Menjadi orangtua adalah anugerah dari Tuhan, suatu kepercayaan istimewa untuk membesarkan generasi penerus. Tidak ada buku yang sepenuhnya bisa menjawab kebutuhan orangtua dalam hal mengasuh dan mendidik anak, tetapi ada cara terbaik untuk mempelajarinya, yaitu lewat pengalaman yang dibagikan antar sesama orangtua.

Kita dapat belajar dari sikap seorang ibu terhadap anaknya yang terkasih ketika ia harus menghadapi pergeseran relasi, dari mengasuh anak sejak bayi sampai saatnya merelakan sang anak menjadi pribadi yang tumbuh dewasa untuk memenuhi panggilan ilahi.

Namanya Maria, ibu dari Tuhan kita, Yesus Kristus.

Kita mengenal Maria lewat kisah dramatis di awal Injil Lukas. Wanita muda tersebut sempat ketakutan saat ditemui oleh malaikat Gabriel, tetapi lewat pertemuan itu, Maria menyatakan kesediaannya untuk menjadi ibu dari Sang Mesias. Kita tahu tentang kisah kelahiran Yesus di tengah kondisi yang tidak nyaman dalam kandang binatang di Betlehem. Kita mendengar tentang para gembala dan langit penuh malaikat yang sibuk memberitakan kelahiran Yesus. Mengetahui kejadian-kejadian itu, kita kadang berasumsi bahwa sang wanita yang melahirkan bayi istimewa ke dunia itu pasti akan diberikan pengecualian dari segala penderitaan yang dialami orangtua biasa seperti kita. Namun, Maria mengalami transisi yang lebih sulit daripada yang Anda dan saya hadapi ketika anak-anak kita beranjak dewasa. Ia harus belajar memiliki relasi baru dengan anak-Nya, Yesus—Dia bukan hanya anak yang telah dewasa, tetapi juga Tuhan atas hidupnya. Perannya sebagai seorang ibu harus digeser oleh peran baru sebagai murid Yesus Kristus.

Begitu pentingnya pergeseran peran Maria menjadi seorang murid sehingga keempat penulis Injil memberikan catatan tentang hal itu. Satu insiden khusus yang menyakitkan dituliskan oleh Matius, Markus, dan Lukas. Berikut versi Markus 3:31-35:

Lalu datanglah ibu dan saudara-saudara Yesus. Sementara mereka berdiri di luar, mereka menyuruh orang memanggil Dia. Ada orang banyak duduk mengelilingi Dia, mereka berkata kepada-Nya: “Lihat, ibu dan saudara-saudara-Mu ada di luar, dan berusaha menemui Engkau.” Jawab Yesus kepada mereka: “Siapa ibu-Ku dan siapa saudara-saudara-Ku?” Ia melihat kepada orang orang yang duduk di sekeliling-Nya itu dan berkata: “Ini ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku! Barangsiapa melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku.”

“Siapa ibu-Ku dan siapa saudara-saudara-Ku?” Pertanyaan yang luar biasa! Bagaimana perasaan Maria saat itu—setelah bertahun-tahun mengasihi dan merawat anak laki-lakinya ini, untuk kemudian ditolak seperti ini? Maria sepenuhnya manusia. Ia pasti bergumul dengan rasa malu dari penolakan tersebut.

Jika kita bisa berjalan pulang bersama Maria ke Nazaret setelah perjumpaan yang menyakitkan itu, kita mungkin menemukan Maria menutup matanya dan menggelengkan kepalanya seolah ingin menghapuskan kenyataan baru ini. Anak laki-laki yang istimewa itu akan menjadi besar dan disebut Anak Allah yang Maha tinggi, yang akan menduduki takhta bapa leluhurnya Daud—tetapi tentulah Dia tidak akan menolak ibunya sendiri!

Jika ada orang yang bisa menegaskan haknya atas diri Yesus, Marialah orangnya! Yang sulit dari pengalaman Maria adalah ketika ia harus melepaskan hubungan istimewanya dengan Yesus sebagai seorang ibu dan mulai menjalin relasi dengan Yesus sebagai keluarga rohani melalui ketaatan kepada Allah.

Semua pergulatan batin Maria itu akhirnya terjawab saat ia berdiri di depan salib Yesus. Dengan hati yang diliputi duka, Maria mendengar Yesus berbicara kepadanya dari atas salib. Suara-Nya lirih, “Ibu, inilah, anakmu!” Lalu kepada Yohanes, murid-Nya, Dia berkata, “Inilah ibumu!” (Yohanes 19:26-27). Tidak lama kemudian, Yesus berteriak, “Sudah selesai!” dan Dia pun pergi meninggalkan Maria, kembali pada Bapa-Nya di surga.

Dalam momen-momen terakhir sebelum kematian Yesus, Maria dilingkupi hangatnya kasih sang anak untuk menghadapi kekelaman hidup yang dihadapinya. Pada momen ia kehilangan anaknya, ia mendapatkan keluarga baru. Yohanes, murid kesayangan Yesus, menerima Maria ke dalam rumahnya untuk menghibur dan merawatnya.

“Siapa ibu-Ku? . . . Barangsiapa melakukan kehendak Allah, . . . dialah ibu-Ku.” Maria tentu didera pergulatan emosi selama pelayanan Yesus di bumi, dengan terjepit di antara ikatan sebagai keluarga jasmani dan hubungan di dalam keluarga rohani. Kini di bawah kaki salib, kedua hubungan tersebut dipersatukan. Anugerah Yesus kepada Maria dalam momen-momen terakhir sebelum kematian-Nya datang dalam bentuk pemulihan peran Maria sebagai ibu dalam konteks yang baru.

Hati seorang ibu pasti menginginkan kehidupan yang terbaik bagi anak-anaknya. Memang tidak mudah melepaskan mereka bercucuran keringat, berlelah-lelah, belajar berjam-jam demi menggapai cita-cita mereka. Tidak mudah bagi seorang ibu untuk merelakan “bayi kesayangan” mereka mengalami jatuh bangun menuju kedewasaannya. Namun, ini adalah proses yang tidak bisa dihindari. Melihat Maria belajar melepaskan Yesus menunaikan misi penyelamatan dunia, kiranya kita juga termotivasi untuk merelakan anak kita bertumbuh dewasa dengan segala suka-duka yang akan mereka alami kelak.

 

Disadur dari buku: Wanita yang Dibimbing Yesus – Teladan bijak dari para wanita Perjanjian Baru, karangan Alice Mathews, halaman 25-31. Diterbitkan oleh PT Duta Harapan Dunia, cetakan pertama. Oktober 2013.