“Aku tidak ingin melanjutkan kuliah.”
Mendengar ucapan putranya, Yos, dunia Anna seolah pecah berkeping-keping. Ia mencoba mengingatkan Yos tentang susahnya mencari pekerjaan tanpa ijazah sarjana, tentang beratnya persaingan di era globalisasi, dan berbagai halangan yang mungkin terjadi di masa depan. Namun, anak sulungnya itu tetap berkeras dengan keputusannya.
Tidak tahu harus melakukan apa, Anna datang mengadu kepada sahabat-sahabatnya. Dia berharap mendapat simpati, dukungan, atau nasihat. Namun, bukan perasaan damai yang didapatnya, melainkan perasaan tertekan yang semakin menjadi-jadi. Apalagi ketika seorang sahabatnya menanggapi dengan berkata, semua ini tidak akan terjadi kalau Anna sungguh-sungguh dalam mendidik Yos, dan tekun mendoakan putranya itu.
Anna pun semakin berkecil hati ketika sahabat yang lain dengan enteng meremehkan, ”Kayak begitu saja kok stres? Masih untung anakmu sehat, gak jadi gila lalu bunuh diri. Kamu itu harus belajar bersyukur, An. Lihat, suami dan anak bungsumu baik-baik saja. Jangan suka merepotkan Tuhan dengan masalah receh begini ah.”
Sahabat ketiga berbeda lagi ceritanya. Ia membuat Anna merasa disudutkan dengan berpura-pura bersimpati tetapi sekaligus menyalahkan. Menurutnya, seharusnya dulu Yos dimasukkan ke politeknik pemerintah atau militer, agar mentalnya tidak lembek. Anna sebagai ibu katanya berhak menuntut Yos menamatkan kuliah. Sahabat ini juga menyarankan agar Anna bertindak tegas, jika perlu mengusir Yos jika anak itu tetap membangkang.
Anna semakin tertekan, apalagi masih ditambah lagi ketiga sahabat ini—dengan dalih menjadikan masalah Anna sebagai pokok doa komunitas—menyebarkan masalah Anna ke mana-mana. Anna sampai gugup setiap kali ponselnya berbunyi, karena sudah beberapa orang menghubunginya hanya untuk memuaskan rasa penasaran mereka. Bukannya merasa dicerahkan, Anna justru merasa digunjingi. Dia merasa telah gagal menjadi ibu yang baik, dan kekecewaannya semakin bertambah sehingga hari demi hari dia semakin marah kepada putranya.
Yos yang semula merasa bersalah dan tidak banyak membantah akhirnya meledak juga. Dia menyebut Anna tidak mau mengerti dan otoriter. Yos sendiri sebenarnya sejak tamat SMA tidak ingin langsung kuliah. Tetapi ternyata ia tembus ujian masuk PTN. Dua tahun dia kuliah demi membuat bangga orangtua, tetapi setelah gagal di beberapa mata kuliah, Yos tidak tahan lagi.
“Jadi, Mama malu karena aku memilih jalan masa depan yang berbeda dengan keinginan Mama? Mama lebih peduli omongan orang daripada anak sendiri!”
Perkataan Yos itu membuat Anna lepas kendali. Ia menyebut Yos bodoh dan tidak tahu diuntung. Saran sahabat yang sebenarnya tidak ingin dia lakukan, malah akhirnya terjadi. Anna mengancam Yos pergi dari rumah jika putranya itu tetap menolak melanjutkan kuliah. Yos balas berteriak mengiyakan, dan untuk pertama kali dia berbalik dengan kasar dari sang ibu, lalu masuk kamar dan membanting pintu. Dunia Anna yang sudah hancur berkeping-keping kini semakin gelap. Tangisannya pun tidak dapat melegakan perasaannya.
“Apa yang harus kulakukan?” Anna akhirnya datang mengadu kepada Fanny, adiknya satu-satunya. Di hadapan Fanny, Anna tidak sungkan menangis, menumpahkan kekecewaan dan kekhawatirannya. “Aku selalu mendoakan anak-anakku. Aku juga tidak ingin jadi ibu yang otoriter. Bagaimanapun, kebahagiaan anak adalah nomor satu untukku, Fan… Tapi aku ingin Yos memiliki masa depan yang baik, dan aku takut sekali keputusannya ini berbuntut penyesalan.”
“Mengapa Kakak mendengarkan omongan orang? Tidak semua yang kita sebut sahabat akan tulus mendampingi saat ada masalah,” ucap Fanny pelan.
Dalam hati Anna mengakui perkataan adiknya itu benar. Dia jadi teringat kisah Ayub yang di tengah penderitaan dinasihati oleh sahabat-sahabatnya. Tetapi sayangnya semua nasihat itu salah. Pengalaman Anna pun tak jauh berbeda. Setelah berbicara kepada sahabat-sahabatnya, dia justru semakin merasa tertekan dan tidak dapat bersikap bijaksana dalam menghadapi dan mendampingi Yos.
Fanny merangkul Anna. “Aku percaya, Kakak selama ini sudah berdoa dengan sungguh-sungguh. Tetapi… apakah Kakak sudah sepenuhnya berserah dan percaya? Ingat kata-kata almarhum Mama, Kak? Do your best and God will do the rest?”
Anna mengusap sisa air matanya lalu mengangguk. Fanny tersenyum dan melanjutkan, “Kakak sudah do your best dalam mendidik dan membesarkan Yos. Kalau kataku sekarang, Kak, kita tinggal Let God do the rest. Berserahlah, dan biarkan Tuhan yang menyelesaikannya. Ketika jalan menuju masa depan tidak seperti yang kita inginkan, bersandarlah sepenuhnya pada Tuhan. Cari suara-Nya di hati Kakak, jangan suara orang lain.”
Mendengar ucapan Fanny yang lemah lembut dan penuh kasih, Anna merasakan keteduhan merambati hatinya. Dia pun akhirnya dapat menerima saran Fanny untuk mencoba berkonsultasi dengan psikolog profesional, yang mungkin bisa membantu Yos merumuskan kembali cita-citanya. Saat berdoa bersama pun, Fanny tidak meminta Tuhan mengubahkan keputusan Yos, melainkan meminta agar apa pun yang terjadi kiranya kasih dan damai sejahtera tetap memelihara hati dan pikiran Anna dan Yos.
Sepulangnya dari rumah Fanny, Anna mengambil waktu untuk berdoa sendiri. Ketakutannya akan masa depan Yos memang tidak serta-merta lenyap, tetapi kini dia berani menghadapi apa pun pendapat orang yang dilontarkan padanya nanti. Malam itu sekali lagi Anna mengajak Yos berbicara. Kali ini terbukti dia tidak salah memilih tempat mengadu, karena ketika Anna mencontoh cara Fanny berbicara dengan lemah lembut, Yos bisa menerima.
Malam itu hubungan ibu dan anak itu pun dipulihkan. Dan ketika mereka kembali bisa saling mendengarkan dan menghargai, serta berdiskusi dengan penuh kasih, Anna seolah mendengar suara Tuhan melalui Fanny yang mengingatkannya tadi siang: “Sekalipun aku dicemoohkan oleh sahabat-sahabatku, namun ke arah Allah mataku menengadah sambil menangis, supaya Ia memutuskan perkara antara manusia dengan Allah, dan antara manusia dengan sesamanya” (Ayub 16:20-21).