KAYA!
Sebuah kata yang mengandung banyak makna dan sarat dengan emosi-emosi positif maupun negatif. Ini pun melibatkan keinginan yang hampir mustahil untuk terpuaskan. Selalu ingin lebih, lebih dan lebih lagi. Kaya tidak hanya identik dengan berlimpahnya harta secara fisik, ini juga selalu dibarengi dengan kemudahan untuk bisa membeli apa pun yang diinginkan hatinya. Apa pun itu! Selain itu, menjadi kaya juga memberi semacam rasa aman, jaminan masa depan, dan sebentuk kekuasaan.
Yang penting kaya!
Tidak heran jika banyak orangtua telah menyiapkan semacam target kesuksesan bagi anak-anak mereka semenjak mereka kecil. Dan tentu saja kaya menjadi salah satu faktor kesuksesan tersebut. Dan demi tujuan tersebut tercapai, orangtua percaya anak-anak harus berhasil dalam pendidikan, dan kemudian memilih jurusan yang “laku” di dunia kerja dan menjanjikan gaji yang besar. Kesuksesan anak-anak menjadi target seluruh keluarga, sehingga tidak heran meski anak-anak kelak sukses dalam hidup dan menjadi kaya, mereka sangat kompetitif dan hanya fokus kepada diri sendiri.
Belum lama ini kita mendengar berita yang cukup mengejutkan, tentang dua anak remaja yang tega membunuh temannya yang berumur 11 tahun karena ingin menjadi kaya dengan menjual organ tubuh orang yang dibunuhnya. Meski akhirnya para pelaku ini tidak berhasil menemukan pembeli yang tertarik pada tawaran mereka, namun satu nyawa berharga telanjur melayang. Sadis, tentu. Tindakan kejam itu dilakukan tanpa berpikir panjang, tanpa belas kasihan, tanpa penyesalan. Ketika ditelusuri apa yang memotivasi pelaku, mereka mengaku tergiur oleh uang yang dapat mereka peroleh. Dengan kata lain, pikiran kedua remaja ini dibutakan oleh keinginan mereka menjadi kaya hingga membunuh pun dianggap sebagai jalan keluarnya.
Apa kata Alkitab tentang mereka yang ingin kaya?
Sejak dulu, Alkitab sebagai sumber etika tertinggi telah mendapati fenomena yang sama seperti yang terjadi di zaman ini. Tuhan berfirman melalui Paulus yang tertulis dalam 1 Timotius 6:9-10 yang menyatakan bahwa mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat, dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan. Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka.
Dalam keberdosaannya, manusia menginginkan sesuatu yang lebih daripada yang dimilikinya tetapi yang tidak mudah untuk didapatkan. Akibatnya manusia nekat mengambil jalan pintas, apa pun caranya demi mendapatkan segala keinginannya, apa pun risiko yang mengikutinya. Dikatakan bahwa orang yang ingin kaya justru bisa mengalami penderitaan yang ditimbulkan oleh dirinya sendiri. Bahkan saking begitu bernafsunya, sampai-sampai ia terjerat ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan mencelakakan.
Mungkin pada awalnya ia hanya memiliki nafsu menjadi sekadar kaya, tetapi kemudian ia tidak puas dan keinginannya pun berkembang menjadi ingin kaya raya, lalu berkembang lagi menjadi sangat kaya bahkan menjadi orang terkaya. Hatinya akan mudah terluka kalau melihat orang lain memiliki kekayaan yang melebihi dirinya. Ia tidak bisa memejamkan mata sedikit pun kalau keinginannya belum terpenuhi. Bahkan ketika kekayaannya sudah melimpah maka rasa tidak aman mulai menyusup ke dalam dirinya. Ia khawatir hartanya akan dicuri orang, sehingga walaupun sudah sangat kaya, ia tidak dapat menikmati kekayaannya karena hatinya selalu waswas. Takut kalau ada orang-orang yang ingin merebut kekayaan itu darinya. Ia selalu mencurigai setiap orang yang meminta tolong kepadanya dengan pikiran: ”Jangan-jangan dia tidak sanggup mengembalikan utangnya.”
Apa yang salah dengan menjadi kaya?
Suatu hari seorang pemuda datang kepada Yesus, dan berkata: “Guru, perbuatan baik apakah yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” Jawab Yesus: “Apakah sebabnya engkau bertanya kepada-Ku tentang apa yang baik? Hanya Satu yang baik. Tetapi jikalau engkau ingin masuk ke dalam hidup, turutilah segala perintah Allah.” Kata orang itu kepada-Nya: “Perintah yang mana?” Kata Yesus: “Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, hormatilah ayahmu dan ibumu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Kata orang muda itu kepada-Nya: “Semuanya itu telah kuturuti, apa lagi yang masih kurang?” Kata Yesus kepadanya: “Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.” Ketika orang muda itu mendengar perkataan itu, pergilah ia dengan sedih, sebab banyak hartanya. Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya sukar sekali bagi seorang kaya untuk masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Sekali lagi Aku berkata kepadamu, lebih mudah seekor unta masuk melalui lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah” (lihat Matius 19:16-26).
Ketika mendengar pernyataan Yesus itu maka murid-muridnya pun menjadi gempar. Tidakkah hal itu juga bisa menggemparkan hati kita? Kalau banyak orang kaya sulit masuk kerajaan surga, kenapa justru tidak sedikit orang yang berambisi menjadi kaya? Kalau banyak orang kaya sulit masuk kerajaan surga, kenapa kita sebagai orangtua justru berlomba memastikan anak-anak kita kelak kaya raya?
Siapa yang layak masuk surga?
Sesungguhnya bukan masalah kaya atau miskin yang membuat orang layak masuk ke dalam kerajaan surga, melainkan keterlekatan kita kepada harta itulah yang menjadi penentu ketulusan hati kita dalam mengikut sang Penguasa surga. Kunci untuk masuk ke dalam kerajaan surga bukan ada pada diri kita, manusia yang lemah dan yang telah tercemar oleh dosa ini. Namun kuncinya ada pada YESUS KRISTUS yang adalah Allah sendiri, pemilik surga yang rela menanggalkan semua kemuliaan surga dengan datang ke dalam dunia demi menggapai dan menyelamatkan kita yang diperanakkan dalam dosa sejak peristiwa ketidaktaatan Adam dan Hawa di Taman Eden.
Allah sendiri berfirman, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan” (Kisah Para Rasul 4:12, TB). Ketika kita sampai pada suatu kesadaran bahwa kita terlahir tanpa membawa apa-apa ke dalam dunia dan kita tidak bisa membawa apa pun saat kita meninggalkan dunia ini, maka seberapa kaya atau miskinnya kita, itu bukan lagi menjadi persoalan besar.
Keselamatan jiwa anak-anak kita, itulah kebutuhan paling hakiki dalam kekekalan nanti. Karena keselamatan itu hanya dapat diperoleh melalui Yesus, maka “kekayaan sesungguhnya” yang kita perlukan untuk anak-anak kita kejar tentulah hanya ada pada Yesus itu sendiri. Dengan kata lain, ingin menjadi orang kaya itu boleh-boleh saja. Terlahir sebagai orang kaya pun tidak masalah. Namun di atas segala kekayaan duniawi yang kita miliki, kita perlu mengingat bahwa ada kekayaan yang lebih penting dari semua itu, yaitu surga. Sebuah keselamatan jiwa, ketenteraman hidup bersama Tuhan yang berlangsung selamanya.
Sebagai orangtua Kristiani kita perlu mendidik anak-anak kita untuk membuka diri, menyadari keberadaan manusia yang tidak mampu menyelamatkan diri sendiri baik oleh harta, gelar, maupun kekuasaan duniawi. Kita perlu terus mengingatkan diri kita dan anak-anak kita bahwa kebutuhan kita yang terutama adalah Yesus. Undanglah Yesus masuk ke dalam inti keluarga kita, dan jadikanlah Dia satu-satunya Tuhan dan Juruselamat seluruh keluarga. Maka kita pun akan memperoleh kekayaan surgawi berupa kehidupan kekal di surga. Sebuah kekayaan yang sejati.
Yuk berjalan berdampingan untuk
Kami akan menampilkan artikel, kesaksian, dan tips-tips parenting setiap minggunya.