Suatu hari, saya pernah bertanya kepada anak-anak didik saya: “Siapa yang tahu Papa-Mama sayang kalian?” Semua anak mengangkat tangan. Mereka tahu orangtua mereka menyayangi mereka.
Kemudian saya bertanya lagi, “Siapa yang merasa disayang oleh Mama dan Papa?” Satu, dua… hanya tiga anak yang mengangkat tangan!
Tentu saja saya terkejut dan bertanya: Mengapa ini terjadi? Di manakah letak masalahnya? Mengapa anak-anak ini tahu bahwa orangtua menyayangi mereka, tetapi tidak dapat merasakan kasih sayang itu? Apakah ada yang tidak tepat dalam cara orangtua mengkomunikasikan kasih sayang mereka kepada anak?
Komunikasi yang hangat antara orangtua dan anak dipercaya dapat menciptakan relasi yang dekat. Sebaliknya, relasi yang kuat antara orangtua dan anak pastinya mampu mendatangkan penyembuhan yang memungkinkan terciptanya komunikasi yang sehat. Dari sini kita dapat melihat bahwa komunikasi dan relasi itu saling berhubungan dan mempengaruhi.
Presence vs presents
Maka tidaklah heran jika ada pernyataan seperti ini: “Your children need your presence more than your presents.” Putra-putri Anda membutuhkan kehadiran Anda lebih daripada hadiah-hadiah yang Anda berikan untuk mereka, karena tidak ada satu pun dari hadiah-hadiah Anda yang dapat menggantikan kehadiran Anda bagi mereka.
Banyak orangtua sekarang yang disibukkan oleh karier dan ambisi pribadi, lupa bahwa prioritas utama mereka adalah hadir dalam kehidupan anak-anak mereka, mendidik anak-anak mereka, mengenal dan menjalin relasi yang kuat dengan anak-anak mereka.
Banyak orangtua yang sering kali mengaku tidak punya waktu dan energi untuk anak-anak, lalu mencoba menebusnya dengan cara membanjiri anak-anak dengan hadiah-hadiah, berharap itu cukup untuk menunjukkan kepada mereka bahwa Papa dan Mama menyayangi mereka.
“Papa dan Mama sayang kamu ya, Nak,” begitulah orangtua berulang kali berkata kepada anak-anak mereka. Sayangnya, pernyataan sayang dan hadiah-hadiah tidak pernah bisa membuat anak-anak merasa disayang, seberapa sering atau seberapa banyak pun mereka mendapatkannya. Benar, anak-anak tahu Papa dan Mama menyayangi mereka, tapi… mereka tidak merasakan kasih sayang itu. Mengenaskan, bukan?
Orangtua yang memilih fokus pada pekerjaan dan kesibukannya sendiri sekarang dan bukannya memprioritaskan anak-anak mereka, akan jauh lebih disibukkan dan terkuras baik fisik maupun mentalnya ketika anak-anak tumbuh besar menjadi anak-anak bermasalah.
Pilihannya ada di tangan orangtua: apakah kita mau bekerja keras dalam peran kita sebagai orangtua sekarang, ataukah kita akan terpaksa bekerja jauh lebih keras jika terus menunda-nunda hingga nanti setelah anak-anak sudah besar.
Lebih baik kita bekerja keras sekarang juga, bukan? Seperti ada ungkapan yang mengatakan “Berakit-rakit dahulu, berenang-renang kemudian” yang artinya bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Maka dalam konteks pengasuhan, orangtua dapat berkata bahwa lebih baik bersusah-susah sekarang sehingga nanti tidak perlu menangis dan menyesal, daripada sekarang menunda-nunda tetapi nantinya malah menangis dan menyesal. Percayalah, lebih baik kita berlelah-lelah sekarang daripada nanti. Lelah yang kita tunda-tunda itu kelak akan jauh lebih berat, jauh lebih merepotkan, jauh lebih menguras energi dan air mata, karena lebih mudah mengoreksi dan mendidik anak sejak mereka kecil daripada menunda hingga mereka telanjur dewasa.
Orangtua yang baik adalah orangtua yang mau terus belajar membaca dan menerima perubahan. Anak-anak terus bertambah besar, maka orangtua pun perlu terus bertumbuh agar tidak ketinggalan dalam mengikuti perkembangan anak dan memenuhi kebutuhan mereka. Bersama dengan bertambahnya usia anak, maka relasinya dengan orangtua juga sedikit demi sedikit akan mengalami perubahan. Dengan begitu, cara orangtua berkomunikasi dengan anak pun akan berubah. Jika orangtua tidak bersedia menerima perkembangan anak dan bersikeras memakai mindset yang lama, maka relasi antara orangtua dan anak akan mengalami tantangan.
4 pengingat yang dapat mengubah mindset orangtua
“Our past can never be their present.” Masa lalu orangtua tidak pernah bisa menjadi masa sekarang anak-anak. Sebagai orangtua, hendaknya kita ingat bahwa masa lalu kita berada di abad ke-20, berbeda abad dengan anak-anak kita sekarang. Ibaratnya kalau dulu kita menggunakan mesin tik, anak-anak kita sekarang sudah menggunakan perangkat berteknologi tinggi yang tidak perlu dipencet dan ditekan, hanya perlu digeser atau disentuh. Namun, berbeda dengan mesin tik yang jika jatuh masih bisa diperbaiki, perangkat zaman sekarang sekali terjatuh bisa rusak. Jadi, ada perbedaan yang besar sekali antara orangtua dan anak, yang membuat keduanya tidak dapat dibandingkan.
“Your kids aren’t kids anymore.” Kita perlu lincah dalam menyesuaikan pola asuh dengan usia anak. Kita perlu menyadari bahwa anak remaja kita membutuhkan orangtua yang dapat sekaligus berperan sebagai mentor dan sahabat. Semakin besar anak kita, semakin kita perlu sedikit demi sedikit melonggarkan genggaman kita terhadap mereka dan ganti menuntun mereka. Kita perlu belajar mendengarkan dan membantu mereka menghadapi berbagai perubahan yang muncul di usia remaja. Kita perlu mempercayai dan menghargai keputusan dan pilihan mereka, bukannya memaksakan pendapat dan keinginan kita begitu saja.
Sebagai orangtua, kita perlu selalu berdoa kepada Tuhan untuk memohon hikmat dan kepekaan dalam membimbing setiap anak menurut kebutuhan mereka masing-masing. Kita juga perlu memohon kepada Tuhan agar kita selalu diingatkan untuk tidak membanding-bandingkan anak-anak kita maupun bersikap pilih kasih.
“I am right, you are wrong!” Orangtua tidak bisa berkata: “Pokoknya Mama/Papa benar, dan kamu salah!” Orangtua tidak bisa ngotot seperti ini. Anak remaja kita juga ingin dan butuh didengarkan. Mereka tidak mau dibodohi, dihakimi, atau disalahkan begitu saja. Mereka ingin dituntun, bukan dituntut. Dituntun, bukan dicengkeram. Bukan pula diseret, tetapi diajak melangkah beriringan dengan orangtua, bekerja sama, berkomunikasi, berelasi. Dengan begitu, anak-anak akan merasa nyaman dan aman serta mau terbuka kepada orangtua. Atau dengan kata lain, anak kita tidak sekadar tahu bahwa kita mengasihi mereka, tetapi juga dapat merasakan kasih sayang kita.
“Coaching is not babysitting.” Pada saat anak-anak memasuki usia remaja, kita perlu mendampingi mereka sebagai coach atau mentor. Tugas orangtua memang tidak pernah selesai. Secara status kita tetap menjadi orangtua, tetapi secara fungsi, secara peran, kita harus dapat berubah menjadi sahabat dan mentor bagi anak-anak kita yang semakin dewasa.
Memenangkan hati anak dengan mengalah
Kita tidak dapat menuntut remaja kita untuk berubah tanpa kita lebih dulu berubah. Caranya adalah dengan melibatkan Tuhan, satu-satunya Pribadi yang dapat mengubah segalanya, termasuk kita dan remaja kita. Tuhan dapat mengubah anak-anak dengan cara mengubah orangtua lebih dulu. Perubahan yang anak-anak lihat pada diri orangtua, akan mendorong mereka untuk ikut berubah.
Seperti semua manusia, orangtua juga tidak luput dari kegagalan, tetapi kita tidak perlu merasa minder atau terus bersimbah perasaan bersalah. Berhentilah menyalahkan diri sendiri atas kegagalan kita sebagai orangtua. Rasa bersalah yang terus dipelihara akan membuat kita mencari orang lain yang dapat disalahkan untuk dijadikan kambing hitam. Oleh karena itu, kita perlu mengoreksi diri dengan cara berhenti terus menyalahkan diri. Kita harus dapat mengampuni, termasuk mengampuni diri sendiri. Jika kita sudah dapat mengampuni diri sendiri maka kita pun dapat mengampuni anak-anak kita dan menerima kegagalan mereka dengan besar hati.
Mari kita bersama-sama berusaha memenangkan hati anak-anak kita bukan dengan kekuatan sendiri, melainkan dengan mendeklarasikan dan mendemonstrasikan kasih Allah Bapa terlebih dulu kepada mereka.
Kristus datang dari surga yang mulia dan turun ke dalam dunia bukan sebagai raja tetapi menjadi sama seperti manusia. Dia-lah yang berinisiatif menghampiri kita. Bahkan, Dia menjadi seperti hamba dan rela merendahkan diri-Nya dengan mati di kayu salib. Dia lahir di antara hewan dan mati di antara penjahat.
Kadang-kadang, ketika berkonflik dengan anak remaja kita, ego orangtua berkata, “Seharusnya anak dong yang datang meminta maaf. Anak yang salah kok, kenapa kita yang harus berinisiatif meminta maaf kepadanya?” Ketika merasa seperti ini, orangtua perlu merenung: betul, anak bersalah, tetapi kalaupun demikian, bukankah kita punya andil juga di dalamnya? Paling tidak, mungkin kita kurang mendidiknya dengan baik, atau kita kurang menyediakan waktu kebersamaan dengan anak.
Orangtua dapat menangkan hati anak dengan mengalah. Tidak perlu ngotot mencari siapa yang benar atau yang salah, melainkan kuasai diri kita dan mundurlah. Dengan mengalah maka orangtua akan mendapatkan cinta anak, hatinya, rasa hormat darinya. Dengan mengalah, maka ketika orangtua berbicara, anak mau mendengarkan. Ketika anak merasa disayang oleh orangtuanya, merasa dihargai, diakui, maka dia juga akan sungkan untuk menyakiti hati orangtua.
Memenangkan hati anak dengan menyatakan kasih Allah Bapa kepada anak
Jika Kristus saja berinkarnasi, mengosongkan Diri dan masuk ke dalam dunia, maka mengikuti teladan-Nya, orangtua juga perlu mengosongkan diri, merendahkan diri. Namun, bagaimana kalau kita khawatir bahwa nanti anak remaja kita justru menjadi besar kepala karena kita mengalah kepada mereka? Percayalah, seharusnya ketika hati anak disentuh, dia tidak menjadi sombong. Ketika hatinya disentuh, justru anak akan merasakan itu sebagai anugerah.
Yuk berjalan berdampingan untuk
Menjadi Orangtua Sebaik yang Kita Bisa.
Kami akan menampilkan artikel, kesaksian, dan tips-tips parenting setiap minggunya.