Setiap orangtua pastinya ingin anak-anaknya memiliki karakter yang kuat dan kerohanian yang baik. Namun sayangnya, tidak semua orangtua tahu bagaimana cara membangun pola asuh yang tepat untuk menghasilkan anak-anak yang demikian. Bahkan, kalaupun orangtua sudah memahami pola asuh yang baik, dalam upaya terbaiknya, tidak jarang orangtua tanpa sadar mempraktikkan pola asuh yang toksik. Mengapa bisa demikian?
Sebagai orangtua, kita perlu mengakui bahwa banyak dari kita dibesarkan oleh ayah-ibu yang “disfungsional”, yakni orang dewasa yang inner child-nya terluka. Kita tumbuh besar dalam keluarga yang jauh dari sempurna, yang diwarnai pertengkaran, kekerasan, bahkan mungkin perceraian. Jika hal-hal seperti ini terjadi dalam hidup kita sebagai kanak-kanak, maka hampir dipastikan bahwa tidak berbeda dengan orangtua kita, kita pun memiliki inner child yang terluka, yang kemudian kita bawa ke dalam rumah tangga kita sendiri dan ke dalam peran kita sebagai orangtua.
Ada sebuah kutipan yang berbunyi: “Jika Anda tidak pernah sembuh dari apa yang melukai Anda, maka darah yang menetes dari luka tersebut akan menodai orang-orang yang tidak menyakiti Anda.” Orangtua dengan inner child yang terluka cenderung melukai putra-putrinya dengan kata-kata dan sikapnya. Mereka tanpa sadar mempraktikkan pola asuh yang toksik dan berfokus pada orangtua, bukan anak. Berikut beberapa perilaku orangtua dalam pola asuh yang toksik:
Orangtua Suka Membanding-bandingkan Anak dengan Dirinya
Dalam pola asuh yang toksik orangtua sering mengkritik anak secara berlebihan. Hal ini biasanya dilakukan tanpa sadar, terutama ketika orangtua membanding-bandingkan dirinya sendiri dengan anak.
Sebagai orangtua, kita perlu mengingat fakta bahwa anak-anak kita berasal dari generasi yang berbeda dengan kita. Anak-anak yang lahir antara tahun 2011-2022 dikenal sebagai generasi stroberi. Generasi ini dikenal rapuh, dan seperti buah stroberi, generasi ini perlu diperlakukan dengan lembut. Oleh karena itu, bukannya menghancurkan anak-anak ini dengan ucapan dan perlakuan kita, tantangan utama orangtua justru menghasilkan stroberi yang tangguh dalam kelembutannya, yang tidak mudah hancur dan tidak menyimpan kepahitan.
Jika orangtua telah menyadari perbedaan generasi antara dirinya dan anak, orangtua bisa maju ke langkah berikutnya, yaitu menerima kekurangan dan kelebihan generasi stroberi ini tanpa membanding-bandingkannya dengan generasi orangtua sendiri.
Orangtua Fokus pada Keinginan Anak, Bukan Kebutuhan Anak
Orangtua yang belum selesai dengan inner child-nya yang terluka cenderung fokus untuk memenuhi semua keinginan anak, bukan kebutuhannya. Orangtua bersedia melakukan apa saja demi membuat anak “bahagia”, sehingga memanjakan anak dan menganggap itu artinya mereka menyayangi anak.
Contoh yang banyak ditemukan di masyarakat sekarang ini adalah perihal membentuk pola makan yang sehat pada anak. Banyak orangtua malas mendidik anak agar suka makan sayur dan buah. Mereka mengaku enggan bersitegang dengan anak yang lebih menyukai junk food, dan akhirnya memilih membiarkan anak makan apa saja yang disukainya dengan dalih “yang penting anak bahagia”. Orangtua macam ini sebetulnya tidak sungguh-sungguh memikirkan kebutuhan anak. Mereka hanya mencari jalan pintas yang mudah dan bukannya berjuang untuk membangun pola hidup yang sehat bagi anak.
Orangtua Menjadikan Anak sebagai Ukuran Keberhasilannya Sendiri
Ada banyak anak yang menjadi “korban” ambisi orangtua. Mereka menjadi objek untuk orangtua menyelamatkan diri sendiri agar tampak “hebat” di mata orang, dan dalam prosesnya orangtua sama sekali tidak peduli dengan kesehatan mental anak karena sibuk mengurus imej dan namanya sendiri.
Sebut saja seorang remaja bernama Diana yang nekat melakukan operasi plastik hanya karena wajahnya jerawatan. Ketika ditanya alasannya, Diana mengaku ia lelah dan sedih karena orangtuanya terus membahas soal jerawatnya untuk alasan yang keliru, yaitu supaya “Mama nggak malu dan nggak diomongin orang.” Diana sangat tertekan dan tidak bahagia. Nah, ada berapa banyak anak remaja seperti Diana yang terluka dan tidak bahagia karena menganggap penampilannya telah mempermalukan orangtuanya?
Orangtua Mengasihani Anak, Bukan Mengasihinya
Ada banyak sekali orangtua yang lupa bahwa tugas mereka bukanlah mengasihani anak, melainkan mengasihi anak. Orangtua selalu siap melayani anak, karena takut anak terluka atau merasa tidak nyaman. Bagi orangtua, perasaan anak lebih penting daripada perilakunya. Orangtua tidak tahu bahwa dengan mengasihani anak, orangtua hanya fokus pada memenuhi keinginan anak, bukan kebutuhannya.
Orangtua yang mengasihani anak cenderung membiarkan anak melakukan apa saja. Orangtua memilih menghindar untuk menegur anak, dengan alasan takut anak mengalami kepahitan, stres, bahkan depresi. Orangtua tidak menyadari bahwa jika anak tidak mengenal disiplin dan peraturan, mereka tidak akan tumbuh menjadi anak yang baik.
Orangtua yang mengasihani anak biasanya juga tidak mampu membedakan mana tindakan anak yang didorong oleh kelemahannya, dan mana yang didasari motif yang jahat. Jika suatu tindakan datang dari kelemahan anak, biasanya itu merupakan ketidaksengajaan, ketidakmampuan, ataupun ketidaktahuan. Untuk mengatasinya, orangtua tinggal membimbing dan menasihati anak.
Namun bagaimana jika anak melakukan sesuatu dengan motif jahat? Tentu saja orangtua harus mendisiplinkan anak. Dengan disiplin artinya orangtua memberi batasan agar anak-anak tidak terjerumus lebih jauh.
Selain disiplin, sebagai orangtua kita juga perlu mengajar anak untuk berempati dan mengasihi orang lain. Bagaimana caranya? Jadikanlah diri kita orangtua yang mengasihi terlebih dulu, sehingga dengan begitu anak-anak akan meneladan perbuatan kita tersebut.
Orangtua Lebih Mementingkan Prestasi Anak, Bukan Menjalin Relasi dengan Anak
Jika orangtua lebih mementingkan pencapaian dan prestasi anak, dan bukannya menjalin relasi dengan anak, anak akan merasa tidak dikasihi. Apalagi, orangtua sering menuntut anak begitu tinggi. Anak dituntut meraih nilai-nilai tertinggi, lolos sekolah favorit, mendapat beasiswa, dsb. Orangtua percaya semua tuntutan itu wajar, berdalih semua itu demi masa depan anak.
Tidak sedikit orangtua seperti ini menekan anak agar berprestasi dengan cara mengancam. Orangtua tidak sadar sikap tersebut membuat anak merasa dirinya baru dikasihi kalau nilainya bagus. Biasanya, ketika sudah dewasa anak-anak yang dibesarkan seperti ini selalu menilai dirinya dari pencapaiannya. Sumber kebanggaannya ada pada harta benda, bukan pada nilai dirinya. Bahayanya, anak yang dibesarkan dengan cara ini baru merasa berharga jika telah berhasil mencapai sesuatu. Namun jika gagal, ia akan merasa hidupnya tidak ada artinya lagi dan tak ragu untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
Sebagai orangtua, kita perlu mengajar anak bahwa mereka berharga dan mulia karena Allah mengasihi mereka. Bahwa mereka diciptakan segambar dengan rupa Allah dan karenanya mereka adalah kepunyaan Allah yang berharga (Yesaya 43:4).
Sayangnya, orangtua tidak dapat mempercayakan anaknya ke tangan Tuhan jika ia sendiri tidak lebih dulu beriman dan percaya kepada Tuhan. Dan orangtua yang kurang beriman juga sering kali kesulitan untuk mencerminkan kasih karunia Allah.
Bagaimana Menghentikan Pola Asuh yang Toksik
Meski tidak ingin mengakuinya, kita sekarang tahu bahwa orang yang terluka akan melukai orang lain. Oleh sebab itu, jika tidak ingin membesarkan anak yang memiliki inner child yang terluka, maka sebagai orangtua, kita perlu menyembuhkan inner child kita terlebih dulu.
Langkah pertama dan paling penting adalah dengan menerima dan mengakui keterlukaan kita, lalu memaafkan semua orang yang telah ikut melukai inner child kita, termasuk diri kita sendiri. Langkah berikutnya yang tidak kalah penting, adalah menyerahkan semua luka kita kepada Tuhan dan meminta Tuhan memampukan kita untuk menyembuhkan inner child kita.
Jika kita tidak ingin membesarkan anak dengan inner child yang terluka dan memiliki kepahitan, maka sebagai orangtua kita juga harus terus belajar untuk memaafkan kesalahan anak. Seperti yang dinyatakan dalam Ibrani 12:15, “Jagalah supaya jangan ada seorangpun menjauhkan diri dari kasih karunia Allah, agar jangan tumbuh akar yang pahit yang menimbulkan kerusuhan dan mencemarkan banyak orang.”
Dalam suratnya, rasul Yohanes menulis demikian: “Bagiku tidak ada sukacita yang lebih besar dari pada mendengar bahwa anak-anakku hidup dalam kebenaran” (3 Yohanes 1:4). Nah, bagaimana anak-anak dapat hidup dalam kebenaran? Kuncinya hanya satu: orangtua yang hidup dalam kebenaran akan dapat membawa anak-anak untuk hidup dalam kebenaran. Patokan sukacita orangtua tidak terletak pada kesuksesan dan pencapaian anak, melainkan pada fakta bahwa anaknya hidup di dalam kebenaran, tinggal di dalam Kristus, karena Kristus adalah jalan dan kebenaran dan hidup.
Jika kita adalah orangtua yang memiliki inner child yang terluka, marilah kita mengambil langkah aktif untuk menyembuhkannya. Marilah kita menyerahkan setiap upaya untuk kesembuhan kita kepada Tuhan yang akan memampukan kita untuk memutus ikatan tersebut sehingga kita dapat mengasuh anak-anak kita tanpa mengulang siklus yang sama.
Anda diberkati dengan materi ini?
Pastikan Anda tidak ketinggalan membaca tulisan-tulisan terbaru kami lainnya.