Di tengah riuh berita keluarga-keluarga modern yang diwarnai perceraian dan figur peran ayah yang kian menghilang, muncul luka mendalam yang bersembunyi di balik senyap: father wound. Istilah ini menggambarkan kehampaan emosional dan spiritual yang ditinggalkan oleh ayah yang tidak hadir, kasar, atau terlalu dominan. Seperti dijelaskan oleh Dr. Gordon Neufeld dan Dr. Gabor Maté dalam Hold On to Your Kids, kehilangan sosok ayah berarti kehilangan sebagian fondasi psikologis dan rohani pada anaknya.

Luka ini sering disebut spiritual orphanhood, atau keterasingan batin saat anak kehilangan cerminan kasih dan perlindungan Allah dalam sosok ayah. Ini bukan sekadar gangguan emosional, melainkan luka yang merambat ke relasi, iman, bahkan jati diri. Namun, Kitab Suci tak bungkam. Ia memberi bahasa bagi luka ini, dan tidak cuma itu, sabda Tuhan memberikan jalan pemulihannya. Kasih ayah yang setia dan tanpa syarat bukan hanya membangun rumah tangga, tapi menyembuhkan jiwa. Di dunia yang penuh anak-anak terluka secara tak kasatmata, kasih ayah sejati adalah terapi ilahi yang paling dibutuhkan.

Allah sebagai Bapa

Di dalam kebingungan zaman modern tentang figur ayah yang sejati, Kitab Suci mengarahkan kita bukan pertama-tama kepada tokoh manusia, tetapi kepada Allah sendiri. Dialah Bapa sejati, bukan sekadar gelar simbolik, tetapi relasi personal yang menjadi pusat iman Kristen. Dalam Yohanes 1:12 difirmankan bahwa “semua orang yang menerima-Nya diberi kuasa supaya menjadi anak-anak Allah,” sebuah pengakuan radikal bahwa Allah bukan hanya pencipta yang jauh, melainkan Bapa yang dekat dan penuh cinta.

Puncak kedekatan ini tercermin dalam Roma 8:15, ketika Paulus menyatakan bahwa kita telah menerima roh yang menjadikan kita anak, dan karenanya kita berseru, “Abba, Bapa.” Istilah Abba adalah panggilan penuh kehangatan dalam bahasa Aram, yang tak hanya menunjukkan kelembutan, melainkan juga keintiman yang tak terpisahkan antara anak dan ayahnya. Di sinilah kita menemukan sebuah gambaran yang sempurna tentang cinta yang tidak bersyarat, otoritas yang mendidik, dan kedekatan yang meneduhkan.

Namun, kasih Bapa tidak steril dari disiplin kepada anaknya. Justru dalam relasi inilah kita mengenal Allah yang mendidik dan bahkan menghukum, bukan sebagai bentuk kemarahan, melainkan sebagai wujud kasih yang mendewasakan. Mazmur 103:13 menggambarkan hal ini dengan indah,“Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian TUHAN sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia.” Ini adalah cinta yang tidak membiarkan anaknya ugal-ugalan, tapi mendidiknya. Sebuah cinta yang tidak memanjakan, tetapi mengarahkan.

Dari sinilah selayaknya renungan tentang ayah ideal dimulai, bukan dari standar budaya yang relatif, melainkan dari hati Allah sendiri. Seorang ayah yang meneladani Bapa Surgawi akan mencintai tanpa syarat, membimbing dengan sabda, mendisiplin dengan kasih, dan memberi tanpa pamrih. Ia tidak sempurna, tapi hatinya terus dibentuk oleh gambaran Ilahi yang sempurna.

Mari Melihat Beberapa Figur Ayah dalam Kitab Suci

Jika Allah adalah titik acuan tertinggi bagi keteladanan, maka figur-figur ayah dalam Kitab Suci adalah cerminan-cerminan manusiawi dari bayang-bayang kasih dan otoritas-Nya. Mereka bukan sosok yang sempurna, tapi melalui kisah mereka, dalam ketaatan maupun kejatuhan, kita dapat membaca ulang makna terdalam menjadi seorang ayah: sebagai pemimpin spiritual, pelindung, dan pencinta yang setia.

Abraham, Sang Ayah yang Beriman

Selain Abraham adalah bapa bangsa-bangsa, ia juga bapa dalam iman. Dalam Kejadian 22, kita diperhadapkan pada adegan yang mengguncang nurani: Abraham diminta mempersembahkan Ishak, anak perjanjian yang dinantikannya selama puluhan tahun. Ini bukan semata ujian iman, tapi juga potret ayah yang mengajarkan nilai tertinggi kepada anaknya suatu ketaatan kepada Allah, bahkan di tengah paradoks dan ketakutan. Dalam peristiwa itu, Ishak selain belajar siapa Allah, ia juga melihat ayahnya bertindak sebagai imam rumah tangga: berserah, tapi tetap bertanggung jawab.

Dari Abraham kita belajar, ayah sejati tidak hanya menyediakan, melainkan juga membimbing anak-anaknya pada horizon yang lebih tinggi: panggilan surgawi yang terkadang menuntut pengorbanan dan risiko.

Yusuf, Ayah Pendiam yang Bertindak

Dalam diam Yusuf, kita menemukan kekuatan yang tak berisik tapi kukuh. Ia bukan ayah biologis Yesus, tapi secara fungsional dan spiritual, ia memikul tugas yang agung. Dalam Matius 1–2, Yusuf tampil sebagai figur yang bertindak tanpa banyak kata. Ia percaya kepada mimpi ilahi, memutuskan tetap menikahi Maria meski secara sosial dipermalukan, lalu membawa keluarganya mengungsi ke Mesir demi keselamatan Putra yang dipercayakan kepadanya.

Yusuf adalah potret ayah yang bertanggung jawab, meski panggung sejarah nyaris melupakannya. Dunia modern yang gaduh bisa belajar darinya: bahwa maskulinitas bukan tentang suara keras, tapi tentang komitmen, kehadiran, dan perlindungan yang senyap namun nyata.

Ayah dalam Perumpamaan Anak yang Hilang

Di antara semua narasi tentang ayah, mungkin tidak ada yang seindah gambaran Yesus dalam Lukas 15: di mana seorang ayah yang tidak mengontrol, melainkan juga tidak pernah menyerah. Ia membiarkan anaknya memilih jalan buntu, tapi setiap hari hatinya tetap membuka pintu pengampunan. Saat si anak kembali dalam kehancuran, sang ayah tidak menuntut penjelasan. Ia berlari, sebuah tindakan yang tidak lazim di zaman patriarki kala itu, memeluk, mencium, dan mengembalikan martabat anaknya.

Ini bukan sekadar cerita pengampunan. Ini adalah sebuah manifesto tentang kasih yang menyembuhkan. Sosok ayah di sini mewakili hati Allah, sekaligus menjadi model bagi setiap ayah duniawi yang dipanggil bukan untuk mengendalikan, tapi menyambut dan memulihkan.

Keteladanan dan Peringatan: Belajar dari Daud dan Eli

Namun, Kitab Suci tidak hanya mengangkat teladan, ia juga tidak menyembunyikan kegagalan. Eli, imam besar, gagal mendisiplin anak-anaknya yang menyalahgunakan jabatan rohani (1 Sam. 2). Daud, raja besar yang menulis mazmur, justru gagal dalam membina relasi yang sehat dengan anak-anaknya, termasuk Amnon dan Absalom (2 Sam. 13–18). Di sini, kita melihat bahwa kebesaran publik tidak menjamin keberhasilan domestik. Ayah yang berhasil adalah mereka yang tidak hanya memimpin bangsa, tapi juga hadir dalam ruang-ruang rumah yang intim.

Melalui keberagaman narasi ini, kita belajar bahwa ayah dalam Kitab Suci bukanlah sosok ideal yang tanpa cela, melainkan figur yang terus bergumul untuk mencintai dengan cara Allah mencintai. Ada yang berhasil, ada yang gagal, dan justru dalam kegagalan itu, kita melihat pentingnya rahmat dan pembaruan ilahi.

Ciri-Ciri Ayah Ideal Menurut Kitab Suci

Jika figur-figur Kitab Suci memberi kita potret konkret tentang peran ayah dalam berbagai situasi hidup, maka bagian ini hendak merumuskan prinsip-prinsip dasar yang menjadikan seorang ayah sebagai gambaran ilahi, seorang ikon kecil dari Bapa Surgawi di tengah keluarga. Kita tidak berbicara tentang kesempurnaan, melainkan tentang orientasi hati yang setia kepada Allah dan kepada anak-anak yang dipercayakan kepadanya.

1. Mengasihi Tanpa Syarat

Efesus 6:4 mengingatkan, Hai bapa-bapa, jangan bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.” Cinta seorang ayah bukan sekadar afeksi, tapi kasih yang membentuk. Ini adalah cinta yang tidak menyerah pada anak yang keras kepala, cinta yang bersabar dalam kegagalan, cinta yang tidak memanipulasi. Kasih semacam ini mencerminkan kasih Allah, yang mengasihi lebih dulu, bukan karena kita layak, tetapi karena Dia setia.

Kolose 3:21 menambahkan dalil penting, “Janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya.” Seorang ayah ideal tahu bahwa kata-kata dan sikapnya membentuk dunia batin anak-anaknya. Ia hadir bukan untuk menciptakan ketakutan, tetapi kepercayaan.

2. Mendidik dalam Takut akan Tuhan

Didikan sejati tidak dimulai dari disiplin eksternal. Ia diawali dengan penanaman nilai rohani. Ulangan 6:6–9 menjelaskan bahwa sabda Tuhan perlu ada dalam hati seorang ayah, dan kemudian diajarkan kepada anak-anak ketika engkau duduk, berjalan, berbaring, dan bangun, atau dengan kata lain, dalam keseharian hidup. Ayah ideal bukan hanya pengajar moral, ia juga pembentuk spiritualitas anak.

Ini berarti mendidik dalam takut akan Tuhan bukan sekadar mengajak anak ke gereja, melainkan menghadirkan Tuhan dalam ritme hidup keluarga: dalam percakapan, keputusan, konflik, dan mengelola berkat.

3. Hadir secara Emosional dan Spiritual

Zaman ini mengenal banyak ayah yang ada secara fisik, tetapi absen secara emosional. Kitab Suci justru menampilkan Allah sebagai Bapa yang mengenal isi hati putra-putri-Nya, yang mendengarkan, dan mengerti. Ayah yang hadir secara spiritual bukan hanya pemimpin doa, tapi juga rekan jiwa, yang tahu kapan anaknya sedang goyah, yang membuka pelukan bukan hanya ketika anak berhasil, tetapi juga ketika ia gagal. Singkatnya, ayah yang mewariskan iman. Tentu, iman tidak diwariskan lewat instruksi, tapi lewat inkarnasi atau hidup yang mencerminkan kebenaran. Seorang ayah ideal adalah penjaga obor rohani, memastikan bahwa anak-anaknya tidak hanya tahu siapa Allah, melainkan mengalami-Nya dalam relasi sehari-hari. Ia menghidupi doa, pengampunan, pelayanan, dan kasih sebagai pola hidup yang diwariskan dari generasi ke generasi.

4. Menjadi Teladan Karakter dan Kesalehan

Anak-anak belajar dari apa yang mereka lihat. Maka, ayah yang bijak tidak hanya memberi nasihat, ia menjadi hidup yang bisa dibaca. Dalam keberanian dan kelembutan, dalam kerja keras dan sabar menghadapi tekanan, seorang ayah menciptakan narasi tentang siapa Allah itu, bukan dalam teori, tetapi dalam tindakan.

Akhirulkalam. Ayah ideal menurut Kitab Suci bukanlah figur yang tanpa cela. Ia bisa gagal, bisa jatuh, dan bisa merasa tak sanggup. Namun, kekuatannya terletak pada satu hal: ia membuka diri dibentuk oleh kasih dan karakter Allah. Ia sadar bahwa menjadi ayah adalah sebuah panggilan rohani, bukan sekadar fungsi biologis atau status sosial. Dalam dunia yang terus berubah, di mana maskulinitas sering disalahpahami dan otoritas paternal terkikis oleh budaya individualisme, figur ayah menurut Kitab Suci justru menjadi terang pemulihan. Sebab dalam banyak kehidupan, luka karena ayah yang abai atau abusif melahirkan generasi yatim secara spiritual. Maka menjadi ayah bukan sekadar menjalani peran, melainkan juga menjadi jalan kesembuhan, menggantikan luka dengan cinta, menggantikan jarak dengan pelukan, dan menjadi bayang-bayang nyata dari Bapa yang mengangkat kita dari status yatim menjadi anak yang dikasihi.

Dan pada momen ini, saat dunia memberi ruang bagi peringatan Hari Ayah, kiranya kita tidak sekadar menyampaikan ungkapan terima kasih. Lebih dari itu, ini adalah waktu yang tepat untuk menghargai kedalaman panggilan menjadi ayah, sebuah panggilan yang membentuk bukan hanya kehidupan anak, tetapi juga arah peradaban. Bagi setiap pria yang memilih hadir, mendengar, memeluk, dan menuntun dalam diam, Anda adalah saluran rahmat yang menyentuh generasi penerus. Di tengah tekanan zaman dan pergulatan batin, kasih Anda yang setia mencerminkan wajah Allah yang penuh belas kasihan.

Hari ini, kami mengenang dan mengakui peran Anda, bukan karena kesempurnaan, melainkan karena ketulusan yang Anda tabur dalam tanah kehidupan. Selamat Hari Ayah. Kiranya kasih ilahi terus memampukan setiap langkahmu dalam menanamkan cinta yang melampaui generasi.

Yuk berjalan berdampingan untuk

Menjadi Orangtua Sebaik yang Kita Bisa.

Klik untuk SUBSCRIBE