Dentingan uang logam yang dibagi-bagikan di atas meja masih jelas terdengar lekat di telinga Raina, membawa ingatannya ke malam ketika ayahnya membagi-bagikan uang saku untuk mereka semua… “Kecuali aku,” desisnya. Terlahir sebagai anak ketiga dari 4 bersaudara yang diasuh dan dibesarkan oleh ibu berhati lembut sedunia dan ayah “sumbu pendek” begitu kata orang, Raina tahu malam itu takkan pernah terhilang dari ingatannya. Ia masih ingat jelas ucapan sang ayah, “Ini uang saku untuk Indri, ini untuk Gita, ini untuk Alin, dan ini untuk belanja.” Jelas itu pembagian untuk istri dan tiga anaknya, meskipun sebenarnya dia memiliki empat orang anak.
Semua itu bermula ketika Raina memutuskan untuk melanjutkan studi ke STT (Sekolah Tinggi Teologi). Semua geger. Ingatan Raina melayang ke hari saat dia mengambil keputusan untuk menetapkan hatinya menjadi hamba Tuhan purnawaktu. Kalaupun tidak menjadi pendeta, setidaknya dia akan melayani di lembaga pelayanan. “Nanti kamu akan makan apa? Kamu itu disekolahkan supaya bisa memiliki pekerjaan yang layak, dapat gaji besar, dan menikmati hidup yang lebih baik,” ucap sang ayah dengan penuh emosi. Ayahnya mencari nafkah sebagai pemain musik dari rumah ke rumah. Katakanlah “pengamen terhormat dan seniman serbabisa”, karena selain kemampuan memainkan gitarnya sangat apik, ia juga pandai menggubah lagu, serta ahli membuat alat musik dari kayu seperti gitar, selo, biola, dan ukulele. Selain itu, ayahnya senang memadukan suara merdunya dengan alunan musik karyanya sendiri, dan memiliki grup musik “keroncongan” yang banyak digandrungi orang-orang sezamannya. Kreativitasnya tanpa batas, begitu Raina sering mengakui kemampuan ayahnya. Meski begitu, semua itu tidak membuatnya mengagumi, apalagi memujanya sebagai ayah terkeren sepanjang masa.
Sekarang, mendengar keputusan Raina, sang ayah tersadar bahwa harapannya untuk menjadikan “anak terpandainya” ini wanita karier telah berantakan. Setiap alasan dan pengertian yang dilontarkan Raina bak pisau yang menghunjam jantung sang ayah. Ia tidak bisa mendengar apa pun, karena hatinya dipenuhi amarah. Hari-harinya pun diisi dengan sikap uring-uringan. Ia terus mengintimidasi, mengancam tidak akan mengakui Raina sebagai anaknya. Bahkan saat dia mengetahui Raina telah menerima surat pernyataan diterima di STT, surat itu malah dibakarnya di depan mata putrinya. Dengan berang ia juga ingin membakar semua pakaian Raina, seolah dengan begitu ia bisa mengenyahkan impian putrinya. Dan sejak itulah hari-hari yang dilalui Raina menjadi sangat kelam, penuh luka dan hujatan.
Lalu bagaimana dengan ibunya? Di mata Raina, Ibu adalah wanita paling lembut di dunia yang diberkati dengan paras yang cantik, dengan sepasang alis tebal dan rambut yang panjang. Ibu sering mengepang rambutnya lalu menggulungnya ke atas hingga membentuk simpul manis yang dijepit dengan jepitan rambut yang indah. Gayanya khas ratu-ratu Inggris. Seperti ayahnya, sang ibu pun tidak begitu setuju dengan keputusan Raina untuk menjadi hamba Tuhan. Namun berbeda dengan alasan sang ayah, Ibu keberatan karena harus berpisah dengan “si bayi manis” yang kini sudah beranjak dewasa dan akan melangkahkan kakinya ke luar Pulau Jawa untuk menempuh pendidikan Teologi. Ayah dan Ibu berbeda alasan, berbeda perspektif, namun kompak mengatakan “TIDAK” terhadap cita-cita anak ketiga mereka ini.
“Kalau kamu tetap meneruskan keinginanmu menjadi pendeta (bagi ayahnya semua hamba Tuhan disebut pendeta), kamu bukan anakku lagi. Jangan anggap aku sebagai orangtuamu, aku tidak sudi,” ucapan ayahnya itulah yang terus terpatri dalam ingatan Raina, kata demi kata. Dan Raina masih ingat pikiran-pikirannya sendiri setiap kali mendengar keberatan ayahnya. “Apa salahnya aku jadi pendeta?” batin Raina waktu itu. “Aku tidak pernah bercita-cita menjadi orang kaya, aku tidak ingin mengejar harta yang sia-sia. Aku telah menemukan jati diriku di dalam Kristus dan Dia telah menetapkan tujuan hidupku, masakan aku lari dari panggilan-Nya?” Hari demi hari batin Raina terus bergolak, apalagi saudara-saudaranya yang lain pun tidak bisa, atau tepatnya tidak berani, mendukungnya. Perkataan ayah mereka adalah seperti kata tuhan, wajib dituruti, tidak boleh dibantah. Kalau berani menentang, itu sama saja seperti menarik neraka masuk ke rumah.
Raina ingat betapa ia merasa sendiri dan kesepian. Meski begitu, tekadnya tetap bulat. “Aku akan meraih cita-citaku, aku akan menghadapi segala hal yang merintangi langkahku.” Meski tampaknya semua pintu tertutup, lorong-lorong hidupnya pun seakan hanya menjanjikan kegelapan semata, tapi ia tahu ada Tuhan yang menjadi sandarannya. Tuhan tidak mungkin memberikan kompas yang rusak untuk hidup Raina. Petikan-petikan firman dari Yesaya 43:4a terus menggelayutinya, menenteramkan hati Raina. “Engkau berharga di mataKu, dan Aku ini mengasihi Engkau.” Meski orangtua dan saudara-saudaranya menganggap ia tidak berarti bagi mereka, tetapi Raina yakin bahwa ia sangat berharga di mata-Nya. Keyakinan itu sudah cukup sebagai fondasinya untuk teguh berjuang untuk meraih cita-citanya.
Hari demi hari dilalui Raina dalam gelombang-gelombang perdebatan sengit dengan ayahnya, bercampur baur dengan tangisan-tangisan pilu ibunya, juga sikap bungkam saudara-saudaranya. Namun ia sendiri tidak menyadari bahwa responsnya saat itu juga telah ditunggangi oleh gelora usianya yang masih belia, dan sikap keras kepalanya sebagai gadis muda penuh energi. Sanggahan-sanggahannya terhadap pendapat orangtuanya bagaikan percik api yang bisa tiba-tiba menyulut kemarahan ayahnya dan menenggelamkan ibunya dalam kubangan tangisan pilu seorang ibu.
Sampai akhirnya ibunya memutuskan untuk mengakhiri saja semuanya. Dengan nekat ia keluar dari rumah, duduk di halaman, dan berdiam diri di sana. Ibu berharap hawa dingin pegunungan akan membuatnya jatuh sakit sehingga semua perhatian akan beralih kepadanya dan bukan masalah-masalah pelik yang ditimbulkan Raina. Dan benar saja, alam seolah-olah berpihak kepadanya. Kesedihan yang amat sangat, ditambah suhu udara yang dingin, merasuki tubuhnya yang lemah dan membuatnya sulit bernapas. Seisi rumah pun panik dan Ibu digotong ke dalam rumah. Raina berlari ke kamar, ingin meraih tangan ibunya untuk memberinya kekuatan. Namun dengan cepat ayahnya menepis tangannya dan dengan kasar berkata, “Kalau ibumu mati malam ini, kamulah penyebabnya. Nasib ibumu ada di tanganmu sepenuhnya. Kalau kamu mau membatalkan niatmu menjadi pendeta, maka aku akan memberikan pernapasan buatan untuk ibumu. Tapi kalau kamu tetap berkeras, aku akan membiarkan ibumu mati dan itu adalah karena KAMU.”
Raina tersentak dalam kepiluan yang menusuk hingga ke sumsum. Ia berkata nanar, “Selamatkan Ibu, biarkan Ibu hidup, aku akan mengubah keputusanku.” Ia mengalihkan perhatiannya dari ayah dan ibunya, lalu memandang ke atas dan berkata, “Tuhan, sembuhkan ibuku, kalau tidak aku tidak akan menyembahMu lagi.” Kata demi kata meluncur begitu saja dari bibirnya, tercabik-cabik dalam pecahan-pecahan kasih akan orangtua dan kasih akan Tuhan. Namun ucapan itulah yang kemudian teramat disesalinya. Sampai-sampai ia menangis di bawah mimbar gereja, mengunci diri di kamar, mengenakan baju serba hitam selama tiga hari, dan menolak makan. Yang dilakukannya hanya berdoa memohon ampun atas ucapannya yang ia tahu pasti telah melukai hati Tuhan. Meski ia mengucapkannya ketika hatinya begitu terluka menyaksikan ibunya tengah meregang nyawa, tetap saja ia merasa bahwa dirinya sendirilah yang telah mengkhianati panggilannya untuk menjadi hamba Tuhan.
“Ya Tuhan, aku bukan anak nakal. Aku tidak seperti orang lain yang melarikan diri dari panggilan. Aku tidak seperti Yunus yang pergi ke Tarsis lalu dimakan ikan besar karena ketidaktaatannya. Aku anak baik, tetapi kenapa Engkau menutup semua pintu di depanku? Kenapa Engkau membiarkan aku seakan berdiri di persidangan tanpa pembela?” Setiap hari tak hentinya Raina berseru kepada Tuhan dalam teriakan-teriakan batin yang hanya ia dan Tuhan saja yang tahu. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk membuat perjanjian dengan Tuhan. Ia mengajukan tiga permohonan yang kalau semuanya Tuhan jawab tepat pada waktunya, maka itu akan menjadi bukti bahwa Tuhan akan memakai anak-Nya ini untuk menjadi hamba-Nya. “Satu, lembutkan hati ayah, ibu, dan saudara-saudaraku sehingga mereka mengizinkan aku kuliah dan menjadi hamba-Mu sepenuh waktu. Dua, sediakanlah dana agar aku bisa menuntut ilmu tanpa melibatkan orangtuaku. Tiga, antarkan aku ke STT terbaik-Mu, bukan atas kehendakku, melainkan kehendak-Mu.”
Setahun pun berlalu. Setelah membuat perjanjian dengan Tuhan, Raina menjadi tenang. Ia sudah menyerahkan seluruh pergumulannya ke tangan Tuhan. Dan sungguh ajaib, satu demi satu permohonannya terjawab. Ayahnya mulai dilembutkan hatinya untuk mengizinkan Raina meninggalkan rumah demi meraih cita-cita. Raina sendiri dituntun oleh Tuhan untuk bertemu seseorang yang bersedia mencarikan sponsor yang akan membiayai kuliah dan kebutuhan hidupnya. Dan satu lagi yang membuat Raina sungguh terharu, meskipun sebenarnya ia telah diterima di sekolah itu setahun lalu, namun tahun ini sekolah itu masih mau menerimanya tanpa harus mengulang mendaftar lagi. Rencana Tuhan sungguh indah.
Hari ini, dalam bus yang membawanya meninggalkan Pulau Jawa, Raina tersenyum bahagia. Pintu-pintu yang selama ini tertutup telah terbuka. Semburat-semburat sinar di ujung-ujung lorong menumbuhkan harapan baru di hatinya. Dengan penuh syukur ia mengulang kembali bait-bait firman dalam Yesaya 55:12, “Sungguh, kamu akan berangkat dengan sukacita dan akan dihantarkan dengan damai; gunung-gunung serta bukit-bukit akan bergembira dan bersorak-sorai di depanmu, dan segala pohon-pohonan di padang akan bertepuk tangan.”