Biasa disebut Generasi Y, dalam beberapa tahun terakhir ada label yang lebih populer yang digunakan untuk menyebut generasi anak-anak yang lahir pasca 1980-an ini di seluruh dunia, yaitu “generasi stroberi”. Mengapa begitu? Karena, ibarat buah stroberi yang terlihat bagus di luar tetapi mudah lecet dan tergores, begitu jugalah anak-anak yang lahir setelah tahun 1980-an.

 

Disebut demikian, karena kebanyakan generasi ini cenderung manja, tidak mampu bertahan menghadapi kesulitan, dan egois. Banyak orang yang mengaitkan ciri-ciri yang ditunjukkan generasi ini dengan dua faktor kunci: kemakmuran dan pola asuh. Ya benar, pola asuh.

 

Mungkin sudah saatnya kita melihat dengan seksama apakah kita sebagai orangtua juga turut bertanggung jawab atas tumbuhnya “generasi stroberi” di halaman belakang rumah kita sendiri. Apakah kita sebagai orangtua memiliki andil dalam fenomena ini?

Ciri Stroberi 1: Tidak Memiliki Daya Juang

Orang yang tangguh dan memiliki daya juang tidak mau berlama-lama berkubang dalam kegagalan atau terus-menerus memikirkannya; mereka mengakui situasinya, belajar dari kesalahan, dan kemudian bergerak maju.

Sebagai orangtua, apakah kita terlalu cepat mencoba membantu mereka?

Bagaimana respon anak-anak kita menghadapi tantangan dan kegagalan? Apakah mereka langsung menyerah begitu menghadapi tantangan di sekolah atau di tempat kerja, atau maju menghadapinya? Inilah ciri khas lain dari generasi ini: mereka mengharapkan masalah mereka bisa diselesaikan secara instan dan cepat, sehingga terlalu cepat menyerah ketika merasa tidak ada pertolongan.

Sebagai orangtua, apakah selama ini kita terlalu cepat berusaha menolong anak-anak kita? Apakah kita menanamkan kebutuhan untuk bertahan melalui masa-masa sulit? Apakah kita terlalu protektif?

Ciri Stroberi 2: Merasa Paling Berhak

Sebagian besar kita lebih mampu secara finansial sehingga dapat menafkahi anak-anak lebih baik daripada orangtua kita dulu. Oleh karena itu, anak-anak kita mendapat akses yang luas untuk ikut les ini dan itu, pergi berlibur, dan menyelenggarakan pesta untuk merayakan ulang tahun. Selain memenuhi semua kebutuhan jasmani mereka, kita juga berusaha memenuhi kebutuhan emosional mereka dengan memuji mereka di setiap kesempatan.

Apakah gaya pengasuhan kita berkontribusi membentuk anak-anak yang merasa paling berhak atas segalanya?

Tentu, tidak ada salahnya memberi penghargaan dan afirmasi kepada anak-anak kita. Tetapi melakukannya tanpa dasar yang tepat sebenarnya dapat melahirkan pola pikir “merasa paling berhak” ini. Atau mungkin, sifat itu bahkan sudah terwujud dalam bentuk lain, yaitu mereka menjadi pahit dan kecewa ketika tidak berhasil memperoleh apa yang mereka inginkan. Apakah gaya pengasuhan kita berkontribusi pada pola pikir “merasa paling berhak” yang salah tempat ini?

Ciri Stroberi 3: Komunikasi dan Keterampilan Sosial yang Buruk

Tidak seperti kita, anak-anak kita tumbuh pada zaman di mana mereka belajar cara menggeser layar ponsel dan tablet bahkan sebelum mereka bisa berbicara. Dalam beberapa kasus, gawai telah menjadi “pengasuh” yang menyenangkan bagi anak-anak kita, terutama karena dapat membuat mereka tenang dan anteng.

Mungkinkah aktivitas kita yang terlalu sering di media sosial turut menjadi penyebab rendahnya keterampilan sosial anak-anak kita?

Namun meskipun teknologi informasi sangat membantu dalam pembelajaran, anak-anak kita harus diajar untuk tidak menggunakannya secara berlebihan. Kecanduan media sosial, atau teknologi secara keseluruhan, dapat menghasilkan generasi yang sulit berinteraksi secara sosial, khususnya interaksi tatap muka.

Sebagai orangtua, kita perlu memperhatikan cara kita sendiri menggunakan gawai. Suka atau tidak suka, anak-anak mengamati perilaku kita dan mempelajari strategi komunikasi non-verbal dari kita. Mungkinkah aktivitas kita yang terlalu sering di media sosial turut menjadi penyebab rendahnya keterampilan sosial anak-anak kita?

Singkatnya, anak-anak kita tidak terbentuk begitu saja, tetapi merupakan hasil pola asuh. Jadi apa saja yang dapat kita lakukan untuk mengatasi ini?

Kita Perlu Memuridkan Anak-Anak Sejak Muda

1. Biarkan mereka belajar dari kesalahan

Penulis dan pendidik Kristen Profesor Howard Hendricks mengatakan, “Setiap kali Anda melakukan tugas yang sebenarnya mampu dilakukan sendiri oleh anak Anda, Anda menjadikan mereka cacat.”

Melindungi anak-anak secara berlebihan akan lebih banyak mendatangkan kerugian daripada kebaikan. Kita perlu memberikan hak merasakan kegagalan kepada anak kita. Biarkan mereka mengalami konsekuensi dari pilihan mereka sendiri–baik atau buruk.

Kita perlu memberikan hak merasakan kegagalan kepada anak kita.

Sesekali mengalami kegagalan tidak akan membahayakan anak-anak kita. Sama seperti kita yang kerap melakukan kesalahan dalam mengasuh anak, ada kalanya anak kita akan salah dalam mengambil keputusan. Tetapi justru dengan belajar dari kesalahan itulah mereka menjadi pembuat keputusan yang lebih baik.

2. Ajarkan kepada anak-anak kita bahwa tindakan mereka memiliki konsekuensi

Pengasuhan yang efektif dan alkitabiah termasuk mengajarkan kepada generasi penerus tentang adanya “konsekuensi” dari setiap tindakan.

Ketika kita mencoba melindungi anak-anak dari konsekuensi pilihan mereka sendiri, kita justru merugikan mereka.

Dalam Ulangan 6, bangsa Israel akan memiliki tanah perjanjian dan mereka harus dididik tentang hubungan perjanjian Allah dengan umat pilihan-Nya. Musa tidak berbasa-basi dalam menjelaskan pilihan dan konsekuensi:

  • Jika mereka menaati perintah Tuhan, mereka akan menikmati umur panjang.
  • Jika mereka melakukan apa yang benar dan baik di mata Tuhan, mereka semua akan baik-baik saja.
  • Jika mereka tidak takut akan Tuhan dan melayani Dia, murka Tuhan akan menimpa mereka dan Dia akan menghancurkan mereka.

Demikian pula, kita perlu menumbuhkan pemikiran konsekuensial ini pada anak-anak kita. Anak-anak perlu belajar sejak usia dini bahwa mereka menuai apa yang mereka tabur (Galatia 6: 8). Ketika kita mencoba melindungi anak-anak dari konsekuensi pilihan mereka sendiri, kita justru merugikan mereka.

3. Mengajarkan kepada anak-anak pentingnya keluarga dan komunikasi

Dengan maraknya penggunaan teknologi, sebagian besar kita mungkin bingung bagaimana caranya membatasi atau meminimalkan penggunaan perangkat seluler oleh anak-anak. Seorang ayah berbagi cerita tentang bagaimana ia menemukan cara kreatif untuk menetapkan batasan yang sehat bagi anak-anaknya.

Suatu pagi di hari Sabtu, ketika keluarganya sedang bersiap-siap untuk pergi keluar sarapan bersama, ia mengeluarkan aturan baru: “Oke, ayo pergi sarapan, tapi dengan syarat kita semua meninggalkan ponsel kita di rumah!”

“Oke, ayo kita sarapan, tapi dengan syarat kita semua meninggalkan ponsel kita di rumah!”

Tidak heran, hal itu menuai protes dari anak-anaknya, tetapi ia tetap gigih bertahan. “Begitu kami mulai makan bihun goreng dan roti prata,” katanya, “kami mulai ngobrol lagi seperti biasa.”

Sabtu berikutnya, ayah ini menjelaskan mengapa ia ingin anak-anaknya “berpuasa” menggunakan ponsel. “Keluarga adalah anugerah Tuhan, jadi kita harus menjaga apa yang berharga bagi kita,” katanya kepada mereka.

Di minggu ketiga, katanya, sudah tidak ada lagi keluhan. “Sebaliknya, semua menyadari bahwa ini waktu kebersamaan keluarga yang istimewa–tanpa perangkat seluler.”

Kita perlu mencarikan mentor untuk anak-anak kita

Selain memuridkan anak-anak kita sesuai dengan prinsip-prinsip alkitabiah, kita juga harus bisa menemukan mentor yang saleh dan dewasa–seseorang yang dapat memberikan dampak positif yang bertahan lama kepada anak-anak kita.

Anak-anak akan mulai merasa membutuhkan penerimaan dan pengakuan dari teman-temannya begitu memasuki usia remaja.

Bila orangtua memberi dampak dan pengaruh terbesar pada anak di usia tumbuh kembang mereka, anak-anak akan mulai merasa membutuhkan penerimaan dan pengakuan dari teman-temannya begitu memasuki usia remaja. Pada tahap kehidupan ini, mentor terbaik dan paling ideal untuk anak remaja kita adalah remaja yang lebih tua–seorang pengikut Yesus yang bisa menjadi kakak rohani.

Itu tidak berarti bahwa kita bisa cuci tangan dari tugas mendidik anak-anak kita di jalan Tuhan. Tetapi yang harus kita lakukan adalah mengidentifikasi siapa di antara para remaja yang berusia lebih tua itu yang bisa menjadi mentor, membimbing dan menantang mereka untuk menjadi kakak rohani bagi anak-anak kita. Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya ia tidak menyimpang dari pada jalan itu (Amsal 22: 6)!

 

Artikel ini pertama kali diterbitkan di Age of Opportunity, terbitan Youth For Christ Singapore, dan diadaptasi dengan izin. Versi asli dalam bahasa Inggris dapat dibaca di sini