Mengapa perlombaan akademis membuat orangtua sangat stres? Beberapa orang menganggap masyarakat kita yang kompetitif dan serba-cepat sebagai penyebabnya. Standar-standar dipasang sangat tinggi dan semua orang bersaing untuk meraih tempat teratas. Anak-anak dituntut memperoleh nilai-nilai cemerlang—dan meraih prestasi non-akademis—demi bisa diterima di sekolah yang lebih baik agar kelak dapat memperoleh pekerjaan yang lebih baik.
Yang lain menuding penyebabnya karena sekolah terus menaikkan standar akademis mereka. “Pelajaran Matematika-nya sulit sekali, saya saja tidak bisa mengerjakan soal penjumlahan matematika putri saya!” ucap Ben, ayah Yulia yang berusia 8 tahun. Orang-orangtua lain bahkan berkata metode penilaian yang dilakukan sekarang ini membuat murid-murid sulit untuk belajar mandiri. “Soal-soal ujiannya tidak diajarkan di kelas. Jadi, anak-anak kami ikutkan les tambahan ini-itu,” kata Mita, ibu Christo yang berusia 12 tahun.
Tak dapat dipungkiri, hanya sedikit sekali yang dapat kita lakukan untuk mengubah masyarakat kita. Semua ini adalah faktor eksternal yang mempengaruhi tingkat stres kita.
Namun, Alkitab menyatakan bahwa faktor kuncinya bersifat internal, yakni hati kita yang berdosa.
Apakah pendidikan adalah berhala kita?
Segera juga mereka menyimpang dari jalan yang Kuperintahkan kepada mereka; mereka telah membuat anak lembu tuangan. (Keluaran 32:8)
Ketika membaca kisah orang Israel yang menyembah anak lembu emas buatan mereka, kita mungkin membatin, “Aku tidak bakal menyembah anak lembu emas!” Namun, bagaimana kalau anak-anak lembu emas zaman sekarang tidak kasatmata? Bagaimana kalau berhala zaman modern ini bersembunyi dalam hati dan pikiran kita?
Yang kita jadikan berhala mungkin bukan hal-hal buruk—bisa saja itu sesuatu yang baik yang kemudian kita ubah menjadi hal-hal paling penting. Bisa juga berupa tujuan baik yang kita ubah menjadi tujuan paling utama. Diri kita akan selalu bergumul; hati kita yang berdosa dan musyrik cenderung mengubah keinginan yang baik—seperti pendidikan atau menginginkan masa depan yang cerah bagi anak-anak kita—dan mengubahnya menjadi tujuan utama kita, yang harus dikejar dengan segala cara.
Sewaktu kita menjadikan pendidikan sebagai berhala, kita akan sangat marah jika anak-anak kita gagal, dan kelewat bangga saat mereka berhasil. Ketika pendidikan kita jadikan berhala, kita merasa sangat cemas atau terlalu percaya diri saat membanding-bandingkan putra-putri kita dengan anak-anak lain. Saat pendidikan kita jadikan berhala, prioritas nomor satu kita adalah memastikan anak-anak kita sukses. Kita bahkan bersedia mengkompromikan prioritas-prioritas spiritual, demi mencapai hal itu.
Kita tidak dapat melayani berhala sekaligus Allah. Tuhan Yesus menegaskan bahwa kita tidak dapat mengabdi kepada dua tuan: “Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain” (Matius 6:24). Didasari perkataan Yesus bahwa kita tidak dapat mengabdi kepada Allah dan uang, Sir Francis Bacon berkata, “Uang adalah hamba yang hebat tetapi tuan yang buruk.” Kita juga dapat berkata begini, “Pendidikan adalah hamba yang hebat tetapi tuan yang buruk.”
Apakah pendidikan—dan keinginan kita agar anak-anak kita berhasil—telah menjadi berhala kita?
Mudah bagi hati kita untuk meyakinkan diri kita bahwa kita tidak memiliki berhala sama sekali. Namun, Kitab Suci mengingatkan, “Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu” (Yeremia 17:9).
Berulang kali Allah berseru agar umat-Nya meninggalkan berhala dan hanya menyembah Dia. Proses ini berlangsung seumur hidup dan dimulai dengan kita memohon agar Allah mengungkapkan dosa kita kepada kita, seperti yang dilakukan Daud dalam Mazmur 139:23-24:
Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!
Refleksi:
- Berhala apakah yang menguasai hati saya dalam hal perlombaan di bidang akademis?
- Apa yang dapat saya lakukan agar mampu berpaling dari berhala-berhala saya dan tunduk kepada Allah dari hari ke hari?
Dapatkah kita memandang pendidikan dengan cara berbeda?
Meski kita sudah berhenti menjadikan pendidikan sebagai berhala, sayangnya perlombaan akademis, sistem sekolah, dan ujian tidak bakal hilang! Namun, kita dapat mengubah cara kita memandang pendidikan, dan bagaimana kita menghadapi tekanan-tekanan ini.
Pertanyaan pertama yang biasanya Jennifer lontarkan kepada Amos ketika anak berusia 14 tahun itu pulang sekolah adalah, “Ada PR?” Belakangan, Jennifer dengan sengaja menanyakan pertanyaan yang berbeda: “Apa yang kaupelajari tentang ciptaan Allah hari ini?” Ketika Jennifer pertama kali melontarkan pertanyaan tersebut, Amos tertawa. “Pertanyaan apa sih itu, Ma? Hari ini aku ada pelajaran bahasa Inggris, bahasa Mandarin, Matematika, Biologi, Kimia, dan Sejarah! Bukannya kita belajar tentang Allah hanya di sekolah Minggu ya?” Ibunya tersenyum. “Tidak, Amos. Semua mata pelajaran adalah mengenai ciptaan Allah!”
Pendidikan memberi kita kesempatan berharga untuk merenungkan tentang ciptaan Allah dan Allah sang Pencipta. Seperti tertulis dalam Mazmur 19:2:3: “Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya; hari meneruskan berita itu kepada hari, dan malam menyampaikan pengetahuan itu kepada malam.”
Semua mata pelajaran akademis memberi kesempatan untuk belajar lebih banyak lagi mengenai Allah. Lewat bahasa, kita belajar mengenai perbedaan bangsa-bangsa dan kebudayaan yang Allah izinkan memenuhi seluruh bumi. Lewat matematika dan ilmu sains, kita belajar mengenai keteraturan penciptaan dan bagaimana hal itu telah dirancang dan diatur dengan baik. Ilmu tentang flora dan fauna merujuk pada karya kreatif Allah. Pelajaran sejarah memperlihatkan sifat manusia yang bermartabat dan sekaligus berdosa. Dan daftarnya masih panjang.
Allah adalah seniman visual, musisi, matematikawan, ilmuwan, insinyur, dan masih banyak lagi. Singkatnya, pendidikan bukan hanya tentang nilai, melainkan mengenai Allah.
Ketika kita mengubah pendidikan menjadi mengejar nilai ujian, kita kehilangan kesempatan untuk menolong anak-anak kita mengamati ciptaan Allah dan menghubungkannya kembali kepada-Nya. Ketika kita menganggap belajar hanya sebagai mata pelajaran semata, kita kehilangan kesempatan untuk memberi anak-anak kita pelajaran terbaik dari semuanya: bahwa Allah adalah Tuhan atas semua ciptaan, dan jelas adalah Tuhan dari perlombaan akademis.
Refleksi
- Bagaimana saya kemungkinan telah menyampaikan kepada anak-anak saya gagasan bahwa pendidikan adalah tentang nilai ujian?
- Bagaimana saya dapat menjalin percakapan yang berarti dengan anak-anak saya, dan menolong mereka untuk melihat bahwa pendidikan adalah mengenai ciptaan Allah dan Allah sendiri?