepala amat, sudah beberapa kali dibilangin, masih ngeyel!” Atau “Sulit banget sepikiran dan sepandangan sama kamu, nggak pernah nyambung.” “Aku sudah capek bekerja, suami hanya ongkang-ongkang kaki di rumah.” Pemikiran-pemikiran seperti ini, meski tak sampai terucapkan dengan kata-kata, bila jujur pada diri sendiri, dapat mengikis rasa hormat kita kepada suami. Belum lagi ego dan kedagingan kita sering kali berbicara lebih lantang, menenggelamkan setiap suara sekecil apa pun untuk taat pada firman Tuhan. Akibatnya, tanpa disadari, penilaian-penilaian subjektif bahwa suami tidak pantas menerima rasa hormat kita, perlahan terbit.
Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu (Efesus 5:22-24).
Hormat kepada suami bukan berarti meng-iya-kan segala sesuatu yang diucapkan atau dilakukan oleh suami, dan bukan pula menggelar karpet merah saat ia kembali ke rumah. Hormat kepada suami lahir dari sikap hati yang benar. Sebagaimana firman Tuhan katakan di atas, pertama-tama dan yang paling utama adalah bagaimana kita menghormati Tuhan sebagai Tuhan dan Allah yang telah terlebih dahulu mengasihi kita. Saat kita belajar menghormati Tuhan dan jalan-jalan-Nya, Dia pasti memampukan, memberi kita hikmat, dan menuntun kita bagaimana menghormati suami.
“Demikian juga kamu, hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, supaya jika ada di antara mereka yang tidak taat kepada Firman, mereka juga tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan isterinya, jika mereka melihat, bagaimana murni dan salehnya hidup isteri mereka itu” (1 Petrus 3:2).
Kita hidup di tengah-tengah dunia yang kacau, di mana nilai-nilai Alkitabiah dalam berumah tangga digantikan oleh pola-pola dan pemahaman dunia yang berlawanan dengan nilai-nilai Alkitab. Pun tak dapat dipungkiri, badai persoalan hidup setiap rumah tangga berbeda satu dengan lainnya. Namun kita memiliki satu kesamaan yang pasti, yaitu Tuhan memanggil kita semua untuk menghormati para suami, dan panggilan-Nya ini berlaku sekarang, bukan menunggu nanti bila suami sudah sempurna, baru kita menghormatinya.
Kita memiliki Tuhan yang sangat mengerti dan memahami setiap pergumulan dan persoalan yang kita hadapi. Jika kita mengizinkan Tuhan memulihkan hati kita, maka Dia akan memampukan kita untuk bangkit dan menjadi istri yang menghormati Tuhan dan suami.
“Rumah dan harta adalah warisan nenek moyang, tetapi isteri yang berakal budi adalah karunia TUHAN” (Amsal 19:14).