Dr. G. Campbell Morgan memiliki empat orang anak yang semuanya adalah pengkhotbah. Suatu hari ketika sedang berkumpul di ruang tamu bersama tamu-tamu lainnya, mereka bercakap-cakap tentang orang-orang yang paling berpengaruh dalam hidup mereka. Seorang tamu bertanya kepada salah satu putra Morgan, “Howard, siapa pengkhotbah paling hebat dalam keluargamu?” Howard sangat mengagumi ayahnya. Ia menatap ayahnya, tetapi tanpa ragu sedikit pun menjawab, “Ibu.”1 Howard benar, karena berkat ibunya lahirlah empat pengkhotbah yang luar biasa.

Kasih seorang ibu untuk anaknya sangat legendaris; banyak kisah yang menceritakan tentang betapa dalam kasih ibu untuk anak-anaknya. Kasihlah yang membuat seorang ibu rela melewati malam tanpa tidur hanya demi menyusui anaknya. Bayangkan apa yang dilakukan ibu Anda sendiri guna memastikan Anda mendapat makanan, pendidikan, pengasuhan, dan kasih sayang yang cukup. Sudah pasti ada pengorbanan.

Kasihlah yang membuat seorang ibu selalu bersemangat. Kasih ibulah yang memampukannya melakukan pengorbanan: bangun di malam hari untuk menjaga anaknya yang demam, berdoa sungguh-sungguh untuk anak-anaknya, bahkan rela menahan lapar demi memberi anak-anaknya makan di masa-masa sulit. Meski pengorbanannya jarang diakui, ibu yang pengasih takkan mundur karena ia mengasihi anak-anaknya lebih daripada dirinya sendiri.

Rasul Paulus menggambarkan betapa dengan kasih seorang ibu, ia dan rekan-rekannya “bekerja siang malam” dengan “usaha dan jerih lelah” demi orang-orang yang mereka layani

(1 Tesalonika 2:9). Metafora yang dipakai Paulus adalah seperti ibu yang mengasuh anaknya. Demikian ia menuliskan, “Tetapi kami berlaku ramah di antara kamu, sama seperti seorang ibu mengasuh dan merawati anaknya. Demikianlah kami, dalam kasih sayang yang besar akan kamu, bukan saja rela membagi Injil Allah dengan kamu, tetapi juga hidup kami sendiri dengan kamu, karena kamu telah kami kasihi” (ay.7-8).

Ketika mengamati para ibu, kita dapat memahami maksud Paulus ini. Insting ibu bersifat alami, dan Anda dapat menyaksikannya melalui transformasi luar biasa dari seorang wanita muda yang menjadi ibu yang rela berkorban dalam membesarkan anak-anaknya.

Namun, seiring perubahan waktu, kepentingan diri dan kesenangan pribadi menjadi jauh lebih menonjol di dunia yang menjunjung sikap “aku-lebih dulu”. Beberapa pasangan bahkan tidak ingin punya anak karena takut harus mengorbankan kebebasan dan waktu mereka. Sementara yang memutuskan untuk memiliki anak tidak bersedia melakukan banyak pengorbanan, dan bila mungkin akan mengalihkan peran orangtua kepada orang lain.

Salah satu masalah zaman sekarang adalah masyarakat cenderung menganggap remeh peran ibu dalam hal mengasuh anak. Masyarakat seringkali menganggap menjadi ibu rumah tangga adalah tugas yang ringan dan tidak memberi kontribusi berarti bagi masyarakat.

Peggy Campolo adalah seorang ibu rumah tangga yang mengurus anak. Suaminya seorang pembicara yang sibuk dan terkenal. Ketika orang bertanya apa pekerjaannya, dan Peggy menjawab bahwa ia ibu rumah tangga, sering kali orang-orang langsung kehilangan minat untuk bercakap-cakap dengannya, dan mencari orang lain untuk diajak bicara.

Akhirnya Peggy belajar untuk mengganti jawabannya menjadi: “Saya mensosialisasikan nilai-nilai dominan tradisi Yahudi-Kristen kepada dua homo sapiens agar mereka dapat menjadi instrumen untuk mentransformasi tatanan sosial menjadi semacam utopia eskatologis yang dikehendaki Allah sejak awal penciptaan.”2 Setelah itu ia balas bertanya, “Anda sendiri, apa pekerjaan Anda?” Dan jawabannya tipikal, “Oh, saya cuma pengacara.”

Ini bukan berarti bahwa kita dapat memilih antara menjadi ibu rumah tangga atau memiliki karier. Kebanyakan perempuan perlu melakukan kedua peran ini. Tantangannya adalah untuk melihat bahwa menjadi ibu adalah peran utama, dan kita perlu bersiap untuk melakukan pengorbanan kasih.

Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa Paulus menggunakan metafora ibu yang menyusui. Ini menarik. Seorang ibu tidak dapat membeli makanan dari supermarket lalu memberikannya kepada anaknya yang masih bayi karena anak itu nantinya bisa sakit. Oleh karena itu, sang ibu akan mengonsumsi makanan padat tersebut, lalu tubuhnya mencerna makanan itu dan mengubahnya menjadi susu untuk bayinya. Ini menunjukkan bahwa mengasuh anak tidak seperti pelayan menyiapkan makanan siap santap yang dimasak juru masak. Sebaliknya, makanan apa pun yang kita berikan kepada anak harus terlebih dahulu melewati kita; kita harus memproses secara pribadi semua hal yang akan kita ajarkan kepada anak kita.

Bila kita ingin mengajar anak kita bahwa Allah ingin kita bicara jujur, kita harus mencerna kebenaran itu terlebih dahulu dan mencoba kebenarannya sebelum mengajarkannya kepada anak. Pelajaran Alkitab yang kita bacakan kepada anak-anak harus terlebih dahulu masuk ke pikiran dan hati kita sehingga kita dapat menyampaikannya dengan efektif.

Mengasuh anak adalah tugas pribadi yang harus dilakukan dengan tekun, penuh kasih, dan pengorbanan. Orangtua bisa saja meminta bantuan untuk melakukan berbagai tugas ini, tetapi

mereka tetap tidak boleh mengabaikan atau melepaskan peran utama mereka dalam mengasuh anak, yaitu merawat, mengajar, membimbing, dan mendorong anak-anak mereka.

 

Renungkan

Renungkan kasih dan kelembutan seorang ibu. Apa ciri-cirinya dan apa yang memotivasi pola asuh anak seperti itu?

Mengapa penting bagi orangtua untuk terlebih dahulu menyesuaikan, menguji, dan menegaskan apa yang akan mereka ajarkan kepada anak-anak dalam kehidupan mereka sendiri? Bagaimana hal ini dapat dilakukan?


1. Robert Strand, Mini Moments for Fathers: Forty Bright Spots to Warm a Father’s Heart (Green Forest, AR: New Leaf Press, 2005), 92.
2. Mark Cannister, Teenagers Matter: Making Student Ministry a Priority in the Church (Eugene, OR: Wipf & Stock, 2013), 180.

 

Disadur dari buku Membangun Generasi Mendatang, Robert Solomon, PT Duta Harapan Dunia, 2019, hal 66-77.