“Kenapa Ibu tidak menceraikan Bapak?” ujar Raina sengit.
Di ujung ranjang, ibunya duduk sambil terus menyibukkan diri melipat kain di pangkuannya. Raina tahu, pikiran Ibu tidak tertuju pada kain itu. Ia sedang berusaha keras menahan sedu di bibirnya. Berulang kali Ibu mengerjapkan mata demi mengusir kesedihan yang kian mendera.
“Dia sudah membuat Ibu menderita, bahkan sejak Ibu mengandung anak pertama. Dia bahkan tidak pernah membuat Ibu bahagia. Dia…!”
Ucapan Raina terhenti saat ia memandang wajah ibunya. Ada sesuatu di wajah itu yang membuatnya menelan kata-katanya.
“Nak … Ibu ingat … beberapa puluh tahun yang lalu, Ibu sama Bapak berdiri di depan altar gereja. Kami mengucapkan janji untuk saling memiliki dan menjaga, pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kami.” Air mata bergulir dari pelupuk mata Ibu, keriput di wajah yang tampak letih itu seakan menjadi saksi bisu untuk setiap duka yang dipikulnya, untuk setiap kata-kata kasar yang ditelannya, untuk semua siksaan fisik yang ditanggungnya.
Baru beberapa menit yang lalu Ibu dan Bapak bertengkar hebat. Bapak marah besar dan memutuskan untuk pergi dari rumah. Sambil mengamuk ia sibuk mencari tas, dan melihat itu dengan sigap Raina turun tangan. Kardus, kantong plastik, apa pun yang diperlukan sang ayah, Raina dengan cepat menyiapkannya, dengan satu harapan: biar Bapak segera angkat kaki dari rumah ini.
Seumur hidup Raina begitu geram dengan kelakuan Bapak yang seperti anak kecil. Bapak tidak pernah sudi mengalah untuk apa pun dan siapa pun. Setiap kali keinginannya tidak dikabulkan, ia pasti merajuk, marah, bahkan mengancam akan membunuh sambil mengacung-acungkan clurit kebanggaannya. “Ayah macam apakah ayahku ini?” batin Raina seraya menghela napas panjang.
“Ibu terus mengingat janji itu, Raina. Ibu telah mengucapkannya di hadapan pendeta dan terutama kepada Tuhan.”
Lamunan Raina langsung buyar mendengar perkataan Ibu. Bukan hanya lamunannya saja, tapi juga idealismenya tentang pernikahan. Ketidakcocokan bukan berarti harus selesai di meja hijau. Pertengkaran sengit tidak harus diakhiri dengan menandatangani surat cerai. Sepanjang hidup Raina, ia telah menyaksikan bahwa janji kesetiaan yang diucapkan dalam pernikahan ternyata menuntut kasih yang tanpa batas untuk terus mempertahankannya, sampai maut memisahkan.
Lama Raina menatap wajah Ibu. Tidak ada senyum di sana, namun toh ada kekuatan dari janji yang dipegangnya dengan teguh dan besar hati.
“Kalau Ibu saja bisa menahan diri untuk tidak menuntut banyak dari Bapak, aku seharusnya bisa lebih tabah … Tapi kenapa hati ini terlalu sesak untuk sekadar menambal luka itu dengan kasih seperti yang dilakukan oleh Ibu?” jerit Raina dalam hati.
Tanpa mengatakan apa-apa, ia mengecup kening Ibu dan meninggalkan kamar. Dadanya masih sesak, namun kobar amarahnya telah surut disiram perkataan Ibu yang tenang dan menyejukkan.
“Pak, gimana aku bisa bangga terhadap Bapak seperti anak-anak lainnya?” bisik Raina pedih. “Teman-temanku sering membangga-banggakan bapak mereka yang penuh kasih dan pengertian, tapi aku … apa yang dapat kubanggakan dari Bapak? Setiap kali teman-teman bertanya, Bapak bekerja di mana, aku selalu mencoba mengelak. Masakan aku menjelaskan dulunya Bapak bekerja di kantor DPRD, tapi kemudian mengundurkan diri dengan alasan yang tidak pernah kupahami. Yang kuingat hanyalah Bapak sering pulang dalam keadaan mabuk berat dan berceloteh macam-macam. Penghasilan yang seharusnya dipakai untuk menafkahi keluarga malah digunakan membeli rokok.”
Perlahan, serpih demi serpih ingatan menyusun diri dalam benak Raina. Ia masih ingat benar betapa malu dirinya saat ayahnya bertahun-tahun mengamen dari pintu ke pintu rumah orang. Pernah juga Bapak mencoba berjualan mie pangsit, tapi gagal. Jadi tukang bubur kacang hijau, tapi gerobaknya diserempet kendaraan sampai rusak. Jadi buruh di pabrik tusuk gigi, namun pulang dengan tangan berdarah-darah karena terkena mesin pemotong. Bukan hanya itu! Bapak juga pernah menjadi satpam kompleks namun dipecat karena berkelahi dengan teman sesama satpam, dan masih banyak lagi pekerjaan yang bergantian terus Bapak coba lakoni sepanjang hidup mereka sekeluarga. Setiap kali Bapak kehilangan pekerjaan dan mencari yang baru, Bapak selalu kembali mengamen dari pintu ke pintu demi istri dan anak-anaknya bisa makan.
Supaya kami bisa makan!
Ah, Raina tersentak dengan kesadaran ini. Semua yang dilakukan Bapak adalah sejatinya pengorbanan yang dilakukan demi tanggung jawabnya memelihara keluarga. Bapak mungkin tidak puas dan kecewa dengan segala macam profesi yang terpaksa dilakoninya, tetapi ia tidak punya pilihan, karena keluarganya harus makan. Dan sangat mungkin, orang-orang memandangnya sebelah mata oleh karena pekerjaannya. Bahkan mungkin tidak jarang ia dipandang rendah. Dan semua ini, ditambah rentetan kegagalan demi kegagalan Bapak dalam mempertahankan pekerjaannya, telah melahirkan kegetiran yang menciptakan ruang kosong dalam hatinya.
Ruang kosong yang sampai sekarang pun masih belum dapat diisi Bapak. Ruang kosong yang menciptakan dahaga jiwa. Ruang kosong yang tanpa disadari telah mendorongnya menggunakan berbagai cara untuk menghalau dahaga jiwanya itu. Dan jika di luar sana Bapak dengan tegar menepis segala gengsi dan perasaan malu, menekan segenap harga diri demi memelihara anak dan istri, maka di rumah, Bapak seolah ingin meraup kembali apa yang telah dipertaruhkan dan dirampas oleh kehidupan dari tangannya.
Di rumah, ia menuntut sedikit rasa hormat dari istri dan anak-anaknya. Hanya saja, karena sifatnya yang keras, Bapak menuntut semua itu dengan caranya sendiri yang dengan sadar atau tidak, telah melukai hati istri dan anak-anaknya.
Ia menuntut banyak hal dari anak-anaknya. Prestasi tertinggi di sekolah, etika terbaik di pergaulan, bahasa tersantun dalam percakapan. Ia menuntut semua itu karena percaya hal itu dapat mengangkat martabatnya kembali di mata dunia. Membuat dirinya bangga, meski dengan sedikit bualan untuk mempertegas pencapaian itu.
Ah, tapi apakah semua itu sepenuhnya salah? Apakah disiplin dan tuntutan yang Bapak letakkan di pundak anak-anaknya mendatangkan kecelakaan bagi mereka? Bukankah semua didikan Bapak, meski dilakukan jauh dari sempurna, meski sarat dengan kekurangan, telah berhasil menjadikan putri-putrinya sebagai gadis yang mandiri, sopan, dan teguh dalam iman?
Raina menunduk dan tercenung dengan pikiran-pikiran itu. Untuk pertama kali dalam hidupnya, matanya seolah terbuka, dan mendadak sepotong perasaan aneh menyeruak, melahirkan perasaan syukur di hatinya untuk Bapak.
“Kalau bukan karena disiplin dari Bapak, tentu aku akan menjadi seperti anak-anak lain yang dengan cepat dan mudah melontarkan kata-kata kasar, makian, dan guyonan-guyonan nakal. Kalau bukan karena tuntutan Bapak, mungkin aku tidak akan bisa menjadi juara kelas. Kalau bukan karena ajaran Bapak tentang sopan santun, tentunya aku akan jadi anak liar yang pacaran sebelum waktunya atau mungkin sudah putus sekolah karena menikah dini.”
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Raina sadar, bahwa hidupnya begitu terkendali karena aturan-aturan yang diterapkan Bapak sejak mereka masih kecil. Bagaimanapun juga, Bapak banyak berjasa dalam pendidikan dan pemeliharaan hidupnya serta saudara-saudaranya selama ini.
Sungguh benar apa yang dikatakan penulis Amsal, “Hai anakku, dengarkanlah didikan ayahmu, dan jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu sebab karangan bunga yang indah itu bagi kepalamu, dan suatu kalung bagi lehermu.”
Ya, didikan memang tidak selalu berupa kata-kata, omelan, bahkan bentakan. Ajaran juga tidak selalu berupa duduk diam mendengarkan ceramah Ibu ataupun “nyanyian-nyanyian” kecilnya saat sewaktu kecil anak-anak mengompol di tengah malam atau melarikan diri dari meja makan dan menutup mulut menolak suapan-suapan nasi dari Ibu. Didikan dan ajaran orangtua bisa berupa perbuatan mereka, cara mereka merespons masalah-masalah kehidupan, dan kegigihan mereka dalam memelihara keluarganya. Itulah pembelajaran hidup yang akan terus berlangsung, tidak akan berhenti sampai mereka berpulang kepada Bapa di surga.
“Kenapa Ibu tidak menceraikan Bapak?” Sekarang pertanyaan itu sudah tidak relevan lagi bagi Raina. Ia telah menyadari bahwa meskipun Bapak memiliki cara “unik” agar dapat diterima dengan layak oleh lingkungannya, Bapak tetaplah ayahnya. Tidak akan ada ayah lain sebagai penggantinya. Tuhan telah merancang Raina untuk memiliki ayah seperti Bapak, dan layak atau tidak, Bapak harus tetap dihormati. Kehadiran beliau di dalam keluarga bukanlah suatu kebetulan. Semua ajaran, nasihat, dan kegigihan beliau merupakan sumbangsih yang besar dalam proses pembentukan Raina menjadi gadis dewasa.
“Bapak berjasa untuk kehidupan kita,“ kata kakak sulungnya, dan Raina setuju dengannya.
“Happy Father’s Day ya, Pak,” gumamnya lembut.
Dalam rangka memperingati Hari Ayah Internasional, Our Daily Bread Indonesia mempersembahkan buklet penjangkauan berjudul “Hormatilah Orangtuamu”. Baca dan Dengar di sini
Yuk berjalan berdampingan untuk
Kami akan menampilkan artikel, kesaksian, dan tips-tips parenting setiap minggunya.