Pertengahan 2019, begitu naik ke kelas 12, anakku Ezra tiba-tiba mengejutkanku dengan pernyataan (bukan permintaan, lho) bahwa ia akan gap year satu tahun selepas lulus SMA. Tergagap, aku menanggapinya dengan pertanyaan: “Tapi kenapa? Memangnya nggak mau langsung kuliah?”
Ezra menjawab: “Enggak. Aku merasa nggak sanggup kalau harus ikut bimbel masuk PTN setahun penuh sembari belajar mempersiapkan ujian SMA. Aku mau fokus dulu belajar untuk ujian. Nanti selama gap year baru belajar untuk masuk PTN.”
Keputusan Ezra ini berbeda dengan kakaknya, Fedora. Anak sulungku ini sejak awal masuk kelas 12 sudah minta didaftarkan di sebuah bimbel sebagai persiapan mengikuti ujian masuk perguruan tinggi negeri. Setiap hari ia kerja keras, belajar dan bimbel sepanjang hari, terkadang bahkan berlanjut hingga subuh, yang membuahkan hasil diterima di sebuah PTN di Malang. Namun Ezra, dengan karakternya yang santai dan easygoing, kurang mau berjuang hingga ngotot seperti kakaknya. Ia menganggap, dirinya tidak sanggup kalau disuruh belajar seperti itu, jadi ia mengambil jalan yang dirasa mudah bagi dirinya: gap year saja, nanti belajar untuk persiapan masuk PTN dilakukan dengan santai tanpa dikejar beban belajar dan tugas sekolah.
Sebagai orangtua, aku tidak mau “menyerah” begitu saja pada kehendak anakku. Beberapa kali kubujuk dia untuk mendaftar di bimbel. Ketika upayaku gagal meluluhkan hatinya, kuminta ia tetap ikut ujian masuk PTN di pertengahan tahun 2020, meski tanpa bimbel. Ia tetap bergeming juga. Ayahnya mulai uring-uringan, tidak rela melihat anak lelakinya terancam jadi pengangguran selama satu tahun.
Hari demi hari berlalu, masalah ini terus mengganggu pikiranku. Benakku terus berputar dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama: sejauh mana kami orangtua tahu bahwa pilihan kami untuk anak adalah yang terbaik? Bagaimana kami tahu pilihan anak kami keliru?
Dalam kebingunganku, aku berdoa. Aku curhat kepada Bapa, sang Empu-nya anakku. Biar Bapa sajalah yang memutuskan, pikirku, sambil setengah berharap ada tangan ajaib yang terulur dan mengangkat semua beban ini dari pundakku. Tapi, satu menit aku berlutut, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutku; malah air mata yang mengalir deras. Otakku sudah kuputar sekencang mungkin, tapi tetap saja lidahku kelu, tak kuasa menyusun rangkaian kata untuk kuutarakan pada Bapa-ku.
Di tengah otak yang mendadak blank, tiba-tiba sebaris ayat muncul di benakku: “Serahkanlah kekhawatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu.”1 Entah mengapa hatiku begitu tersentuh, dan dalam hati aku menjawab, “Baiklah, Bapa, aku berserah pada-Mu yang memelihara hidup Ezra. Tapi bagaimana caranya aku bisa yakin kalau ia tidak salah pilih?” bisikku. Kukerutkan keningku dalam-dalam, menantikan jawaban Tuhan. Dan bagaikan alunan musik merdu mengalun, sebaris ayat lain mengalir di hatiku: “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.” 2 Sekali lagi aku terdiam sejenak, lalu dengan setengah mengeluh bertanya, “Bagaimanakah jalan yang patut itu Tuhan?” Lagi-lagi, dengan kesabaran-Nya, jawaban itu muncul dalam bentuk sapaan lembut di hati: “Bukankah kau sudah tahu bahwa ‘permulaan hikmat adalah takut akan Tuhan?’”
Aku tercenung memikirkan jawaban ini. Aku sudah menanyai Ezra ini dan itu, tapi sama sekali lupa menanyakan hal yang paling penting. Sore itu, kudekati anakku. “Zra, Mama tanya boleh ya? Sebelum kamu memutuskan gap year itu, apakah kamu sudah mendoakannya?”
Anakku menghela napas panjang, lalu menatapku dengan tatapannya yang seolah kesal karena ditanya hal yang jawabannya sudah jelas. “Ya sudah dong, Maaa…”
“Iya, iya, gak usah ngegas,” tukasku. “Ya sudah, kalau kamu sudah berdoa dan sudah yakin dengan pilihanmu, jalankan saja. Mama setuju. Sekarang tinggal meyakinkan papamu saja. Semoga Papa setuju ya…”
Segera sesudah itu, aku bicara dengan suamiku dan menceritakan percakapanku dengan Ezra. Sejujurnya, aku tidak berharap suamiku bisa mengerti, mengingat betapa kerasnya ia menolak usulan gap year ini. Namun, aku kaget ketika kemudian ia berkata: “Ya sudah, Ma. Buat Papa yang penting Ezra sudah berdoa dan menggumulkan semua ini sebelum memutuskannya. Sebagai orangtua, tugas kita adalah mendukung dan memberi Ezra kepercayaan. Semoga Ezra bertanggung jawab dengan pilihannya. Dan yang paling penting, ia mau berusaha. Hasilnya bagaimana nanti, kita serahkan kepada Tuhan.”
Terus terang, ini bukan keputusan yang mudah. Berbagai komentar bernada sumbang berkali-kali mampir ke telinga kami, sering kali tanpa diminta. Begitu mendengar anak kami gap year, banyak orangtua yang tidak setuju, bahkan menganggap kami terlalu menuruti keinginan anak. Jujur, tidak mudah bagi kami, terutama aku sebagai ibu, menerima keputusan ini. Hatiku nelangsa melihat teman-teman seangkatan Ezra diterima di perguruan tinggi sementara anakku gabut di rumah. Kerjanya hanya tidur, makan, main game. Kegalauanku baru sedikit mereda ketika bimbel akhirnya dimulai dan anakku mulai sibuk belajar, meski memang belajarnya terlalu santai menurutku. Namun, kalau dikomentari, anakku pasti marah. Jadi, aku berusaha sekuat tenaga memendam kritikanku dan belajar mempercayakan Ezra dalam tangan Tuhan. Di masa-masa ini, aku mendapati bahwa mendoakan secara khusus target lulus ini secara bersama-sama setiap malam sangat membantu mengatasi kegalauanku. Pelan-pelan aku mulai tenang dan menyerahkan semuanya pada Tuhan.
***
14 Juni 2021.
Semalaman, tidurku tak tenang, diganggu pikiran-pikiran yang menggelisahkan. Hari ini, hasil seleksi masuk Perguruan Tinggi Negeri akan diumumkan. Siangnya aku makan siang bersama teman-teman gereja, tapi menjelang jam tiga sore, aku gelisah dan buru-buru mengakhiri pertemuan, lalu bergegas pulang. Bersama kedua anakku, kami membuka hasil pengumuman dengan jantung berdebar keras.
Tulisannya: Selamat! Anda dinyatakan lulus seleksi SBMPTN 2021!
Tanpa sadar mataku berlinang dan hatiku sangat lega. Aku sungguh bersyukur untuk jawaban ini Dan aku juga bersyukur, kepercayaan yang kami berikan kepada Ezra tidak sia-sia. Pengalaman ini sungguh menjadi pembelajaran bagi kami sebagai orangtua dari anak yang beranjak dewasa. Bahwa selama anak kita melekat pada Tuhan dan belajar bergantung pada-Nya dalam segala hal, sejatinya kita orangtua tidak perlu takut. Karena hikmat Tuhan akan senantiasa menuntun dan menyertai mereka. Amin.
1. 1 Petrus 5:7
2. Amsal 22:6
3. Amsal 9:10