Layar ponselku berpendar lembut, menampilkan wajah Lina yang tersenyum malu-malu. Matanya berbinar, tapi ada rasa ingin tahu yang dalam di sana. Di belakangnya, samar-samar terlihat dinding rumah tua yang sudah belasan tahun menjadi saksi kehidupan kami.

“Beritahu dong…” suaranya lirih, bibirnya bergerak perlahan. Meski ia tuna rungu, gerak bibirnya begitu jelas hingga aku paham setiap kata. “Kenapa Tuhan Yesus harus naik ke surga?”

Pertanyaan itu menghentak hatiku. Sekilas aku terdiam, menatap wajah adikku yang kini sudah dewasa tapi tetap memiliki sorot mata seperti anak kecil yang mencari jawaban. Aku tersenyum, menahan haru, lalu berkata lembut,

“Lin, ada tiga alasan Yesus naik ke surga. Pertama, supaya Dia bisa menyiapkan rumah untuk kita, untuk kamu, dan semua orang yang percaya dan yang telah menerima Yesus di dalam hati mereka.”

“Aku udah punya Yesus di hati,” jawab Lina cepat sembari telunjuk lentiknya menunjuk ke dadanya.

Aku segera menjawab, “Nah… itu artinya nanti kamu punya rumah di surga. Tuhan Yesus sudah siapin tempat itu buat kamu, seperti yang dijanjikan oleh Tuhan Yesus di Yohanes 14:1-3 (TB), Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku. Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu. Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamu pun berada.'”

Wajah Lina berubah cerah, senyum kecil tersungging dari bibirnya, membuatku ingin sekali memeluknya. Sayangnya, kami terpisah jarak hampir 1.000 kilometer. Lalu, aku mengangkat dua jari. “Kedua… Yesus harus naik ke surga, supaya Roh Kudus turun ke bumi. Bergantian, seperti ini. (Tanganku bergerak naik turun, memastikan Lina menangkap maksudku). Yesus naik, Roh Kudus turun.”

Lina menatapku serius, seperti ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, dan benar, karena akhirnya dia berkata, “Tapi… aku masih sering berbuat salah, Kak. Masih sering berdosa. Apakah aku bisa masuk surga?”

Dadaku terasa sesak. Tapi yang bisa kulakukan hanyalah tersenyum di layar kecil itu. “Iya, Lin. Kita semua juga begitu. Makanya ada alasan ketiga. Roh Kudus datang untuk menolong kita supaya kita nggak terus-terusan jatuh dalam dosa. Kalau kamu berdosa, kamu bisa minta ampun pada Tuhan, maka Dia pasti mengampunimu.”

Lina mengangguk perlahan, “Aku mengerti… Kak.”

“Sekarang coba ulangi, ya. Kenapa Tuhan Yesus naik ke surga?” tanyaku menyelidik.

Matanya berbinar lagi. Dengan semangat, ia mengulang tiga alasan itu—kata-katanya kadang terbata-bata, campuran bahasa bibir, gerakan tangan, dan huruf-huruf isyarat. Aku menatapnya kagum. Adikku yang sejak lahir hidup dalam keheningan ini, kini sedang berkata-kata tentang Tuhan dan hidup yang kekal.

Suatu pikiran sontak menyelinap dari balik rasa kagumku. Aku menarik napas panjang dan berkatah, “Lin… kalau suatu hari nanti terjadi sesuatu yang buruk… misalnya kamu sakit, koma, atau nggak bisa melihat wajah kami … tetaplah tenang. Ingat ini ya. Tuhan selalu ada untukmu. Kalau Dia memanggilmu pulang, jangan takut. Ada rumah di surga untukmu. Namamu tertulis di Kitab Kehidupan. Tuhan akan mengingatmu… dan menjemputmu.”

Lina terdiam. Senyumnya memudar, berganti tatapan dalam yang membuatku ingin menangis membayangkan kalau saat-sat seperti itu ebnar-benar tiba. Layar ponsel terasa terlalu tipis untuk menahan air mata yang menggenang di mataku. Aku tahu, aku harus memastikan imannya teguh. Aku ingin ia hidup bukan hanya untuk hari ini, tapi untuk kekekalan.

Bayi dalam Sunyi

Aku masih ingat hari ketika Lina lahir. Sebagai anak ketiga yang selalu dipanggil adik oleh dua kakakku, aku begitu bahagia. “Yay! Aku punya adik!” pikirku. Sejak hari itu aku resmi menjadi seorang kakak. Namun, kebahagiaan itu belum kurasakan sepenuhnya karena setelah lahir, Lina tidak langsung dibawa pulang. Tubuh mungilnya begitu rentan sehingga dokter memutuskan untuk menaruh Lina di dalam inkubator selama berhari-hari. Dari balik kaca rumah sakit, aku menatap tubuhnya yang kecil, kulitnya yang pucat, dan matanya yang terpejam tenang. Aku menempelkan telapak tangan mungilku di kaca, berharap bisa menyentuhnya.

“Kenapa Adik nggak boleh pulang?” tanyaku dengan polos. “Adik masih perlu dijaga di rumah sakit, Nak,” jawab Ibu lembut, meski mata beliau sembab menahan lelah.

Hari-hari itu terasa panjang. Hingga akhirnya, beberapa hari kemudian, Lina dibawa pulang. Aku meloncat-loncat kegirangan. Namun, rupanya ini hanya awal dari perjalanan panjang. Berbulan-bulan kemudian, kami menyadari bahwa tubuh Lina sering panas mendadak. Aku masih ingat saat itu terjadi, Ibu akan segera menaruh tubuh Lina yang kejang di atas ranjang, Wajahnya tegang, tetapi tenang, seperti saat ia masih bekerja sebagai perawat dulu. Dengan terampil beliau mengambil kapas yang dibasahi alkohol lalu ditempatkan di lipatan tubuh mungil Lina yang banyak dilalui pembuluh darah besar, seperti lipatan ketiak, atau lipatan pangkal paha untuk menurunkan panas. Ia juga mengambil handuk kecil, merendamnya dalam air, lalu mengompres dahi Lina. Aku berdiri terpaku di pintu, jantungku berdegup kencang. Meski aku tak mengerti semua yang terjadi, hati kecilku berbisik lirih, “Tuhan, tolong adikku.”

Bulan demi bulan berlalu, Lina terus bertahan. Kemudian, kami mulai menyadari sesuatu yang berbeda. Saat usianya melewati satu tahun, ia tak pernah menoleh ketika dipanggil. Berulangkali ibu dan kami, kakak-kakaknya, memanggil namanya dengan suara keras, kadang pelan, bahkan berbisik dekat telinganya—tetapi, Lina hanya duduk diam.

Hari itu, orang tua kami membawanya ke dokter. Saat Ibu kembali ke rumah, ia menjelaskan kata-kata dokter kepada kami bahwa gendang telinga Lina rusak total. Dia tidak bisa mendengar suara apa pun, dia hanya bisa merasakan getaran.

Kata-kata itu menggema seperti petir di tengah kesunyian. Ibu terdiam, matanya berkaca-kaca. Ayah menunduk dalam, wajahnya tegang menahan rasa sakit. Aku hanya mampu menatap Lina yang sedang tersenyum polos di pangkuan Ibu, tak tahu bahwa dunia di sekelilingnya penuh suara yang tak akan pernah ia dengar.

Hari itu aku belajar arti kata “hening”. Lina lahir ke dunia yang terasa sunyi baginya. Rumah kami tetap riuh dengan canda tawa, suara tape yang memutar lagu-lagu Jawa, pop, dangdut, dan dentingan sendok beradu di dapur, tapi semua itu tak pernah sampai ke telinga Lina.

Di tengah kondisi yang tidak biasa itu, kami tahu satu hal: kami tak boleh menyerah. Ibu dan Ayah berjanji akan melakukan apa pun untuk menolong Lina mengenal dunia, mengenal keluarga, dan kelak mengenal Tuhan yang menciptakannya.

Komunikasi di rumah masih terbatas. Bertahun-tahun, kami hanya mengandalkan gerakan tangan dan tatapan mata. Ibu selalu berkata dengan sabar, “Suatu hari nanti, dia akan dapat memanggilku ‘Ibu’. Kita hanya harus menunggu dan terus berdoa.”

Beranjak dari Penjara Sunyi

Tahun-tahun berlalu, Lina mulai masuk sekolah di SLB bagian B—sekolah khusus tunarungu-wicara. Di sana ia belajar bahasa isyarat, membaca gerakan bibir.

Hingga pada suatu sore yang tak akan pernah kulupakan…

Langit mulai meremang jingga, cahaya matahari masuk lewat jendela ruang tamu. Lina berdiri di tengah ruangan, bibir mungilnya bergerak-gerak. Ibu duduk di kursi rotan, menatapnya dengan tatapan lembut.

Tiba-tiba, suara serak namun jelas terdengar, memecah kesunyian rumah kami.

“I… bu…”

Suara itu pelan, seperti bisikan yang tersesat di tengah angin, tapi bagi kami, itu terdengar seperti lonceng surga berdentang. Ibu spontan menutup mulutnya dengan kedua tangan. Matanya membelalak, air mata pun mengalir. Aku berdiri terpaku, dadaku bergemuruh hebat.

“I… bu…” Lina mengulang lagi, kali ini lebih jelas.

Aku berlari menghampiri mereka. “Ibu! Dia bilang ‘Ibu’!” seruku.

Ibu bangkit, memeluk tubuh mungil itu erat-erat, menangis sambil berulang kali berkata, “Terima kasih, Tuhan… terima kasih…”

Setelah sekian lama kami hanya melihatnya menirukan gerakan bibir orang meniup setiap kali ingin memanggil Ibu. Tapi hari itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Lina mengucapkan kata itu dengan suaranya sendiri.

Rumah kami yang selama ini dipenuhi keheningan, untuk sesaat dipenuhi dengan tangis sukacita. Tangis yang bukan karena sedih, tapi karena kami menyaksikan mukjizat kecil, bukti bahwa Tuhan mendengar doa, yang bahkan tak terucap dari bibir kami.

Tahun demi tahun berlalu. Lina beranjak remaja. Ia semakin mandiri, belajar menjahit, berangkat ke sekolah di luar kota, naik bus dengan berani. Aku senang melihat kemandirian adikku ini. Di lubuk hatiku yang terdalam, aku terus merindukan satu hal, yaitu agar ia mengenal Tuhan lebih dalam. Jadi sebelum pergi merantau, aku memutuskan untuk berbicara dengan Lina secara pribadi. Aku memanggilnya ke kamar. Matahari sore menembus jendela, menciptakan garis-garis cahaya hangat di dinding. Aku menatapnya lama, hatiku berdebar.

“Lin…” kataku perlahan. “Kamu tahu kan bahwa Tuhan Yesus adalah pemilik surga. Ia ingin memberikan surga itu untukmu. Mengundangmu masuk ke dalamnya. Tapi, Dia adalah Allah yang kudus yang tidak bisa mentolerir dosa. Kamu dan saya pernah berdosa dan masih melakukan perbuatan-perbuatan yang menyakiti hati Tuhan. Dalam keadaan berdosa seperti ini kita tidak bisa masuk surga. Kita perlu Tuhan Yesus masuk di dalam hati kita dan bertahta atas kita sehingga kita ditolong untuk tidak terus-terusan berdosa. Ayo kita minta ampun atas segala dosa kita dan mengundang Yesus untuk tinggal di hati kita; di hatimu dan menjadi Tuhan dan Juruselamat pribadimu.”

Ia terdiam sebentar, lalu bibirnya membentuk kata yang tegas, “Mau!”. Kami pun berdoa bersama.

Sejak hari itu, sesuatu berubah dalam diri Lina. Ia mulai rajin membaca Alkitab setiap pagi, matanya bergerak cepat mengikuti kata-kata yang dulu asing baginya. Ia membaca buku-buku rohani, bertanya banyak hal tentang Tuhan dengan bahasa isyarat yang kadang membuatku kewalahan menjawabnya.

Imannya mulai bertumbuh. Tidak cepat, tidak spektakuler. Tapi setiap kali aku pulang, aku melihat secercah cahaya baru di matanya—cahaya yang hanya bisa datang dari seseorang yang mengenal Yesus secara pribadi.

Kini, sudah lebih dari 20 tahun aku tinggal jauh dari rumah. Setiap kali berbicara lewat udara, aku merasakan satu hal: Lina tidak lagi sama. Anak yang dulu hidup dalam sunyi, kini menjadi perempuan dewasa dengan hati yang teguh.

Lina tetap tinggal bersama orangtua kami dengan keadaan di rumah yang tidaklah mudah. Orang tua kami yang kini berusia lebih dari 80 tahun memerlukan perhatian lebih. Kakak kami yang terkena diabetes harus bolak-balik kontrol ke dokter. Aku dan kakak sulungku tinggal jauh di luar kota.

Aku bersyukur, dengan kemajuan teknologi yang semakin cepat, Lina dapat memahami berita dunia, film dan drama Korea favoritnya. Dengan membaca subtitel terjemahan, aku sering tersenyum sendiri melihat bagaimana Tuhan membuka dunia yang dulu tertutup rapat baginya. Pada akhirnya, kami mengajari dia aplikasi-aplikasi yang bisa mempermudah untuk berbelanja. Semua itu memampukan Lina membantu mengatur pembelian barang-barang kebutuhan rumah, memesan taksi online, dan menjaga keseharian orang-orang yang ia cintai.

Bagaimana mungkin seorang anak yang dulu tak mendengar suara dunia, justru menjadi suara berkat bagi keluarga? Aku tahu jawabannya: Roh Kuduslah yang memampukan.

Hari itu, kami kembali terhubung lewat layar ponsel, berbicara tentang kenaikan Yesus ke surga. Setelah ia mengulanginya dengan semangat, aku berkata, “Lin, sekarang coba kamu sampaikan ini ke Ibu dan Kakak, ya. Jadi duta kabar baik untuk mereka.” Tanpa ragu, Lina mengangguk mantap.

Aku menatap layar ponsel sekali lagi, melihat Lina tersenyum. Hening yang dulu mengurungnya tak lagi menjadi penjara. Dalam keheningan itu, ia menemukan “suara” Tuhan. Dalam keterbatasannya, ia justru mengenal kasih Yesus yang tanpa batas.

Akhirnya aku mengerti satu hal dan aku ingin banyak orangtua mengerti hal ini yaitu: Mengenalkan anak pada Tuhan sejak dini adalah warisan terbesar yang bisa kita berikan. Sekalipun ada keterbatasan, bahkan saat kata-kata kita terasa tak cukup, Roh Kudus akan bekerja. Firman itu akan bertumbuh dan menyelamatkan mereka, membawa mereka bukan hanya hidup untuk hari ini saja, tetapi hidup dalam kekekalan.

Untuk setiap orang tua yang mungkin sedang bergumul dengan anak-anak luar biasa, yang khusus, yang spesial, jangan menyerah. Kenali bahasa kasih mereka, dan yang terpenting adalah kenalkan mereka pada Tuhan Yesus. Karena ada tertulis, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.”, Kisah Para Rasul 4:12 (TB).

Ajak mereka menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi. Karena hidup mereka tidak berhenti di dunia ini saja, tetapi juga berlanjut dalam surga yang mulia, di mana setiap nama mereka yang percaya akan diingat selamanya.

Yuk, berjalan berdampingan untuk

menjadi orang tua sebaik yang kita bisa.

Klik untuk SUBSCRIBE