Kita dan anak-anak kita adalah penghuni dunia digital, yang merupakan “ruang hidup baru” yang kita tempati setiap hari. Orang dewasa bisa menghabiskan lebih dari 7 jam sehari di depan layar, sedangkan anak-anak antara 4-9 jam. Dunia digital menjadi tempat kita berinteraksi, belajar, bekerja, berbisnis, bersosialisasi, dan mencari hiburan. Kita telah begitu terbiasa saling berkirim pesan lewat Whatsapp atau Telegram. Anak-anak kini dapat mengikuti pelajaran dan mengerjakan tugas dengan teman-teman sekelas lewat Zoom. Mereka dapat pergi study tour menggunakan Virtual Reality, mengikuti ujian secara daring, dan mengakses berbagai informasi tanpa batas dari gawai mereka. Dunia digital juga menyediakan berbagai bentuk hiburan yang menarik seperti film, musik, dan video game. Setiap hari ada saja rilisan baru. Di sini kita juga bisa mengunjungi banyak sekali tempat belanja yang menjual segala hal dari semua penjuru bumi, dan buka 24 jam! Mengekspresikan diri, bersosialisasi, dan menjadi bagian dari komunitas lokal maupun global bisa dilakukan di media sosial Instagram, Twitter, TikTok, dan YouTube. Menuai banyak like dan comment atas unggahan foto, video, atau narasi, sering kali membuat kita merasa bisa lebih eksis di dunia digital daripada di dunia nyata.
Sebagai penghuni dunia digital, kita dan anak-anak kita mengalami paparan yang mengandung kekerasan dengan intensitas tinggi. Setiap hari di berbagai forum daring kita menyaksikan komentar dan percakapan yang mengandung hate speech (ujaran kebencian), flaming (serangan verbal yang membakar emosi), dan trolling (hasutan/tipuan untuk memancing keributan). Ada pula cyberbullying (perundungan digital) dan cancel culture yang menghukum orang dengan hujatan atau boikot massal. Lee dan Koo, dua orang kru yang selamat dalam kecelakaan pesawat di Korea yang menelan 179 korban baru-baru ini mendapat serangan yang kejam dari sejumlah netizen. Mereka dihujat karena selamat, dituduh tidak cukup berusaha menyelamatkan yang lain, bahkan didesak untuk bunuh diri sebagai bentuk “tanggung jawab” atas tewasnya seluruh penumpang lain.
Instagram, YouTube, dan TikTok tidak pernah sepi dari video perusakan, perkelahian, penganiayaan, tawuran pelajar, perundungan di lingkungan sekolah, kekerasan dalam rumah tangga, dan tindak kriminal yang tertangkap CCTV. Platform film seperti Netflix, YouTube Movies, MAXstream, dan lainnya dipenuhi dengan film-film lepasan maupun seri, yang menyajikan berbagai bentuk kekerasan.
Banyak challenge atau tantangan viral yang menjadi contoh tindak kekerasan. Blackout Challenge misalnya, memperlihatkan orang menahan napas atau mencekik diri sendiri guna menciptakan kondisi euforia sesaat akibat kekurangan oksigen. Skull Breaker Challenge mencontohkan bagaimana 2 orang muda menjebak seorang korban untuk melompat, kemudian menendang kedua kaki korban secara bersamaan, sehingga ia jatuh terjengkang dan kemungkinan kena hantam di bagian belakang kepalanya. Kehilangan kesadaran, kerusakan otak parah, atau kematian bisa saja dialami korban.
Konten kekerasan juga populer dalam online video game, yang kerap menampilkan penembakan, penyerangan, penghancuran, dan pembunuhan. Menurut laporan dari American Psychological Association, 85% video game mengandung unsur kekerasan. Dalam video game, kekerasan bahkan dihadiahi dengan poin, naik level, atau penghargaan.
Paparan terhadap kekerasan digital secara intensif dan terus-menerus mengakibatkan terjadinya pembelajaran. Sering menyaksikan kekerasan membuat anak-anak merasa terbiasa dan menganggap kekerasan normal dan bisa diterima, bahkan menarik dan menyenangkan. Anak-anak juga dapat meniru perilaku kekerasan yang mereka lihat dan mempraktikkannya dalam interaksi mereka di dunia nyata. Pelaku kekerasan yang dianggap kuat dan keren menjadi tokoh idola. Tanpa disadari, mereka kemudian menjadi semakin serupa dengan sang idola.
Ketika anak-anak berulang kali berpartisipasi dalam situasi yang menuntut mereka memberikan respons kekerasan tertentu, seperti menembak atau menghancurkan dalam video game, mereka tanpa sadar “berlatih” dan menjadi semakin mahir dalam respons kekerasan tersebut. Situasi-situasi tertentu di dunia nyata berpeluang mencetuskan respons kekerasan yang telah mereka pelajari sebelumnya.
Reward seperti poin, naik level, atau penghargaan atas respons kekerasan dalam video game, selanjutnya akan mendorong anak-anak untuk mempertahankan, bahkan meningkatkan respons kekerasan yang telah mereka pelajari.
Tuhan ingin kita menjadi pembawa damai. Matius 5:9 berkata, “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.” Roma 12:18 berbunyi, “Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!”
Lalu apa yang dapat dilakukan orang tua Kristen dalam membesarkan anak-anak menjadi pembawa damai, di dunia yang siap mengajari mereka untuk menjadi “mahir” dalam kekerasan? Ada 3 peran yang perlu kita jalankan dengan baik dan bijaksana:
Pendidik
Orang tua Kristen perlu menjalankan peran mereka untuk mendidik anak-anak menjadi pengikut Kristus. Amsal 22:6 (TB2) berkata, “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari jalan itu.” Efesus 6:4 (TB2) berkata, “Hai Bapak-bapak, janganlah bangkitkan kemarahan anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.”
Anak-anak butuh berita Injil sedini mungkin, dan dibimbing untuk mengonfirmasi iman mereka dalam Kristus Yesus dan anugerah keselamatan-Nya. Marilah terus-menerus memuridkan mereka menjadi pengikut Kristus yang bertumbuh dan membuahkan sifat-sifat yang dihasilkan Roh Kudus dalam kehidupan seorang Kristen. Dalam diri mereka, orang akan melihat dan mengalami Kasih, Sukacita, Damai Sejahtera, Kesabaran, Kemurahan, Kebaikan, Kesetiaan, Kelemahlembutan, dan Penguasaan Diri.
Kita bisa mulai mengajarkan disiplin rohani dengan membiasakan saat teduh keluarga, saat teduh pribadi, serta berdoa dan mengenal firman-Nya sejak sedini mungkin. Kita juga perlu menanamkan kesadaran bahwa menjadi pengikut Kristus berarti siap melalui “jalan yang sempit”, yang sering kali tidak sejalan dengan dunia yang penuh kekerasan. Di sinilah kita sebagai orang tua berperan memuridkan mereka untuk menjadi pembawa damai.
Teladan
Sebagai orang tua kita bisa menjadi teladan hidup sebagai pengikut Kristus bagi anak-anak. Senada dengan yang Rasul Paulus tuliskan dalam 1 Korintus 11:1 (TB2), “Ikutilah teladanku, sama seperti aku juga mengikuti teladan Kristus.” Tertulis juga dalam Titus 2:6-7a, “Demikian juga orang-orang muda; nasihatilah mereka supaya mereka menguasai diri dalam segala hal dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik.”
Apa yang diajarkan orang tua, juga dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Jika salah atau gagal, orang tua bisa minta ampun dari Tuhan, minta maaf kepada anak-anak, dan kembali melakukan apa yang benar.
Membesarkan anak-anak menjadi pembawa damai memerlukan tindakan aktif orang tua dalam memberikan teladan sikap dan perilaku pembawa damai, setiap hari, bukan sesekali. Anak-anak perlu melihat teladan orang tua ketika menghadapi perselisihan, ketika dihujat, diperlakukan dengan tidak adil atau dirugikan, ketika sedang marah, kecewa, atau stres. Anak-anak belajar dengan cara melihat teladan orang tua yang menunjukkan penguasaan diri, kesabaran, belas kasihan, pertolongan, dan pembelaan bagi yang tertindas, dan pengampunan kepada yang bersalah.
Anak-anak tidak pernah pandai mendengarkan orang tua, tetapi anak-anak tidak pernah gagal meniru mereka.
Influencer
Orang tua menjadi sumber pengaruh bagi anak-anak.
Untuk ini, pertama-tama orang tua perlu mengenal anak-anak. Luangkan waktu bersama, lakukan kegiatan bersama, dengarkan mereka, ngobrol dan sharing dengan mereka, berdiskusi dan minta pendapat mereka. Bangun rasa percaya dan jalur komunikasi yang aman dan menyenangkan bagi mereka. Dengan begini orang tua mendapat akses untuk mengetahui kesibukan, prestasi, minat, keinginan, rencana, kekhawatiran, dan tantangan yang mereka hadapi.
Setelah itu barulah orang tua dapat memberikan pendapat dan arahan yang akan diterima oleh anak-anak. Inilah kesempatan mengarahkan mereka untuk membangun keyakinan akan identitas mereka sebagai pembawa damai. Orang tua juga dapat mendorong anak-anak melakukan apa yang perlu untuk melindungi diri dari pengaruh kekerasan digital, dan untuk memilih komunitas, kegiatan, dan informasi yang bernilai dan bermanfaat. Ketika mereka datang membawa tantangan dan masalah mereka, orang tua bisa mengarahkan mereka untuk menemukan solusi atau jalan keluar damai yang sesuai dengan iman Kristen.
Langkah berikutnya adalah mencari kesempatan untuk me-reward respons damai yang ditunjukkan oleh anak-anak dengan cara-cara kreatif, misalnya dengan memberikan pujian disertai elaborasi (penjelasan), membuatkan plakat atau lencana “pembawa damai”, membagikan kesaksian tentang apa yang telah dilakukan anak sebagai pembawa damai dalam forum keluarga/media sosial, atau memberikan hak menentukan pilihan bagi keluarga (makan apa, nonton apa, akhir pekan ke mana). Agar anak-anak merasa dihargai, orang tua juga bisa membawa situasi/masalah sulit kepada anak dan minta pendapatnya tentang apa yang harus dilakukan sebagai pembawa damai.
Kiranya Tuhan menolong kita dan memberikan kekuatan, semangat, serta hikmat yang cukup untuk membesarkan pembawa damai di tengah semaraknya kekerasan digital.