Tiga Cara Kita Mencintai yang Terkecil

Sejak peristiwa di taman Eden, Tuhan telah memberikan peran penting kepada anak-anak untuk kedatangan kerajaan-Nya. “Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, serta antara keturunanmu dan keturunannya,” kata Tuhan kepada ular itu (Kejadian 3:15). Dan sejak saat itu, ada perang panjang dan mengerikan terhadap anak-anak.

Kisah Alkitab menunjukkan betapa kejamnya kekuatan anti-anak di dunia ini: Firaun melemparkan anak-anak laki-laki Israel ke Sungai Nil (Keluaran 1:22). “Dewa-dewa” jahat menyuruh orang tua untuk melemparkan anak-anak mereka ke dalam api (Yeremia 19:4-5). Herodes membantai anak-anak laki-laki di Betlehem (Matius 2:16).

Masyarakat kita sendiri tidak terlepas dari pertumpahan darah semacam itu: lebih dari enam puluh juta batu nisan tak terlihat (dalam lima puluh tahun terakhir, dan masih terus bertambah) memenuhi tanah-tanah kosong di berbagai tempat. Pada masa sekarang ini, banyak sikap ketidaksetujuan terhadap anak-anak muncul dalam bentuk yang lebih halus. Masyarakat merendahkan, dan kadang-kadang bahkan menganggap remeh peran ibu rumah tangga. Dan, terlalu sering kita memperlakukan anak-anak sebagai sekadar aksesori untuk individualisme kita: berharga sejauh mereka mendukung identitas pribadi kita dan memajukan tujuan pribadi kita—jika tidak, mereka dianggap merepotkan.

Sebagai orang Kristen, kita mungkin tergoda untuk berasumsi bahwa perang terhadap anak-anak ini hanya ada di luar sana. Namun, bahkan ketika kita berpaling dari dunia individualisme sekuler dan dengan hati-hati mempertimbangkan diri kita sendiri—hati kita, rumah kita, gereja kita—kita mungkin menemukan kecenderungan aneh yang menentang anak-anak. Kita bisa saja menyadari bahwa kekuatan anti-anak dapat bersembunyi di tempat-tempat yang tampaknya sangat pro-anak. Dan kita mungkin menyadari, seperti yang pernah dialami para murid Yesus, bahwa anak-anak membutuhkan tempat yang lebih besar dalam hidup kita.

Dan, terlalu sering kita memperlakukan anak-anak sebagai sekadar aksesori untuk individualisme kita: berharga sejauh mereka mendukung identitas pribadi kita dan memajukan tujuan pribadi kita — jika tidak, mereka dianggap merepotkan.

 

Pro-Anak di atas Kertas

Seperti kebanyakan orang Kristen saat ini, para murid Yesus tumbuh dalam budaya yang umumnya pro-anak. Pandangan mereka terhadap anak-anak mungkin tidak se-sentimental kita, tetapi mereka tahu bahwa anak-anak memiliki peran penting dalam tujuan Tuhan. Mereka mengingat janji Tuhan untuk mengirim seorang anak yang akan menghancurkan ular (Kejadian 3:15). Mereka secara teratur mengulang perintah untuk mengajarkan firman Tuhan “dengan tekun kepada anak-anakmu” (Ulangan 6:4-9). Mereka menghargai kesetiaan Tuhan hingga beribu-ribu keturunan (Keluaran 34:7).

Namun, suatu hari, datanglah beberapa anak mendekati para murid. Dan saat Yesus melihat bagaimana murid-muridnya merespons, dia merasakan sebuah emosi yang tidak pernah disematkan kepada-Nya dalam Injil: kemarahan karena ketidakadilan (indignation).

Mereka membawa anak-anak kepada-Nya agar Ia menyentuh mereka, tetapi para murid memarahi mereka. Ketika Yesus melihat hal itu, Ia marah. (Markus 10:13-14)

Para murid mungkin memiliki niat baik. Bagi mereka, anak-anak ini (atau orang tua mereka) bertindak kurang pantas; mereka datang pada waktu yang tidak tepat atau dengan cara yang salah. “Bukan sekarang, Nak—Sang Guru masih memiliki urusan yang harus diselesaikan.” Namun, akhirnya mereka mengetahui bahwa bukannya mengganggu Sang Guru dari urusan-Nya, anak-anak justru menjadi fokus urusan Sang Guru.

Dalam prosesnya, mereka juga mengingatkan bahwa mengklaim posisi pro-anak tidak berarti menjalani kehidupan yang pro-anak. Kita bisa secara teori menghargai anak-anak tetapi secara praktis mengabaikan mereka. Kita bisa mengatakan di atas kertas, “Biarkan anak-anak datang,” sambil menunjukkan sikap, “menjaga jarak dengan anak-anak.” Kita bisa memandang rendah kekuatan anti-anak di dunia dan, sementara itu, mengabaikan anak-anak yang berharga di sekitar kita.

Kita, seperti para murid, mungkin memegang posisi pro-anak. Gereja-gereja kita mungkin memiliki program pro-anak. Tetapi menjadi pro-anak sesungguhnya memerlukan jauh lebih dari sekadar posisi atau program: Itu memerlukan hati dan sikap Kristus.

 

Hati Kristus untuk Anak-Anak

“Yesus mengasihi anak-anak dengan cinta yang besar dan mendalam,” tulis Herman Bavinck (The Christian Family, 43). Dan apakah kita juga demikian? Untuk menjawab pertanyaan itu, mari kita perhatikan respons Tuhan kita ketika anak-anak kecil mendekat kepada-Nya.

Bagaimana kita bisa menjadi lebih seperti Dia yang senang berada di antara anak-anak, Tuhan yang Maha Kuasa itu menyediakan Diri-Nya bagi anak-anak kecil ini? Di antara berbagai sikap ramah anak yang kita lihat dalam Markus 10:13-16, mari kita pertimbangkan tiga hal.

1. KEHADIRAN

Pertama-tama, Yesus menciptakan kehadiran hangat dan ramah bagi anak-anak.

Ada sesuatu dalam perilaku Yesus yang menunjukkan bahwa Tuhan ini tidak terlalu besar untuk anak-anak kecil. Mereka tampak dengan mudah berada di sekitar-Nya, sehingga Dia bisa dengan spontan menggendong seorang anak “di lengan-Nya” ketika beristirahat bersama dengan murid-murid-Nya di Kapernaum (Markus 9:36). Kemudian, saat Yesus memasuki Yerusalem, anak-anak dengan senang hati mengikuti-Nya, bersorak “Hosana!” (Matius 21:15-16). Dan kemudian dalam adegan itu, orang tua dan anak-anak mendekati-Nya tanpa keraguan (Markus 10:13).

Apa yang membuat Yesus begitu menyambut mereka dengan hangat? Kita mungkin mencatat saat-saat Dia menolong dan menyembuhkan anak-anak, seperti putri Yairus (Markus 5:41-42) atau anak janda dari Nain (Lukas 7:14-15). Namun, kisah-kisah ini juga merupakan contoh pola yang jauh lebih besar dalam pelayanan Yesus, yang secara nyata condong kepada orang-orang yang dianggap “kecil” oleh dunia: orang kusta, orang yang kerasukan setan, pemungut cukai, dan pelacur. Dia tidak sombong, tetapi bergaul dengan orang-orang yang lebih rendah (Roma 12:16). Dan anak-anak, menyaksikan kerendahan hati ini, mengerti bahwa mereka tidak terlalu rendah bagi-Nya.

Jika kita juga ingin menyambut kehadiran anak-anak, mari kita mulai dengan merendahkan diri secara umum. Ketika kita memasuki pertemuan Minggu dan kelompok kecil kita, dan ketika kita berjalan-jalan di kota-kota kita, apakah kita melihat mereka yang tersesat dan kesepian, yang terluka dan hancur? Apakah kita membungkus kerentanan dengan kelembutan dan memberikan penghargaan pada kelemahan? Jika ya, anak-anak akan memperhatikan hati kita yang tunduk dan rendah, kehadiran yang cukup rendah untuk dapat mereka raih.

2. PRIORITAS

Kedua, Yesus menjadikan anak-anak sebagai prioritas praktis, memberi mereka waktu dan perhatian yang melimpah.

Jika ada orang yang memiliki alasan kuat untuk berjalan melewati anak-anak—”Maaf, anak-anak, jangan sekarang”—itu adalah Yesus. Tidak ada yang memiliki prioritas yang lebih tinggi atau misi yang lebih mulia. Tidak ada yang waktunya lebih berharga. Namun, tidak ada yang memberikan prioritas atau waktunya dengan sabar kepada mereka yang mungkin kita anggap sebagai gangguan. Di tengah-tengah perjalanan-Nya untuk menyelamatkan dunia, Tuhan kita berhenti sejenak dan “memeluk anak-anak itu dan sambil meletakkan tangan-Nya atas mereka Ia memberkati mereka” (Markus 10:16). Hidup pelayanan-Nya penuh kesibukan, tetapi masih ada ruang bagi anak-anak.

Dalam kehidupan kita sendiri, memberi prioritas kepada anak-anak membutuhkan perencanaan aktif, kesediaan untuk meluangkan sebagian dari jadwal kita untuk bermain dan berkhayal. Namun, seperti yang diajarkan Yesus kepada kita, memberi prioritas kepada anak-anak juga membutuhkan penerimaan yang responsif, yang mungkin kita sebut sebagai hidup yang terbuka terhadap gangguan.

Anak-anak adalah ahli dalam mengganggu. Tarikan pada celana dan tangisan dari tempat tidur, perilaku impulsif dan hentakan kaki yang kurang sopan – anak-anak memiliki cara untuk mengacaukan rencana yang telah kita susun dengan baik. Akan tetapi, semakin kita serupa dengan Yesus, semakin siap kita menerima bahwa rencana kita yang terganggu adalah bagian dari rencana baik Allah. Kita juga akan mengingat bila Yesus dapat berhenti sejenak untuk bersama-sama dengan anak-anak, maka kita pun bisa berhenti sebentar dari tugas-tugas penting kita, berlutut, dan memberikan perhatian setingkat mata Kristus kepada anak-anak.

3. DOA

Ketiga, Yesus berdoa dan memperhatikan kesejahteraan rohani anak-anak.

Ketika anak-anak mendatangi Yesus, Dia tidak hanya menerima dan menggendong mereka; Dia tidak hanya melihat dan berbicara kepada mereka. Dia juga meletakkan tangan-Nya atas mereka dan, di hadapan Bapa-Nya, memberkati kepala-kepala kecil mereka (Markus 10:16).

Kita tidak tahu berapa usia anak-anak itu, tetapi mereka cukup kecil untuk dibawa oleh orang tua mereka (Markus 10:13). Mereka juga cukup belia sehingga para murid tampaknya tidak melihat potensi rohani yang besar pada diri mereka. Tidak demikian dengan Yesus. Tuhan yang mencintai sampai ke ribuan generasi melihat lebih jauh dari yang kita bisa: Dia dapat melihat dalam wajah seorang anak masa depan orang dewasa dan murid yang berkembang; Dia dapat menanamkan benih-benih doa di ladang yang mungkin tidak berbuah selama bertahun-tahun.

Apakah kita menginvestasikan supervisi rohani yang sabar kepada anak-anak? Ketika kita berdoa untuk teman-teman kita, apakah kita juga membawa anak-anak mereka, dengan menyebut nama mereka, di hadapan takhta kasih karunia? Apakah kita menemukan cara kreatif, tidak hanya untuk bercanda dan bermain dengan anak-anak di gereja kita, tetapi juga untuk membagikan Yesus kepada mereka dengan cara yang bijaksana dan sesuai dengan usia mereka? Dan apakah upaya penginjilan kita memperhitungkan mereka yang belum percaya yang berjalan setinggi lutut di antara kita?

Semoga setiap dari kita, baik sebagai orang tua atau bukan, akan bergabung dengan ibu dan ayah di Markus 10, yang sangat ingin menyerahkan anak-anak kita kepada lengan Kristus. Ketika kita mendengar-Nya berkata, “Biarkan anak-anak datang,” semoga kita menjawab, “Kami akan membawa mereka.”

 

Sikap, Bukan Program

Jika cara kita memperlakukan anak-anak lebih mirip tindakan para murid daripada Tuhan kita, maka masalah kita pada intinya adalah, bahwa kita belum menjadi seperti anak-anak di dalam hati kita. “Biarkanlah anak-anak datang kepada-Ku,” kata-Nya, “sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya” (Markus 10:14–15). Kita sudah terlalu besar; kita sudah tumbuh melebihi kasih karunia. Karena pintu masuk ke dalam Kerajaan itu kecil—sangat kecil sehingga kita hanya bisa masuk jika kita merendahkan diri sejajar dengan seorang anak kecil.

Untuk melawan kekuatan anti-anak di dunia ini, kita membutuhkan lebih dari sekadar pandangan pro-kehidupan, pendapat yang mulia tentang ibu, dan program Sekolah Minggu yang kuat. Semua itu mungkin ada pada kita, namun kita masih bisa menjadi sasaran kemarahan Yesus.

Kita membutuhkan sikap, semangat, dan persaudaraan dengan Kristus yang hidup, yang meninggalkan tempat yang tinggi demi yang terendah, yang menjadi seorang anak kecil sehingga kita dapat menjadi anak Allah. Semakin kita mencintai Yesus, semakin kita akan mencintai anak-anak. Semakin kita menyerupai Dia, semakin kuat pula kehadiran, prioritas, dan doa-doa kita mengatakan, “Biarkanlah anak-anak datang kepada-Nya”—dan makin banyak anak-anak yang akan datang.

 

Artikel ini pertama kali diterbitkan di website Desiring God, dengan judul: The Pro-Child Life dan digunakan dengan seizin penerbit.

Penerjemah: Marlia Kusuma Dewi

Penyelaras bahasa: Catharina Pujianto

Yuk, berjalan berdampingan untuk

Menjadi Orangtua Sebaik yang Kita Bisa.

Klik untuk SUBSCRIBE