Ketika Anda melihat anak Anda, apakah yang Anda lihat?
“Mulut yang harus diberi makan.”
“Saya melihat diri saya sendiri.”
“Saya melihat seseorang yang pasti akan menjadi orang yang lebih baik daripada saya.”
Begitu banyak arti seorang anak bagi orangtuanya. Namun, Alkitab membantu kita melihat anak-anak sebagaimana mereka sesungguhnya:
Anak-anak adalah pemberian Allah, sesungguhnya, mereka itu anugerah (Mazmur 127:3 BIS). Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku. Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya. (Mazmur 139:13-14)
Anak-anak kita adalah pemberian Allah. Dia menciptakan setiap mereka dengan penuh kasih dan memberikan mereka kepada kita sebagai anugerah indah yang berharga. Setiap anak diciptakan secara unik oleh Allah. Ada anak yang pembawaannya ceria, ada anak yang pendiam. Ada anak yang pandai dengan bilangan, ada anak yang lebih berbakat di bidang bahasa, dan sebagainya.
Mari kita luangkan waktu sejenak untuk mengagumi kebenaran alkitabiah yang dalam ini: setiap anak adalah jiwa yang unik dan abadi–tidak ada duanya. Dalam perspektif Allah, tidak ada yang namanya tiruan, bahkan anak kembar pun tidak ada yang persis sama. Di sepanjang masa–baik dulu, sekarang, maupun yang akan datang–tidak akan pernah ada yang seperti anak Anda di seluruh jagat raya.
Jadi, bagaimana kita dapat mengaplikasikan kebenaran alkitabiah ini di zaman di mana persaingan dalam bidang akademis sangat ketat dan kompetitif?
Jangan Membanding-bandingkan
Memahami bahwa setiap anak itu unik, dapat membantu kita menghindari salah satu jebakan paling berbahaya dalam mengasuh anak–membanding-bandingkan. Walaupun bisa saja anak-anak itu mirip dengan kita, dan mungkin memiliki temperamen atau sifat yang sama dengan kita, tetapi mereka bukan kita. Tidak sehat membanding-bandingkan mereka dengan diri kita. Demikian juga, hindari membanding-bandingkan anak kita dengan anak-anak lain, apakah itu saudara atau teman mereka. Membanding-bandingkan dapat menimbulkan luka hati.
Esther mulai merasa cemas ketika mendengar rekan kerjanya, Jessica, bercerita: “Putriku, Riska, ikut bimbel khusus kelas IPA. Di sana ia diajari strategi-strategi khusus untuk menghadapi ujian dan berhasil mendapat nilai tertinggi lho di kelas!” Esther jadi bertanya-tanya apakah sebaiknya ia juga memasukkan putranya, Daniel, ke bimbel yang sama. “Riska dapat nilai paling tinggi di pelajaran IPA!” cerita Esther kepada Daniel sesampainya di rumah. “Kamu juga harus bisa seperti dia!”
Alkitab mengingatkan kita bahwa setiap anak itu unik. Setiap anak memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing.
Alkitab mengingatkan kita bahwa setiap anak itu unik. Setiap anak memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing. Tidak semua anak kuat dalam semua mata pelajaran, keterampilan, dan disiplin. Ketika kita membandingkan anak kita dengan anak-anak lain, itu sama saja kita mencoba memasukkan mereka ke dalam “cetakan” orang lain. Dengan tidak membanding-bandingkan, kita dapat menetapkan ekspektasi yang realistis untuk perjalanan akademis setiap anak. Dengan mengingat bahwa kita tidak bisa mengharapkan setiap anak meraih nilai yang sama baiknya dalam setiap mata pelajaran akan menyelamatkan kita dari kecemasan yang tidak perlu.
Anak adalah anugerah, bukan barang
Sebagian besar kita pasti menolak bila ada orang yang menyamakan anak-anak dengan barang. Namun, jangan-jangan sebenarnya kita memperlakukan anak seperti itu? Kita menuntut kepuasan penuh dari barang-barang yang kita beli. Kalau kita tidak puas dengan barang yang sudah kita beli, kita menolak barang tersebut atau berusaha menggantinya dengan barang yang lebih baik. Dan kalau kita puas dengan barang tersebut, kita membanggakan barang tersebut ke mana-mana, karena barang yang bagus mencerminkan pemiliknya, bukan? Jangan-jangan begitu jugalah cara kita memperlakukan anak kita! Ketika anak-anak tidak berprestasi, apakah kita merasa tidak puas? Apakah kita mengatakan atau melakukan hal-hal tertentu yang membuat mereka merasa tertolak? Apakah kita berusaha “memperbaiki” mereka dengan memberi les-les tambahan? Apakah kita ingin anak-anak kita berprestasi karena dengan begitu sebagai orangtua, kita akan terlihat hebat?
Alkitab berkata, anak-anak bukanlah barang, melainkan manusia. Mereka individu-individu unik yang diberikan Allah kepada kita. Alih-alih memiliki mental pencapaian –”Ayah/Ibu baru merasa bangga kalau kau (hasil karyaku) berhasil mencapai standar yang memuaskan aku”– marilah kita memiliki mental pengurus. Menjadi orangtua berarti diberi hak istimewa untuk mengurus setiap anak yang adalah pemberian unik dari Tuhan. Dalam bab berikutnya, kita akan mendiskusikan topik “Prioritas Pertama Menjadi orangtua”.
Refleksi
- Bagaimana cara mengingatkan diri sendiri setiap hari bahwa anak saya adalah individu unik yang diciptakan oleh Allah?
- Bagaimana saya bisa menahan diri untuk tidak membanding-bandingkan anak dengan diri saya sendiri, saudaranya, atau teman-temannya?
- Dalam hal apa saya mungkin pernah memperlakukan anak saya seperti barang?