Dalam suatu sesi konseling, seorang pria memberi tahu saya bahwa ia sulit melihat Allah sebagai Bapa. Ternyata penyebabnya adalah hubungannya yang buruk dengan ayah kandungnya. Pengalaman yang buruk sewaktu kecil dan remaja membuat dirinya merasa sangat marah setiap kali teringat ayahnya.

Ketika menjadi orang Kristen, ia tidak sulit menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Dia juga dapat menerima kehadiran dan pelayanan Roh Kudus. Namun, menganggap Allah sebagai Bapa sangat sulit baginya. Ia tidak dapat menganggap Allah sebagai bapa. Setiap kali mencoba, ingatan tentang ayahnya yang penindas menjadi penghalang.

Saya mengajak ia merenungi kisah tentang anak yang hilang dan ayahnya. Lama sekali barulah ia benar-benar dapat meresapi cerita tersebut. Ketika tiba pada adegan sang ayah menyambut dan memeluk anaknya, ia terdiam sejenak, kemudian seolah-olah sebuah bendungan pecah. Ia roboh ke tanah dengan tangan terentang dan, sambil terisak-isak dan berurai air mata, ia berkata kepada Allah, “Abba, Bapa!” Itu momen yang sangat menyembuhkan baginya. Akhirnya ia terlepas dari bayang-bayang tekanan ayah duniawinya dan dapat menerima cahaya kemuliaan dari Bapa surgawinya.

Allah adalah Bapa kita yang sempurna, yang mengasuh kita dengan pengetahuan, hikmat, kasih, dan kekuatan sempurna. Tidak seperti Allah, bapa duniawi memiliki kekurangan. Ada beberapa ayah yang baik, yang memenuhi semua kebutuhan anak-anaknya, dan peduli serta sayang kepada anak-anaknya. Namun, ada juga ayah yang kelakuan dan tindakannya buruk, dan melukai anak-Anaknya.

Pengalaman kita diasuh oleh ayah (dan ibu) sangat mempengaruhi cara kita memandang Allah. Bila ayah kita baik, kita akan memiliki gambaran yang baik tentang Allah sebagai Bapa dan tidak sulit melihat Allah dalam peranan tersebut. Akan tetapi, bila kita punya pengalaman buruk dengan ayah duniawi kita, kita akan kesulitan untuk percaya, mengasihi, dan melayani Allah. Pengalaman kita diasuh di masa kecil juga akan mempengaruhi kita dalam mengasuh anak-anak kita. Kekerasan anak dapat terjadi dari generasi ke generasi. Umumnya, ayah yang kasar akan menghasilkan anak-anak yang nantinya juga akan bertindak kasar kepada anak-anak mereka. Hal yang sama juga akan terjadi dengan ayah yang tidak komunikatif, menjaga jarak, dan sering tidak hadir. Demikian juga dengan orangtua yang tidak dapat diandalkan dan tidak bermoral.

Dapatkah kebiasaan buruk ini dihentikan? Tentu saja, dengan berbagai cara. Kadang kala, memiliki orangtua yang buruk dan kasar akan menciptakan apa yang disebut psikolog sebagai “formasi reaksi” pada anak. Pengalaman masa kecil yang sangat menyedihkan dan sulit diterima membuat mereka berjanji tidak akan menjadi seperti orangtua mereka. Mereka tumbuh menjadi pribadi yang berlawanan dengan orangtua mereka. Bila orangtua mereka bersikap diktator dan suka menekan, mereka akan menjadi orangtua yang permisif. Ketika sikap tersebut lebih banyak berupa tindakan daripada reaksi, maka pola perilaku orangtua seperti ini cenderung neurotik (mekanisme pertahanan psikologis) yang mungkin tidak sehat. Reaksi yang tepat dan sehat timbul dari kesadaran seseorang tentang luka masa lalu. Orang tersebut membuat pilihan yang penuh pertimbangan dan disengaja untuk menjadi orangtua dengan cara berbeda. Seluruh pikiran, hati, dan keinginan ikut terlibat.

Ada orang yang tumbuh sebagai anak yatim piatu atau dibesarkan dalam keluarga dengan orangtua tunggal. Pengalaman tersebut mungkin akan membantu mereka memahami Allah sebagai Bapa. Menemukan kebapaan Allah juga dapat mengisi kekosongan dalam hidup mereka.

Apa pun pengalaman masa kecil kita, kita pasti akan sangat terbantu jika mau masuk ke dalam hubungan penuh kasih dengan Allah sebagai Bapa kita. Ketika kita diasuh Bapa dan mengalami kasih-Nya yang tidak terbatas, kuat, dan kesetiaan-Nya yang tidak berubah, pemeliharaan dan kehadiran, serta pembelaan dan perlindungan yang kuat, kita akan diubah menjadi seperti Dia. Kata Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya, “Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu . . . Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu” (Yohanes 5:9,12). Pengalaman kita akan kasih Allah akan mempengaruhi cara kita mengasihi sesama.

Setelah mengalami terobosan dalam hidupnya, pria yang diceritakan pada awal artikel ini akhirnya sadar bahwa Allah adalah satu-satunya teladan utama kebapaan. Sikap yang kita miliki berasal dari-Nya. Kita tidak bisa menilai kebapaan Allah dari kegagalan orangtua duniawi. Sebaliknya, meskipun orangtua duniawi kita jauh dari sempurna, kita dapat melihat Bapa surgawi sebagai orangtua yang sempurna, dan semua tindakan-Nya yang penuh kasih dapat menjadi teladan bagi pola asuh anak yang baik.

Hal ini bisa berarti bahwa ayah (dan ibu) terbaik adalah mereka yang diasuh Allah. Mereka yang menganggap Allah sebagai Bapa surgawi mereka dalam Kristus akan dibentuk menjadi orangtua yang lebih baik, yang dapat mengasuh anak-anaknya dengan cara kebapaan Allah.

Kita pasti ingat ayat Alkitab yang berkata anak-anak adalah anugerah dari Tuhan (Mazmur 127:3). Ayat ini sangat benar karena anak-anak memang diberikan kepada orangtua sebagai anugerah dari Allah. Demikian juga orangtua adalah anugerah Allah untuk anak-anak mereka. Sebagaimana Allah menjadi orangtua bagi para orangtua, Dia juga memberi orangtua kepada anak-anak mereka sebagai orangtua yang dibentuk oleh-Nya.

Renungkan

Renungkan masa kecil Anda dan hubungan Anda dengan orangtua Anda. Apa pengaruh pengalaman tersebut terhadap hubungan Anda dengan Allah dan anak-anak Anda?

Dalam hal apa Allah merupakan orangtua nomor satu dalam cara-Nya berhubungan dengan kita, tidak saja sebagai teladan secara teori tetapi juga sebagai Bapa yang nyata dan hidup?

Bagaimana hal ini dapat membantu mereka yang diperlakukan dengan tidak baik oleh orangtua duniawi mereka?

 

Disadur dari buku Membangun Generasi Mendatang, Robert Solomon, PT Duta Harapan Dunia, 2019.