Salah satu keinginan terbesar manusia adalah bebas menjadi diri sendiri. Ia bebas untuk menunjukkan perilaku, watak, perangai, dan sikap sebagai individu yang utuh. Bagi seorang anak, kebebasan menjadi diri sendiri artinya ia bebas mengeksplorasi berbagai minat, bakat, ide, dan hobinya, lalu menciptakan karya-karya tanpa merasa rendah diri atau sebaliknya merasa sombong, serta berkontribusi dalam kerajaan Allah.
Bebas menjadi diri sendiri sangat diperlukan oleh seorang anak sejak dini. Jika seorang anak tidak dapat menjadi dirinya sendiri, ia akan merasa tidak bahagia, tidak puas, tidak percaya diri, tidak berdaya, tidak berkreasi, tidak berkembang, dan tidak berpotensi. Anak tersebut mungkin akan kehilangan identitas dan jati diri sebagai manusia yang unik dan berharga, dan akibatnya ia mudah terpengaruh dan terjebak hal-hal yang merugikan diri sendiri. Sementara itu, dalam kehidupan sosial, anak ini mungkin sulit beradaptasi atau berinteraksi dengan individu yang berbeda-beda, sehingga sering mengalami konflik.
Tuhan mempercayakan orangtua untuk membesarkan dan mendidik anak-anak, sehingga kelak mereka dapat menjadi diri sendiri sesuai rancangan Tuhan, bukan menjadi seperti yang orangtua inginkan. Oleh sebab itu, sangat penting bagi anak kita untuk bebas menjadi diri sendiri, agar mereka dapat menghargai diri sendiri, memiliki kepercayaan diri, mengambil keputusan tanpa merasa terbebani atau tertekan oleh harapan atau pendapat orang lain. Mereka juga dapat mencapai tujuan dan cita-cita tanpa takut gagal atau mudah menyerah, bahkan sanggup menghadapi tantangan dan masalah dengan bersandar kepada Tuhan.
Namun sampai sekarang ini, masih ada anak-anak yang belum sungguh-sungguh mengalami kebebasan untuk menjadi diri sendiri, karena beberapa kondisi yang mempengaruhinya, yaitu:
Orangtua tidak mengizinkan anak mengalami kegagalan
Sebagai orangtua, mungkin kita berpikir bahwa kita akan merusak keberhargaan diri anak jika mengizinkan anak mengalami kegagalan. Sayangnya, pikiran ini tidak tepat. Jika orangtua tidak mengizinkan anak untuk gagal, anak akan bertumbuh menjadi pribadi yang takut gagal dan bergantung pada keputusan orangtua. Bukan itu saja, sikap orangtua yang seperti ini juga akan membuat anak tidak termotivasi untuk mengambil keputusan sendiri.
John Killinger, seorang hamba Tuhan sekaligus profesor pernah berkata, “Kegagalan adalah kesempatan terbaik untuk mengenal diri saya yang sesungguhnya.” Lewat kegagalan, kita dapat mengetahui kelemahan dan kekuatan kita, dan bagaimana memperbaikinya. Jika kita tidak mengizinkan anak-anak kita untuk gagal, kita juga tidak memberi mereka kesempatan untuk mengenal diri mereka yang sesungguhnya.
Namun, anak pun perlu ditolong agar dapat mengalami kegagalan dengan baik. Caranya adalah dengan memastikan bahwa anak yakin, ketika ia gagal, orangtua tetap percaya bahwa ia dapat bangkit, mencoba lagi, dan berhasil. Dengan begitu, anak akan belajar untuk menerima kegagalan dan menarik manfaat dari kegagalan, yaitu untuk mengevaluasi diri, mendorong kreativitas baru, dan menumbuhkan ketangguhan.
Ketika orangtua dapat mengenali kekuatan anak dan sekaligus memberi ruang bagi anak untuk memperoleh kepuasan yang datang dari mencoba dan gagal, keberhargaan diri dan identitas diri anak pun akan bertumbuh. Usaha yang mereka berikan, kegagalan dan kemenangan di akhir, akan membentuk anak menjadi orang dewasa yang percaya diri dan tangguh.
Overparenting
Godaan terbesar bagi orangtua adalah “melakukan sesuatu bagi anak jauh lebih mudah daripada mengajar anak untuk melakukannya”. Orangtua yang mengambil begitu banyak tanggung jawab yang seharusnya dapat dilakukan oleh anak dikenal sebagai orangtua yang overparenting. Orangtua memilih melakukan bahkan hal-hal yang sederhana seperti merapikan mainan, membantu mengerjakan pekerjaan rumah, menyelesaikan konflik anak dengan temannya, dan sebagainya. Ketika kita melakukan hal-hal tersebut, sadar atau tidak, pesan yang kita sampaikan kepada anak adalah: “Papa dan Mama harus menolong kamu karena kamu tidak mampu!”
Akibatnya, anak menjadi malas dan sulit memotivasi diri sendiri untuk mengambil sebuah langkah maju. Ke depannya, mereka akan sulit menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi, yang seharusnya dapat mereka atasi dengan bakat dan talenta mereka. Anak juga menjadi lumpuh dalam memaksimalkan karunia yang Tuhan berikan untuk berkontribusi dalam masyarakat.
Orangtua memaksakan kehendak kepada anak
Untuk merdeka menjadi diri sendiri, anak perlu memiliki motivasi yang sehat, yaitu “Aku dapat melakukannya sesuai kemampuanku yang terus bertumbuh.” Dan “Aku melakukan ini karena hal ini berarti bagiku.”
Berbeda hasilnya jika anak melakukan sesuatu karena terpaksa. Ketika orangtua memaksakan kehendaknya, ini sama halnya orangtua menekan anak untuk menjadi orang lain. Anak-anak termotivasi bukan oleh talenta atau karena kehendak diri sendiri, tetapi didorong oleh keinginan orangtua. Di hati terdalam anak ada rasa takut kepada orangtua, atau bisa saja ia terpaksa melakukannya karena tidak ingin mengecewakan orangtua, bukannya untuk mengejar cita-cita dan mimpi-mimpi mereka sendiri.
Orangtua sering mengkritik anak
Ada anggapan bahwa kritik diperlukan agar anak bisa menjadi lebih baik lagi. Anggapan ini dipegang oleh orangtua dan dijadikan sebagai acuan dalam mendidik dan membesarkan anak.
Tanpa disadari, kritikan yang disampaikan dengan tidak bijak oleh orangtua malah membuat anak merasa dihakimi, ditolak, dan membangkitkan rasa bersalah dalam dirinya. Anak jadi tidak bisa menerima dirinya sendiri, bahkan memiliki pandangan yang negatif terhadap dirinya.
Pada prinsipnya, koreksi itu berbeda dengan kritik. Jika ingin mengoreksi anak, sampaikan dengan jelas dan hindari kata-kata yang menghakimi atau menyakiti, seperti: kamu nakal, kamu bodoh, dan sebagainya. Lebih baik menyampaikan apa yang dilakukan anak, misalnya: memukul teman bukan hal yang baik, karena itu akan menyakitinya. Koreksi yang disertai dengan penjelasan seperti inilah yang diperlukan anak untuk memperbaiki kelakuan mereka yang salah.
Orangtua merefleksikan hidupnya pada anak
Parenting bukanlah pertandingan olah raga dan anak kita bukanlah piala. Namun, ada banyak orangtua yang menjadi “Trophy Collector”. Mereka mengumpulkan performa, pencapaian, kesempurnaan, bahkan membanding-bandingkan prestasi anak-anak mereka demi kebanggaan dan nama baik orangtua serta demi menuai kekaguman dari orang lain.
Banyak orangtua yang bangga dengan prestasi dan pencapaian, penampilan, aktivitas, dan teman-teman anaknya. Prestasi anak adalah kebanggaannya. Penampilan anak merupakan refleksi dirinya. Bahkan kehidupan anak adalah untuk mengisi mimpi-mimpi atau memenuhi cita-cita orangtua.
Tanpa sadar, orangtua menempatkan identitas dan harga dirinya pada diri anak dan pencapaian anak. Orangtua mendorong dan menggunakan performa anak untuk memperindah diri orangtua, dan bukan untuk mendorong anak memenuhi potensi maksimalnya.
Penulis Injil Matius menyatakan bahwa orangtua tidak perlu terlalu khawatir terhadap kehadiran anak-anak dalam kehidupan mereka ataupun di tengah kesibukan mereka, karena ada kekuatan Ilahi yang tersedia bagi setiap anak di dunia ini. “Ingatlah, jangan menganggap rendah seorang dari anak-anak kecil ini. Karena Aku berkata kepadamu: Ada malaikat mereka di sorga yang selalu memandang wajah Bapa-Ku yang di sorga” (Matius 18:10). Setiap anak diciptakan Tuhan sebagaimana adanya mereka, dengan segala keunikan masing-masing. Jika mereka masih belum mampu mengatasi tantangan dalam hidup mereka, bukan berarti mereka tidak mampu melakukannya. Tetap percaya bahwa ada malaikat mereka di surga yang selalu memohonkan kekuatan bagi anak-anak agar mereka mampu bertumbuh semakin kuat dan dewasa.
Biarkanlah anak-anak bebas menjadi diri sendiri.
Yuk berjalan berdampingan untuk
Kami akan menampilkan artikel, kesaksian, dan tips-tips parenting setiap minggunya.