Ketika saya masih gadis, gambaran seorang ibu rumah tangga sepertinya menarik. Saya membayangkan seorang wanita manis yang nyaman dipeluk dengan senyuman secerah matahari, mengenakan celemek, menyambut anak-anaknya pulang dengan kukis-kukis yang masih hangat menanti di meja makan.

Tapi saya tidak yakin bisa menjalaninya. Budaya kami menginformasikan bahwa dengan semakin meluasnya bidang pendidikan dan pilihan karier sekarang ini, memilih menjadi ibu rumah tangga purnawaktu malah seperti mengalami kemunduran. Benarkah saya mampu menjalaninya setiap hari?

Waktu anak pertama saya lahir, saya mendapat cuti selama beberapa bulan sehingga saya dapat menikmati rasanya menjadi ibu rumah tangga purnawaktu. Ini juga mempengaruhi pemikiran saya dan suami tentang bagaimana kami akan membesarkan anak kami.

Sebagai seorang ibu baru, saya merasakan sebuah kehormatan besar telah diberikan kepada saya. Tuhan telah memberikan seorang anak kepada kami, dan sekarang, kami mempunyai sebuah kehidupan dan jiwa yang perlu ditatalayani.

Jauh dalam lubuk hati, saya merasakan Tuhan sedang membawa saya ke sebuah musim yang baru. Saya mendambakan rumah kami menjadi sumber kehidupan yang vital, tempat di mana kami dapat saling mengasihi, mencari, dan melayani Allah bersama-sama.

Jadi, saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaan saya sebagai guru, dan bertekad hendak mengabdikan seluruh waktu dan upaya saya untuk menjalani peran ibu purnawaktu ini.

Sebenarnya ini menakutkan karena saya tidak lagi memiliki pekerjaan yang stabil, dan keputusan ini disertai dengan pengorbanan besar. Namun, saya tetap menanti-nantikannya, berharap akan menikmati kedamaian dan fokus hidup yang lebih besar. Saya sangat mengantisipasi tahun-tahun mendatang.

Selain seorang anak, Tuhan telah memberikan visi bagi keluarga kami. Dan dalam rumah tangga inilah visi tersebut akan mulai terungkap.

Terowongan Tak Berujung

Akan tetapi, visi tersebut dengan cepat menjadi terowongan tak berujung yang tersusun dari hari-hari biasa yang membosankan dan melelahkan. Terutama pada awalnya, ketika pekerjaan rumah tangga dan merawat bayi adalah hal baru bagi saya–rasanya benar-benar melelahkan dan kacau.

Saat hari berganti menjadi bulan, saya mulai melupakan waktu dan diri saya. Ternyata semuanya amat sangat jauh dari bayangan saya semula tentang seorang wanita manis dan ceria dengan celemek dan kukisnya.

Dalam keputusasaan ingin mempelajari seluk-beluk mengasuh anak, saya pun beralih ke Google untuk mendapatkan semua tips tentang merawat bayi, menyiapkan makanan dengan efisien, dan yang terpenting, strategi mendapatkan tidur malam yang cukup!

Saya juga mencari sumber-sumber dari keluarga dan teman. Beberapa dari mereka mendorong saya untuk mengambil setiap kesempatan yang ada, seperti waktu menyusui, untuk berdoa dan memohon sukacita, kekuatan, serta tuntunan Tuhan. Di waktu senggang saya membaca buku-buku Kristen tentang mengasuh anak, yang secara bertahap dan pasti membentuk kembali perspektif saya tentang mengasuh anak seperti yang diinginkan Tuhan.

Menariknya, ini berarti memikirkan kembali arti sebenarnya dari pekerjaan rumah tangga itu sendiri, jika dilihat dalam konteks yang tampaknya adalah pekerjaan yang biasa dan melelahkan.

Tuhan yang Teratur Dalam Mengurus Rumah Tangga

Dalam Kejadian 1, Allah Pencipta kita menyingkapkan Diri-Nya sebagai Allah yang teratur. Dari samudera yang gelap dan kacau, Dia menciptakan matahari, bulan, bintang-bintang, lautan, daratan, tanaman, dan semua makhluk hidup, lalu ditempatkan pada tempatnya masing-masing sehingga menciptakan keteraturan dan keharmonisan.

Ada tatanan dalam hierarki saat Tuhan menempatkan Adam sebagai penguasa atas bumi (Kejadian 1:26-28). Selain itu ada keteraturan yang berulang juga, seperti matahari terbit dan terbenam setiap harinya, untuk membedakan siang dan malam.

Saya menyadari bahwa Allah telah menentukan keteraturan yang begitu mudah diprediksi dan stabil sampai-sampai kita sering kali meremehkannya. Namun, justru hal yang dapat ditebak inilah yang mendasari alasan kehidupan kita sehari-hari.

Dengan cara yang sama, mengurus rumah tangga dan menjadi ibu mungkin terlihat mengulang-ulang dan membosankan di permukaan, seperti membersihkan rumah, mencuci pakaian, menyiapkan makanan, menyuapi anak-anak, memandikan, menidurkan mereka, dan begitu terus berulang-ulang.

Namun, semua ini bukan hanya pekerjaan dengan tujuan logistik belaka, melainkan pekerjaan yang memulihkan dari apa yang kacau menjadi teratur.

Ada banyak sekali keputusan kecil yang tampaknya sepele, tentang bagaimana, kapan, dan mengapa saya mengerjakan pekerjaan tersebut. Namun, bila semua dirangkaikan dan diulangi setiap hari, semua itu menjadi sesuatu yang berdampak besar terhadap lingkungan, atmosfer, dan dinamika yang menjadi karakteristik kehidupan rumah tangga kami, juga bermanfaat bagi orang-orang dan relasi-relasi yang dibangun di dalamnya.

Saya jadi dapat menghargai sisi rutinitas pekerjaan saya sebagai seorang ibu rumah tangga, karena hal itu menciptakan kestabilan dalam keluarga kami. Pekerjaan yang berulang tersebut menciptakan ritme yang menjadi fondasi pertumbuhan keluarga kami.

Contohnya, saya belajar menyisihkan setiap petang sebagai waktu beristirahat, menyegarkan diri, dan menyetel ulang. Seluruh kegiatan kami hari itu disesuaikan dengan waktu tersebut, dan sebisa mungkin kami berusaha hadir di rumah untuk melakukannya.

Pada sore hari ada banyak pekerjaan rumah berulang dan membosankan, seperti memasak dan bersih-bersih. Anak-anak membantu saya sebelum mereka tidur siang, anak tertua saya akan membereskan dan membersihkan rumah bersama saya, dan anak balita saya membereskan semua mainannya. (Meski kadangkala, ia lebih sering mengeluarkan semua mainannya, lalu kabur sebelum membereskannya!)

Bantuan mereka mungkin tampak sepele—bahkan kadangkala malah semakin membuat berantakan sehingga membutuhkan upaya lebih untuk membereskannya—tetapi saya melihatnya dari sisi mereka mau belajar memberkati sesama dengan keteraturan. Semua upaya kami berberes-beres dan memasak setiap sore memungkinkan keluarga kami menikmati suasana yang hangat untuk bercengkerama malam harinya, terutama saat suami saya pulang bekerja. Inilah waktunya kami memohon agar Tuhan semakin mendekatkan kami pada satu sama lain dan pada-Nya, sementara kami mengucap syukur dan saling menceritakan hari yang kami lewati.

Dalam hati saya, pekerjaan rumah yang berulang ini mempunyai maksud yang lebih besar. Hal ini justru menolong membangun sebuah rumah tangga yang bertumbuh dan berkembang. Oleh karena itu, saya termotivasi untuk melakukannya dengan baik, dan mencari kekuatan Tuhan untuk bertekun di dalamnya.

Mengembuskan Keindahan Tuhan ke Dalam Hari-hari Kita

Tuhan menciptakan dunia ini tidak hanya supaya teratur dan berfungsi, tetapi juga untuk keindahan dan kreativitas. Matahari terbit dan terbenam dengan megahnya, membuat kita ingin menyembah-Nya. Seperti tertulis dalam Kejadian 1:31 (TB): Maka Allah melihat segala yang dijadikanNya itu, sungguh amat baik. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari keenam.

Menemukan ritme yang sesuai dengan kehidupan keluarga kami memerlukan penyesuaian yang terus-menerus agar dapat memenuhi kebutuhan keluarga kami yang terus berkembang. Tapi kami mencoba menerapkan prinsip ini pada satu hal penting, yaitu pertemuan kami di meja makan saat sarapan.

Setiap pagi, anak-anak dan saya berkumpul di meja makan untuk menikmati sarapan lezat yang menyehatkan perut dan jiwa yang lapar. Berharap hidangan yang lezat dapat membuat anak-anak kami betah di meja makan. Kami lalu berdoa dan menyanyikan lagu pujian favorit kami, membaca dan membahas firman Tuhan, atau cerita Alkitab, atau buku-buku ilustrasi dari Kitab Suci.

Saat Tuhan menemui kami dalam firman dan Roh-Nya, ada suatu perasaan awal yang baru. Ada kalanya pertemuan kami harus terpotong karena susu yang tumpah dan musibah-musibah kecil. Pada pagi yang lain, kami berlama-lama membaca satu atau dua kisah Alkitab yang kami sukai.

Pertemuan pagi seperti ini mengukirkan keindahan di sepanjang sisa hari kami. Ketika perilaku berdosa (termasuk dari diri saya) mengancam emosi dan hubungan, kisah dan bacaan firman Tuhan di pagi hari tersebut menolong kami untuk bertobat dan berbalik serta saling mengampuni.

Bahkan di musim-musim saat kehidupan rumah tangga kami kusut atau bergolak, sumber keindahan ini telah menjadi sauh kami dan membantu saya untuk menemukan pijakan kembali.

Sewaktu saya memikirkan bagaimana keindahan Tuhan dapat diembuskan ke dalam hidup sehari-hari kami, saya teringat doa dalam Mazmur 27:4:

Satu hal telah kuminta kepada Tuhan, itulah yang kuingini: diam di rumah Tuhan seumur hidupku, menyaksikan kemurahan Tuhan dan menikmati baitNya.

Saya meminta Tuhan untuk menuntun rumah tangga kami, supaya kami dapat mengabdikan diri kepada-Nya sebagai sebuah keluarga, dan supaya kami mencari, tinggal, dan memandang Tuhan sebagai Pribadi yang indah dan kreatif.

Mencerminkan Tuhan Dalam Pekerjaan Rumah dan Mengasuh Anak

Saya telah belajar bahwa mengelola rumah tangga dan mengasuh anak adalah pekerjaan yang sangat kreatif. Semua ini memerlukan keteraturan, keharmonisan, dan keindahan yang memuliakan Tuhan dan memberi hidup.

Tuhan telah menciptakan sebuah taman di Eden di mana setiap pohon indah dipandang mata dan baik untuk dimakan, dan Dia menempatkan Adam untuk “bekerja dan mengusahakannya” (Kejadian 2:8-9, 15). Sama halnya, rumah kita dapat menjadi suatu tempat perlindungan yang mencerminkan taman ini—sebuah tempat istirahat yang indah dan berlimpah kebahagiaan, yang dibangun di atas pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak. Sambil berdoa, rumah ini dapat menjadi tempat yang mengundang kita untuk bersukacita di dalam Tuhan.

Saat saya berusaha mencerminkan karakter Allah yang teratur dan kreatif, saya didorong untuk membangun sebuah rumah tangga yang menjadi mata air kehidupan bagi keluarga kami. Dan meskipun saya tidak sering memakai celemek dan memanggang kukis, saya berharap pekerjaan rumah tangga saya sehari-hari mampu mengantarkan keluarga saya ke dalam kesegaran yang baru, seperti gambaran ibu rumah tangga yang pernah saya bayangkan bertahun-tahun yang lalu saat saya masih seorang gadis muda.

 

Artikel ini pertama kali diterbitkan di Biblical Wisdom for Parents © Our Daily Bread Ministries dengan judul Honoring God in My Homemaking
Penerjemah : Yustini Soepardi
Penyelaras bahasa : Rosi Simamora, Marlia Kusuma Dewi

Yuk berjalan berdampingan untuk

Menjadi Orangtua Sebaik yang Kita Bisa.

Kami akan menampilkan artikel, kesaksian, dan tips-tips parenting setiap minggunya.

Klik untuk SUBSCRIBE