Madeleine yang berusia enam tahun berlari-lari di taman bermain. Tiba-tiba seseorang dengan sengaja menyelengkatnya dan Madeleine pun terjerembap. Segerombolan anak-anak yang lebih besar mengelilingi dan menertawakannya. Madeleine mulai menangis, tetapi anak-anak itu malah menghujaninya dengan ejekan dan berbagai julukan.
Pengalaman yang tidak menyenangkan ini bukan hanya dialami oleh Madeleine. Di sebuah sekolah yang lain, James yang berusia empat belas tahun belakangan merasa ditolak dan dijauhi teman-temannya. Geng anak-anak populer yang biasa bergaul dengannya menjauhi James tanpa penjelasan. Mereka juga bergosip tentang James di belakangnya—dan hal-hal buruk yang mereka katakan tentang dirinya akhirnya sampai juga di telinga James.
Apakah cerita-cerita ini terdengar tidak asing bagi Anda? Pernahkah Anda atau anak Anda mengalami situasi seperti ini? Sayangnya, bullying terlalu sering terjadi di kalangan anak-anak (juga orang dewasa!). Dan hal ini dapat mempengaruhi anak-anak serta orangtua dalam banyak hal.
Namun, apa yang dapat kita lakukan tentang hal ini? Bagaimana kita dapat mengetahui apakah anak-anak kita di-bully, dan kapan kita dapat merespons atau tidak perlu merespons hal itu? Dan, yang lebih penting, kebenaran alkitabiah apa yang dapat kita gunakan untuk menanggapinya?
Bentuk Bullying
Menurut Koh Ai Jin, seorang konselor sekaligus psikoterapis yang membuka praktik pribadi, bullying atau perundungan dapat didefinisikan sebagai tindakan yang menyakiti orang yang lebih rentan baik secara fisik dan emosional, dan dilakukan oleh seseorang yang dianggap lebih kuat atau agresif.
Tindakan tersebut tidak selalu dilakukan dengan sengaja, Koh Ai Jin menekankan, terutama ketika pelakunya adalah anak-anak. “Anak-anak yang tidak diajar untuk mengelola dorongan hati yang agresif akan langsung melakukannya kepada anak lain tanpa memikirkan akibatnya,” ia menjelaskan.
Perundungan dapat dilakukan dengan berbagai cara, secara fisik atau verbal, dalam bentuk tindakan atau pola perilaku tertentu. Perundungan fisik dapat berupa tindakan memukul, meninju, mendorong, atau memaksa korban untuk melakukan hal-hal memalukan. Perundungan verbal dapat berbentuk ucapan yang menyakitkan, baik secara langsung maupun tidak.
Alkitab menyoroti bagaimana perkataan dapat menghancurkan orang lain: “Hidup dan mati dikuasai lidah” (Amsal 18:21). Ucapan penuh kritik dan kecaman, seperti “Kamu bodoh!” atau “Kamu jelek pakai baju itu,” juga dapat diterima sebagai ucapan yang menyakitkan. Contoh lainnya adalah ucapan bernada menghakimi atau yang menggunakan bahasa vulgar.
“Bisa juga berupa perilaku kelompok yang mengucilkan anak tertentu,” Ai Jin menambahkan. Sekelompok anak mungkin berkumpul dan bersama-sama mengucilkan seorang anak, memaksanya melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keinginannya, atau merusak barang-barangnya, seperti mencoret-coret seragamnya atau merobek buku-bukunya. Ini beberapa contoh dari kejadian nyata. Sering kali, tindakan-tindakan seperti ini disertai tindakan menertawakan dan mengejek, yang dapat membuat korban merasa lebih buruk lagi.
Oleh karena itu, tidak selalu mudah untuk menarik garis antara apa yang dianggap sebagai perundungan, dan apa yang tidak. Ai Jin, yang sudah sepuluh tahun bekerja sebagai konselor, mengingatkan betapa sulitnya untuk mendefinisikan bullying secara tepat.
Bullying terjadi ketika orang yang lebih kuat menyakiti orang yang lebih lemah.
Namun, kita dapat melihat dampaknya pada diri korban. Hal ini dapat membantu kita untuk menentukan apakah telah terjadi perundungan, salah satunya adalah ketika seorang anak menunjukkan tanda-tanda kecemasan dan menarik diri dari pergaulan.
Sebagai contoh, jika harga diri seorang anak terluka akibat komentar pedas yang dilontarkan kepadanya, hal tersebut dapat dianggap sebagai bullying. Sebaliknya, jika anak itu dapat mengabaikannya dan tidak terpengaruh olehnya, hal tersebut belum tentu dianggap sebagai bullying. Dengan kata lain, bullying terjadi ketika orang yang lebih kuat telah menyakiti orang yang lebih lemah.
Siapa yang Mungkin Menjadi Target Bullying?
Sebagian besar anak-anak rentan terhadap perundungan dalam beberapa hal, karena pikiran dan kesadaran moralitas mereka masih berkembang.
Anak-anak yang lebih kecil mungkin belum cukup matang untuk tahu apa itu bullying. Terkadang, mereka tidak dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah, secara kognitif.
Akibatnya, anak-anak mungkin tidak memberi tahu orangtua bahwa mereka telah di-bully. Hal ini dapat membuat anak sulit mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan, yang ujung-ujungnya akan membuat mereka lebih rentan lagi terhadap perundungan.
Anak-anak mungkin juga kesulitan untuk memahami bahwa mereka sedang di-bully. Mereka hanya tahu ada sesuatu yang tidak baik, dan mereka tersakiti karenanya. Namun, anak-anak dapat dengan mudah menepiskan hal-hal seperti itu.
Seiring bertambahnya usia, sebagian anak mungkin juga menyembunyikan informasi tersebut dari orangtua, karena menganggap hal itu sebagai bagian dari kehidupan, sebagai sesuatu yang dapat mereka atasi sendiri.
Anak-anak yang kurang percaya diri, atau yang kepribadiannya lebih sensitif atau tertutup, juga cenderung lebih rentan daripada anak-anak lain. Anak-anak seperti ini dapat mengembangkan kebiasaan untuk menerima saja, bahkan ketika mereka diperlakukan dengan tidak adil. Mereka lebih percaya kepada perkataan orang daripada perasaan mereka sendiri.
Apakah Anak Saya Di-bully?
Sebagai orangtua, bagaimana kita dapat mengetahui apakah anak-anak kita di-bully, dan bagaimana kita dapat menolong mereka?
Penting untuk terus-menerus berkomunikasi dan mengetahui apa yang terjadi dalam hidup anak-anak kita.
Karena usia dan kerentanan mereka, anak-anak yang lebih kecil mungkin tidak akan langsung menceritakan bahwa mereka telah di-bully, karena mereka mungkin butuh waktu untuk memahami apa yang mereka rasakan—seperti misalnya perasaan takut atau tidak berdaya. Mungkin setelah beberapa kali diajak bercakap-cakap barulah mereka menyadari bahwa mereka telah di-bully, atau mengetahui bahwa mereka telah dianiaya.
Oleh karena itu, Ai Jin menyarankan kepada para orangtua untuk terus menjalin komunikasi, bahkan sebelum kita yakin bahwa anak kita di-bully atau tidak. “Tidak mudah mengetahuinya jika Anda tidak menjalin percakapan rutin dengan anak Anda,” katanya. “Anda mungkin akan mendengar anak Anda bercerita tentang apa saja yang mereka alami, kemudian Anda menangkap sekilas bahwa mereka sedang di-bully.”
Hal-hal seperti ini dapat Anda tangkap melalui isyarat nonverbal juga: perhatikan perubahan perilaku anak, seperti sikap muram atau keluhan tidak enak badan yang tidak biasa, atau perasaan jengkel dan frustrasi yang tidak dapat dijelaskan. “Kalau sudah begini, mungkin Anda perlu memastikan apakah semuanya baik-baik saja di sekolah,” Ai Jin menyarankan.
Apa yang Dapat Saya Lakukan Tanpa Memperburuk Keadaan?
Meski bullying adalah fenomena yang kompleks tanpa solusi yang cocok bagi semua orang, Anda mungkin dapat menerapkan beberapa tips umum berikut ini:
1. Mengajari anak-anak kita untuk mengenali bullying.
Kita dapat mengajari anak-anak kita untuk segera memberi tahu jika mereka mendapati diri mereka di-bully.
Anak-anak membutuhkan suara orang dewasa untuk menyadari pelanggaran yang terjadi, dan untuk memberi tahu mereka bahwa perasaan negatif yang mereka alami akibat bullying, seperti rasa takut dan tidak berdaya, adalah sesuatu yang valid tetapi tidak seharusnya mereka dibuat merasa seperti itu.
2. Mengajari anak-anak kita cara-cara untuk menanggapi bullying.
Kita dapat mengajari anak-anak kita untuk mengabaikan sebuah perundungan, mengingat beberapa pelaku perundungan senang memprovokasi respons yang kuat. Atau, kita dapat mengajari mereka untuk berkata tegas saat menghadapi bullying, menggunakan kalimat seperti “Stop!” atau “Aku tidak suka.”
Jika itu tidak berhasil, anak mungkin perlu melaporkannya ke guru. Namun, jika usia anak sudah remaja, orangtua mungkin tidak perlu ikut campur. Kecuali tentunya jika perundungannya parah. Ini karena remaja lebih suka mengatasi sendiri situasi seperti ini.
Jika seorang anak di-bully secara daring, misalnya lewat game, Anda dapat mencegah situasi menjadi lebih buruk dengan meminta anak untuk logout.
Terakhir, anak-anak yang di-bully dapat mengembangkan cara berpikir yang tidak sehat akibat kerusakan yang terjadi pada harga diri mereka. Untuk menolong mereka, orangtua dapat membimbing anak-anak untuk mengenali pikiran atau emosi yang negatif tentang diri mereka sendiri. Kita dapat menguatkan mereka dengan apa yang firman Tuhan katakan mengenai mereka dan situasi yang mereka hadapi. Beberapa di antaranya adalah Roma 8:35-39, Ratapan 3:22-23, dan Yesaya 40:31.
Namun demikian orangtua tidak usah ragu-ragu mencari bantuan atau konseling profesional apabila diperlukan.
Bagaimana Jika Anak Saya yang Mem-bully Anak Lain?
Beberapa dari kita mungkin mendapati bahwa anak kitalah yang mem-bully anak lain. Hal ini dapat terjadi karena natur manusia yang cenderung berbuat dosa, seperti dikatakan dalam Kejadian 8:21: “Aku tahu bahwa sejak masa mudanya, pikiran manusia itu jahat” (BIS).
Dalam situasi seperti itu, Ai Jin mendorong orangtua untuk tetap tenang, dan menghindari menyalahkan diri sendiri atau langsung menyimpulkan bahwa anak mereka seorang perundung. Melabeli anak-anak yang usianya masih kecil sebagai tukang bully tidak akan membantu, karena beberapa anak kemungkinan belum cukup matang untuk dapat memahami konsekuensi dari tindakan mereka.
Pendekatan yang lebih baik adalah dengan menyebut perilakunya sebagai “perilaku bullying”. Ketahuilah bahwa perilaku mereka tersebut perlu ditangani. Namun, kita perlu bersikap penuh pengertian terhadap perkembangan anak kita.
“Mereka hanya anak-anak,” ujar Ai Jin. “Mereka akan bersikap seperti yang mereka rasakan dan pikirkan saat itu, tanpa mempertimbangkan konsekuensi lebih lanjut.”
Sebaiknya orangtua membantu anak-anak untuk memahami, dari mana datangnya perilaku mereka dan mengapa perilaku tersebut tidak baik karena menyebabkan sakit hati dan melukai orang lain.
Ajari mereka cara-cara berperilaku yang pantas atau dapat diterima. Sampaikan alasan di balik perilaku mereka, dan tanamkan pada mereka cara berbicara dan berperilaku yang baik. Ketika Anda membantu mereka untuk melihat bagaimana tindakan mereka dapat mempengaruhi orang lain, mereka dapat menumbuhkan empati dan mengembangkan kepedulian serta tenggang rasa terhadap orang lain.
Memang, Alkitab sering berbicara tentang mengasihi orang lain dengan menunjukkan kebaikan kepada mereka. Rasul Paulus, misalnya, menulis dalam Efesus 4:31-32: “Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan. Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.”
Haruskah orangtua menghukum anak yang mem-bully orang lain? Setiap disiplin, jika diberikan, harus sesuai dengan usia anak. Anak-anak yang lebih kecil mungkin dapat didisiplinkan dengan menerapkan time-out, sementara anak-anak yang lebih besar mungkin akan merespons lebih baik jika orangtua mengajak mereka duduk bersama dan membicarakan apa yang terjadi, kemudian berdiskusi dengan mereka.
Penghiburan dalam Menghadapi Bullying
Seiring waktu, anak-anak yang disakiti dapat pulih kembali, terutama jika mereka tahu bahwa orangtua mereka peduli dan langkah-langkah telah diupayakan untuk mengatasi dan menyelesaikan masalah tersebut.
Sebagai orangtua, kita memiliki peran penting untuk menunjukkan kepada anak-anak kasih dan penghiburan dari Tuhan. Dalam hal ini, kita mendapat kekuatan dari 2 Korintus 1:3-4: “Terpujilah Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Bapa yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan, yang menghibur kami dalam segala penderitaan kami, sehingga kami sanggup menghibur mereka, yang berada dalam bermacam-macam penderitaan dengan penghiburan yang kami terima sendiri dari Allah.”
Sebagai contoh, kita dapat meluangkan waktu untuk mendengarkan anak-anak kita dengan sabar ketika mereka menceritakan perasaan mereka. Kita juga dapat menyempatkan diri untuk terlibat dalam kegiatan yang mereka sukai. Selain meredakan stres dan ketegangan mereka, tindakan kita tersebut dapat mengajari mereka strategi koping yang sehat, yang pada gilirannya dapat memampukan mereka untuk tumbuh sebagai anak yang tangguh.
Orangtua adalah seperti cermin bagi anak mereka. Orangtua perlu mengenali apa saja keunggulan anak-anak mereka, dan mencari kesempatan untuk memuji mereka. Ini akan memberi mereka rasa aman dan menumbuhkan rasa percaya diri pada anak.
Lebih dari itu, kita dapat terus mengingatkan anak-anak kita bahwa mereka adalah anak-anak Allah yang dikasihi, dan apa lagi sumber yang lebih baik untuk menolong anak meyakini hal itu selain dari Firman Allah?
Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku,
menenun aku dalam kandungan ibuku.
Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib;
ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya.
Tulang-tulangku tidak terlindung bagi-Mu,
ketika aku dijadikan di tempat yang tersembunyi,
dan aku direkam di bagian-bagian bumi yang paling bawah;
mata-Mu melihat selagi aku bakal anak,
dan di dalam kitab-Mu semuanya tertulis
hari-hari yang akan dibentuk,
sebelum ada satu pun dari padanya.
-Mazmur 139:13-16
Artikel ini pertama kali diterbitkan di Biblical Wisdom for Parents © Our Daily Bread Ministries dengan judul “When Our Children Face Bullying or Bully Others”
Penerjemah: Rosi Simamora
Penyelaras Bahasa: Marlia Kusuma Dewi
Yuk berjalan berdampingan untuk
Kami akan menampilkan artikel, kesaksian, dan tips-tips parenting setiap minggunya.