Lalu orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus, supaya Ia meletakkan tangan-Nya atas mereka dan mendoakan mereka; akan tetapi murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu. Tetapi Yesus berkata: “Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Surga.” Lalu Ia meletakkan tangan-Nya atas mereka dan kemudian Ia berangkat dari situ. (Matius 19: 13-15)

Apa yang terlintas dalam benak kita, saat membaca ayat ayat ini kembali?

Mungkin ada di antara kita yang terganggu dengan respons murid-murid pada orang tua anak-anak, bahkan pada anak-anak itu sendiri. Mengapa mereka harus marah? Mengapa harus melarang dengan tegas? Tidak bisakah ada cara lain yang lebih halus untuk mendapatkan pengertian dari para orang tua dan anak-anak itu?

Mungkin ada yang merasa, “Duh..Kenapa harus bawa-bawa anak-anak, sih? Ini kan bukan acara di dalam gedung, cuaca panas, apalagi harus menempuh perjalanan jauh. Gimana kalau mereka rewel? Gimana kalau ada yang lapar? Gimana kalau ada yang minta ke toilet (kalau ada)? Gimana kalau mereka berlari ke sana ke mari? Gimana kalau mereka ngoceh sana-sini, sehingga mengganggu suara Yesus yang sedang mengajar?”

Mari kita melihat situasinya lebih mendetail.

Tuhan Yesus dan para murid-Nya berkeliling ke kota-kota, menyembuhkan banyak orang sakit. Kemudian, tersebarlah berita tentang mukjizat Tuhan Yesus kepada seluruh orang di kota. Orang-orang yang sudah disembuhkan pulang dan menceritakan kepada keluarganya. Maka, orang-orang dewasa berinisiatif membawa anak-anaknya agar bisa bertemu dengan Yesus. Bukankah banyak anak-anak juga rentan dengan penyakit dan membutuhkan jamahan Tuhan Yesus? Kalau orang dewasa bisa disembuhkan, anak-anak pun bisa juga. Bukankah anak-anak memiliki hak yang sama untuk datang kepada Yesus? Sesampainya di sana, meskipun banyak orang mengelilingi Tuhan Yesus, tetapi mereka tetap berusaha agar bisa mendekati Yesus. Karena dikira mengganggu, maka para murid memarahi para orang tua yang membawa anak-anak itu.

1. Anak-Anak Punya Hak yang Sama untuk Datang kepada Yesus

Bayangkan, para orang tua datang dengan penuh harapan untuk membawa anak-anak mereka berjumpa dengan Yesus, supaya Ia meletakkan tangan-Nya atas mereka dan mendoakan mereka, tetapi secara tak terduga, murid-murid terdekat Yesus justru memarahi mereka dan bahkan melarang dengan tegas.

Menghadapi hal itu, bagaimana perasaan para orang tua? Sudah pasti K E C E W A.

Ada banyak dari kita yang menjalani parenting pernah didera perasaan kecewa. Harapan-harapan atas diri anak-anak yang tak terpenuhi mudah sekali membuat kita kecewa. Bahkan ada pula orang tua yang mengawali masa kecilnya dengan perasaan kecewa yang menimbulkan luka di hati. Luka ini yang dibawa-bawa sampai remaja, bahkan sampai saat memiliki anak. Kekecewaan menciptakan sebuah lingkaran rasa sakit dan kepahitan yang tampaknya tidak memiliki titik sambung yang jelas, sehingga proses pemulihannya belum dapat dilakukan secara tuntas.

Izinkan saya untuk menceritakan sebuah kisah bagi Anda.

Keluarga yang Saling Mendukung

Suatu hari, Betha sedang bermain sepeda dan secara tidak sengaja dia keluar dari halaman tanpa sepengetahuan orang-orang dewasa di rumahnya. Dia menyeberang jalan, tepat saat ada truk sedang berbelok di simpang jalan dekat rumahnya. Karena truk itu begitu dekat, ia panik, tidak bisa menguasai sepedanya, lalu jatuh terguling-guling ke pinggir jalan. Sopir truk sangat kaget melihat ada anak yang sepertinya telah terserempet truk yang dikendarainya. Dia segera menghentikan truknya, berlari ke arah anak itu dan memeriksa luka-luka yang timbul karena kecelakaan itu. Dengan panik, ia menggendong anak kecil itu dan membawanya ke rumah terdekat untuk mendapat pertolongan pertama.

Pada saat itu, ibunya melihat anaknya dibopong orang asing dalam keadaan terluka. Ia segera berlari untuk menolong anak ini. Ayahnya dengan sigap mengeluarkan mobil untuk segera membawa Betha ke rumah sakit. Sementara itu, di rumah, saudara-saudara Betha tidak berhenti berdoa agar saudari mereka bisa terselamatkan.

Dan, benar, atas pertolongan Tuhan, nyawa anak kecil ini tertolong. Setelah beberapa hari, ia pulih dengan cepat, dan bisa kembali ke rumah dengan sehat. Wow…what a nice family. Keluarga yang saling mendukung, saling menguatkan.

Di sisi panggung yang lain, terjadi hal yang serupa.

Keluarga yang Tidak Saling Mendukung

Suatu hari Rossa sedang bermain sepeda dan secara tidak sengaja, dia keluar dari halaman tanpa sepengetahuan orang-orang dewasa dalam rumahnya. Dia menyeberang jalan tepat saat ada truk sedang berbelok di dekat rumahnya dan karena truk itu begitu dekat ia tidak bisa menguasai sepedanya, lalu ia jatuh terguling-guling ke pinggir jalan. Sopir truk sangat kaget melihat ada anak yang terserempet. Dia segera menghentikan truknya, berlari ke arah anak itu untuk memeriksa luka-luka yang timbul karena kecelakaan itu. Karena Rossa kaget, ia pingsan, dan sopir truk menyangka anak itu sudah mati. Tanpa berpikir panjang, ia kembali ke truknya, menyetir dengan panik, menjauh dari lokasi kejadian dan menghilang dari pandangan.

Jalanan itu begitu sepi. Tidak seorang pun yang mengetahui kejadian itu.

Setelah beberapa lama, Rossa tersadar dari pingsannya. Dengan terpincang-pincang, ia menuntun sepedanya menuju ke rumah, lalu masuk ke kamarnya. Ia mengambil handuk dan membasahinya dengan air lalu membersihkan luka-luka dan mengobatinya sebisa mungkin. Badannya terasa remuk dan kakinya sakit sekali. Lalu, dia berbaring dan beristirahat. Entah sudah berapa lama ia tertidur, tiba-tiba Ia bangun saat ada teriakan keras mamanya dari lantai 1 untuk mengajak makan malam. Ia keluar kamar, turun tangga pelan pelan dan terseok-seok.

“Rossa, pelan kali jalanmu. Dari tadi tidur terus kerjanya!” omel mamanya.

“Rossa, belajar jalan yang benar, jangan pincang-pincang! Lama lama kamu jadi anak cacat!”suara papanya menghujam hatinya.

“Ha ha ha ha ha … Rossa pengkor, Rossa pengkor!” tertawa saudara-saudaranya lebih menyakiti hatinya.

Kedua cerita di atas adalah gambaran diri kita masing-masing. Saat kita lahir, kita tidak bisa memilih bakal ditempatkan di keluarga yang mana. Di keluarga seperti Betha yang memiliki support system yang begitu bagusnya? Ataukah di keluarga seperti Rossa, yang banyak menimbulkan luka-luka, yang bisa jadi kita bawa-bawa sampai dewasa, bahkan sampai sekarang ini.

Kita semua pernah disakiti oleh orang-orang yang sebelumnya juga disakiti oleh orang lain yang terluka. Sebaliknya, kita, sebagai orang yang tersakiti, telah menyakiti orang lain juga sampai tingkat tertentu. Dan, terus berlanjut! Bisa jadi luka itu timbul karena disakiti secara perbuatan, perkataan, dan perilaku . Perbuatan yang jahat dan kasar, perkataan yang pedas dan tajam, serta kebohongan itu menyakitkan . Bagaimana dengan perilaku? Melengos, merendahkan, bersalaman tanpa melihat muka, angkuh, pamer, dan lain-lain. Semua ini dilakukan, baik disengaja maupun tidak, secara terang-terangan maupun tersembunyi, terlihat maupun tidak terlihat.

Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga dengan orang tua yang tidak saling menghormati dan menunjukkan kasih sayang akan berangkat dewasa dengan memikul beban yang berat.

“Dengan mengabaikan banyak anak yang terluka karena luka mereka tidak terlihat oleh kita, kita menciptakan generasi baru, yaitu anak-anak yang terluka.”

Ketika rasa sakit itu nyata, maka lukanya juga nyata, meskipun luka-luka itu tidak terlihat.

Fakta mengejutkan: Perbuatan yang melukai dan menyakiti anak-anak bahkan dapat bersembunyi di tempat-tempat yang tampaknya sangat pro-anak. Bisa di sekolah, di gereja, di rumah, di persekutuan para pengikut Yesus, di depan murid-murid Yesus, di depan mata Yesus.

“Lalu orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus, supaya Ia menjamah mereka; akan tetapi murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu. Ketika Yesus melihat hal itu, Ia marah” (Markus 10:13-14).

Ketika Yesus melihat bagaimana murid-muridnya merespons, dia merasakan sebuah emosi kasih yang begitu dalam yang tampak dalam kemarahan karena ketidakadilan.

Kini kita menyadari, seperti yang pernah dialami para murid Yesus, bahwa anak-anak membutuhkan tempat yang lebih besar dalam hidup kita—dalam hati kita.

Dan, ini membawa kita pada poin yang kedua.

2. Biarkan Anak-Anak Itu Datang Kepada-Ku

YESUS, yang meninggalkan tempat yang tinggi demi yang terendah, yang menjadi seorang anak kecil sehingga kita dapat menjadi anak Allah. Semakin kita mencintai Yesus, semakin kita akan mencintai anak-anak. Semakin kita menyerupai Dia, semakin kuat pula kehadiran, prioritas, dan doa-doa kita mengatakan, “Biarkanlah anak-anak datang kepada-Nya.”

Yesus berkata, “Orang yang menerima seorang anak seperti ini karena Aku, berarti menerima Aku. Dan orang yang menerima Aku, ia bukan menerima Aku saja, tetapi menerima juga Dia yang mengutus Aku” (Markus 9:37 BIMK).

Hendaklah setiap orang menyambut Kerajaan Allah seperti anak-anak kecil agar masuk ke dalamnya . Sambil berkata demikian, Tuhan Yesus meletakkan tangan-Nya atas anak-anak itu dan memberkati mereka.

Ketika Anda menerima anak-anak di dalam nama Yesus, ada hal besar yang akan terjadi dalam hidup Anda, yaitu Anda mendapatkan anak-anak, dan Anda mendapatkan Yesus.

Ketika Yesus bersama dengan Anda: para orang tua, para tante, para kakak, para adik; maka anak-anak tidak lagi terabaikan. Kita akan mendapatkan kekuatan baru untuk mengasuh, mendidik, dan mengasihi anak-anak.

Firman Tuhan mengatakan, “Buktinya, Allah tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi menyerahkan Dia untuk menderita dan dikorbankan demi menyelamatkan kita. Kalau Allah rela memberikan Anak-Nya yang terkasih, tentulah Dia akan tetap berbaik hati kepada kita dan memberikan semua hal lain yang sudah dijanjikan-Nya kepada kita” (Roma 8:32 TSI).

Mulai hari ini, perlakukan anak-anak sebagai human being. Mereka punya hak yang sama untuk datang kepada Yesus. Biarkanlah mereka datang kepada-Nya.

 

Yuk, berjalan berdampingan untuk

menjadi orang tua sebaik yang kita bisa.

Klik untuk SUBSCRIBE