Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya. — Amsal 13:24

Orangtua yang baik memerlukan kecerdasan emosi yang tinggi, karena kecerdasan intelektual saja tidak cukup. Berbagai penelitian membuktikan bahwa kecerdasan intelektual umumnya hanya menyumbangkan 20% dari kesuksesan di bidang apa pun, termasuk dalam mendidik anak. Kecerdasan intelektual tidak ada gunanya bila seseorang sedang dikuasai emosi. Emosi menghilangkan akal sehat, tempat berperannya intelektual. Oleh karena itu, orangtua wajib menguasai kecerdasan emosi.

Dalam kitab Amsal 13:24 disebutkan bahwa siapa [orangtua] tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya. Ini bukanlah pola asuh konvensional yang bertentangan dengan pola asuh masa kini yang lebih melibatkan opini dan pendapat anak. Ini juga tidak berbicara tentang “tongkat” yang diartikan secara fisik saja namun juga bisa berupa berbagai bentuk disiplin yang bisa diterapkan kepada anak. Seorang anak bukan saja diberi kebebasan untuk melakukan hal yang diinginkan hatinya, namun perlu ada konsekuensi yang ditanggung sebagai bentuk disiplin atas pilihan mereka yang keliru. Tentunya bentuk disiplin ini diterapkan kepada anak sesuai dengan kemampuan anak dalam menanggungnya. Selain itu, faktor usia turut dipertimbangkan dalam menentukan disiplin yang tepat. Orangtua sendiri perlu mengendalikan diri, sehingga pada saat disiplin diterapkan, dipastikan bahwa itu tidak dilaksanakan saat emosi kita sedang tinggi.

cerdas emosi1

 

Salah satu bentuk kecerdasan emosi adalah kemampuan mengungkapkan perasaan secara proporsional. Kehidupan emosional yang sehat bukan dicapai dengan menekan emosi sepenuhnya, melainkan mengeluarkannya dengan cara yang tepat dan dapat diterima oleh orang lain.

Kehidupan emosional yang sehat bukan dicapai dengan menekan emosi sepenuhnya, melainkan mengeluarkannya dengan cara yang tepat dan dapat diterima oleh orang lain.

Misalnya ketika orangtua marah sekali kepada anak, ia mampu menjelaskan perasaan kesalnya kepada anak dengan cara yang dapat dimengerti anak. Sebagai contoh orangtua mengatakan bahwa, “Papa/Mama kecewa sekali dengan perbuatan kamu. Papa/Mama tidak bisa berpikir dengan baik sekarang. Papa/Mama mau menenangkan diri dulu supaya dapat menentukan konsekuensi yang tepat untuk kamu.”

Kemampuan memotivasi diri adalah bentuk kecerdasan emosi lainnya yang perlu dikuasai orangtua. Motivasi merupakan penggerak perilaku. Dari motivasi, akan muncul perubahan-perubahan positif. Banyak orang memandang motivasi seperti obat sekali makan, yang begitu diminum akan efektif terus untuk selamanya. Kenyataannya tidak demikian. Seseorang bisa saja termotivasi pada saat ini, namun besok atau lusa motivasi tersebut menurun bahkan hilang. Motivasi harus dijaga. Analoginya adalah menjaga kebersihan diri yang perlu dipelihara secara berkala. Sama seperti seseorang yang harus mandi setiap hari untuk menjaga kebersihan, demikian pula ia perlu memotivasi dirinya agar motivasi tersebut tidak kendur. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan membaca tulisan yang memotivasi, mendengar lagu yang memotivasi, menonton film yang memotivasi, merenung secara positif, dan lain sebagainya.

cerdas emosi2

Bentuk kecerdasan emosi lainnya adalah kemampuan mengenali emosi orang lain, khususnya anak. Dalam hal ini yang diperlukan adalah kemampuan untuk berempati, bukan bersimpati. Dengan berempati, seseorang dapat mengerti apa yang dirasakan orang lain, namun tidak ikut terbawa/memikul masalah. Sebaliknya, dengan bersimpati ia dapat merasakan apa yang dirasakan orang Iain dan ikut terbawa/memikul masalah yang dihadapi orang lain tersebut sehingga sulit melepaskannya dari pikiran. Simpati tidak terlalu sehat karena dapat membuat seseorang merasa bersalah bila tidak mampu menolong orang lain. Dalam dunia psikologi, orang yang demikian dikatakan menderita saviour syndrome, sindrom juruselamat. Individu dengan saviour syndrome umumnya ingin dan merasa bertanggung jawab atas kebaikan hampir semua orang yang ia kenal.

Bila diperhatikan, bentuk-bentuk kecerdasan emosi yang perlu dikuasai orangtua, semua bersifat aktif. Wajar saja sebab emosi adalah penggerak. Akar kata emosi berasal dari kata Latin movere yang artinya bergerak. Jelaslah bahwa emosi memang merupakan penggerak. Dibandingkan pikiran, emosi adalah penggerak yang lebih kuat. Oleh karena itu, sangatlah penting bagi orangtua untuk terus berusaha menguasai emosi.

Anak yang dibesarkan oleh orangtua yang pandai mengelola emosi, akan tumbuh menjadi anak-anak yang pandai juga mengelola emosinya.

Caranya dengan meningkatkan kecerdasan emosi sehingga dapat meneladankan hal yang baik kepada anak. Anak yang dibesarkan oleh orangtua yang pandai mengelola emosi, akan tumbuh menjadi anak-anak yang pandai juga mengelola emosinya. Sebaliknya, emosi orangtua yang tidak terkendali, selain akan membuat anak takut dan labil, juga akan mencontohkan cara penyelesaian masalah yang keliru dalam menghadapi berbagai persoalan hidup. Sudah saatnya orangtua lebih meningkatkan kecerdasan emosionalnya sebagai upaya memberikan teladan yang benar bagi anak.

Sejatinya kita memiliki dua kecerdasan, satu yang berpikir, dan satu yang merasa. (Daniel Goleman)

Disadur dari buku “Mendidik Anak dengan Hati”
Jakarta: Yayasan Busur Emas, cetakan pertama 2016.