Pernikahan adalah komitmen sehidup semati. Namun, bagaimana mempertahankan komitmen tersebut agar tidak kandas, terutama ketika berbagai kekecewaan melanda dan harapan yang dirajut kala berpacaran tidak tercapai?

Sekitar 50 persen dari seluruh kaum dewasa muda sekarang ini dibesarkan dalam keluarga yang pernah mengalami kesedihan dan kepahitan akibat retaknya pernikahan. Mereka melihat apa yang terjadi pada pernikahan orangtua mereka, dan tidak ingin hal yang sama terjadi pada mereka.

Namun pernikahan tidak harus berakhir dengan perceraian. Terlepas dari tingginya angka perceraian dan meningkatnya jumlah hubungan pernikahan yang tidak bahagia meskipun tanpa perceraian, pernikahan tetap menawarkan kesempatan yang indah untuk menemukan makna dan kelimpahan kasih sejati.

Inilah realitas yang sering kita lihat dalam pernikahan:

  • Pernikahan membutuhkan usaha yang keras dan layak diperjuangkan. Sudah tentu banyak yang harus kita korbankan, tetapi manfaat yang kita terima secara pribadi dari sebuah hubungan yang sehat jauh melampaui segala kesusahannya.
  • Pernikahan adalah tanggung jawab yang besar, apalagi kalau pernikahan itu sudah diramaikan dengan kehadiran anak-anak. Namun tanggung jawab itu akan disertai dengan otoritas dan pertolongan Allah yang akan mengubahnya menjadi hasil yang memuaskan.
  • Pernikahan tidak selalu membahagiakan, terkadang ada rasa kesepian dan ketidakpuasan yang bisa membuat orang ingin berpaling dari pasangannya yang sah. Bahkan sekarang orang mudah sekali terjerat dalam jalinan “cinta segitiga”, “perselingkuhan di kantor”, dan menganggap bahwa hubungan seks di luar nikah sah-sah saja dilakukan asalkan “aman.” Namun, pasangan yang dapat menerima satu sama lain apa adanya dan mengasihi tanpa syarat maka pernikahannya akan dapat bertahan.

Realitas pernikahan memang tidak seindah bayangan kita. Bahkan mungkin kenyataannya jauh lebih buruk, sangat jauh dari gambaran ideal seperti bayangan dulu sebelum menikah. Tak jarang pasangan suami-istri mulai merasa putus asa dengan pernikahan mereka dan tampaknya jalan keluar terbaik adalah mengakhiri saja pernikahan sebelum terlanjur pahit. Padahal, sebagaimana yang disadari juga oleh banyak orang, seburuk apa pun pernikahan tanpa cinta, perceraian yang dipenuhi amarah juga tidak menuntaskan masalah.

Sebenarnya, masih ada banyak pasangan yang memperjuangkan cinta mereka dan mempertahankan pernikahan. Hal-hal inilah yang mereka lakukan:

  • Sungguh-sungguh mengusahakan kehidupan perkawinan mereka semesra saat masih berpacaran dulu, walaupun sudah punya anak dan memiliki masalah ekonomi. Mereka tetap mempertahankan kemesraan secara fisik hingga maut memisahkan.
  • Senantiasa bersyukur dengan terus menumbuhkann sikap saling menghargai, terlepas dari segala kekurangan dan ketidaksempurnaan pasangan.
  • Saling mencintai secara mendalam karena sudah memahami makna kasih dan pengampunan yang bertahan lama.

Alkitab menunjukkan bahwa harapan Allah atas pernikahan sangat berbeda dari harapan kita. Ketika Allah berkata, “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja,” dan ketika kemudian menciptakan Hawa sebagai jawaban atas kesendirian itu, yang Dia lakukan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan manusia saja. Di sepanjang Alkitab kita melihat bahwa harapan Allah atas pernikahan adalah sebagai berikut:

1. Pernikahan memungkinkan kita melayani kebutuhan orang lain.

Dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, Rasul Paulus menyatakan dengan gamblang bahwa pernikahan bukan soal kebahagiaan semata tetapi juga soal tanggung jawab (1 Korintus 7:28-35). Paulus menyatakan bahwa ketika mereka saling mengikatkan diri, pasangan suami-istri justru harus lebih berusaha menyenangkan satu sama lain (ay.33-34).

2. Pernikahan akan mengubah diri kita menjadi lebih baik.

Dalam Kitab Suci tidak ada jaminan bahwa ketika kita menikah, pasangan hidup kita akan selalu mengasihi, menghormati, dan mencintai kita dengan segenap jiwa. Tidak ada jaminan bahwa sebuah rumah tangga akan selalu berkelimpahan secara materi, dan bahwa pasangan akan selalu dapat memuaskan kebutuhan jasmani kita. Alkitab tidak pernah berjanji Dia akan membuat pasangan menjadi orang yang sesuai dengan kemauan kita. Namun, Alkitab menyatakan tentang sikap hati yang dapat Allah berikan ketika kita melakukan bagian kita dalam membantu pasangan menonjolkan sisi terbaiknya.

3. Pernikahan akan membuat kita memiliki semangat untuk saling mengasihi.

Alkitab menyatakan dengan jelas bahwa ketika seorang pria dan wanita yang diikat dalam pernikahan, mereka menjadi satu. Dan faktor yang mengendalikan kesatuan itu adalah komitmen bersama untuk saling mempedulikan kesejahteraan satu sama lain sampai maut memisahkan.

4. Pernikahan akan menjadi gambaran jalinan hubungan Kristus dengan jemaat-Nya.

Harapan Allah adalah bahwa suami-istri akan membangun kasih abadi dengan memperhatikan “pernikahan” antara Kristus dan jemaat-Nya (2 Korintus 11:2; Efesus 5:22-33). Di sana ada kasih tanpa syarat, kekudusan, hubungan yang intim, termasuk pengampunan. Ya, pengampunan yang tulus, sama seperti Kristus mengasihi manusia bahkan ketika manusia masih berkutat dengan dosa. Allah ingin selalu dekat dengan manusia, tanpa ada dosa yang menghalangi. Harapan-harapan Allah itu memberikan janji yang agung bagi pernikahan yang baru atau yang dipulihkan. Harapan-harapan itu mendorong kita memandang keluar dari diri kita sendiri, dan menuntut agar kita mengasihi pasangan dengan kasih yang bersumber dari Allah.

Tentu saja, semua itu tidak mudah dilakukan. Akan ada saat-saat di mana rumah tangga kita mengalami masa pasang-surut. Norman Wright, seorang konselor Kristen, dalam buku bimbingan pranikahnya berjudul Before You Say I Do (Sebelum Mengucap Janji Nikah), menyatakan bahwa setiap pernikahan pasti akan melewati masa-masa yang mengecewakan. Pasangan suami-istri baru biasanya akan menghadapi kesenjangan antara apa yang diharapkan dari pernikahan dengan kenyataan yang sesungguhnya.

Ketika kita tahu bahwa kesejahteraan utama kita tergantung dari Allah dan bukan dari pasangan kita, kita akan mulai mengalami kuasa Allah. Ketika seorang suami percaya bahwa hubungannya dengan Allah lebih penting daripada hubungannya dengan istrinya, ia akan mulai menemukan suatu keyakinan diri yang tidak bergantung pada tanggapan ataupun pengakuan istrinya. Ia akan mulai mengasihi istrinya dengan kasih yang telah ia temukan dalam Kristus (Efesus 5:25).

Ketika seorang istri percaya bahwa hubungannya dengan Kristus lebih penting daripada hubungan dengan suaminya, ia akan mulai menemukan sumber rasa aman dan penerimaan diri yang tidak tergantung pada kemampuan suaminya untuk memenuhi kebutuhannya. Ia mulai bisa menerima perannya sebagai seorang istri, didasari oleh keyakinan bahwa sikap tunduk yang didorong oleh motivasi yang benar sesungguhnya merupakan cara untuk menundukkan dirinya pada ketuhanan dan ketetapan Kristus (Efesus 5:22-24).

Pernikahan merupakan penggambaran dari hubungan Kristus dengan jemaat. Yesus menyebut jemaat sebagai mempelai-Nya, dan Dia menyebut diri-Nya sebagai Mempelai Laki-laki. Jemaat adalah semua orang yang mempercayai Yesus Kristus sebagai Juruselamat mereka. Pengabdian, kasih yang rela berkorban, dan kesetiaan suami-istri merupakan gambaran hubungan Kristus dengan jemaat. Janji “pernikahan” mereka akan digenapi ketika Yesus datang kembali untuk menjemput mempelai-Nya.

 

Disadur dari buku STI Kompilasi, “Kerikil-Kerikil Tajam Pernikahan”, Jakarta:ODB Indonesia, 2014.