Nasihat untuk Diriku di Usia 30 Tahun

Apa yang akan saya sampaikan kepada diri saya yang lebih muda tentang menjadi orangtua?

Diundang untuk menulis sebuah artikel berdasarkan pertanyaan tersebut, adalah seperti mendapat tawaran perawatan gigi secara cuma-cuma. Meski senang dengan tawaran ini, tindakannya sendiri melibatkan pengeboran dan sering kali rasa sakit. Namun, saat mendengar bor itu mulai berputar, beberapa tema muncul di benak saya yang sepertinya bermanfaat untuk dibagikan.

Saat menjadi orangtua, Anda tidak hanya akan menunjukkan kekuatan, tetapi juga kelemahan Anda. Tidak sedikit orang tua menganggap pengasuhan anak adalah pentas untuk menunjukkan kesetiaan dan kebijaksanaan mereka, bahkan validasi dari Tuhan atas pola asuh yang mereka pilih. Begitulah yang saya bayangkan. Menurut saya, parenting sedang mengalami kemunduran yang cukup serius dan membutuhkan energi baru—tekad yang inovatif dari generasi berikutnya. Bayangan saya, menjadi orangtua adalah kesempatan emas untuk menunjukkan kekuatan saya.

Atau, begitulah yang saya kira.

Betapa saya telah tertipu. Menjadi orangtua mengungkapkan setiap kelemahan rohani dalam jiwa saya, pernikahan saya, dan keluarga saya. Menjadi orangtua bahkan menciptakan beberapa kelemahan baru, membuat saya mengenal arti keputusasaan, menggoda saya dengan rasa takut, dan membuat saya terbangun di malam-malam gelap yang tak terhitung jumlahnya.

Saya tidak menyadari bahwa saat seorang anak “tampaknya” tidak juga mengalami kemajuan, ketika itulah orangtua benar-benar berjumpa dengan Tuhan. Kita berdoa, “Tuhan, bereskanlah mereka!” Dan Allah berbisik, “Ya, Dave, mereka ada dalam daftar-Ku. Tapi pertama-tama, mari kita bicarakan tentang dirimu.” Menjadi orangtua tidak menunjukkan kekuatan saya; hal itu justru mengungkapkan keterbatasan saya. Pengalaman ini menyingkapkan banyak kesempatan ketika saya lebih mempercayai diri sendiri dan kepemimpinan saya, daripada mempercayakannya kepada Tuhan.

Hingga akhirnya, hal itu membuat saya terpukul dan mengungkapkan ketidakpercayaan diri saya. Namun, kelemahan tersebut membawa saya kepada Yesus, dan dalam keputusasaan, saya dapat melihat bahwa Dia memiliki rencana untuk anak-anak saya dan kuasa-Nya tersedia bagi diri saya (2 Korintus 12:9).

Hai, para orangtua, pertimbangkanlah hal ini: Begitu penting kelemahan bagi Allah sehingga Dia akan mengambil pengalaman duniawi terbaik—hal-hal yang membuat kita bahagia (2 Korintus 12:7) seperti pernikahan dan menjadi orang tua—dan memakainya untuk menunjukkan kelemahan orangtua, supaya kuasa-Nya dapat dinyatakan.

Tantangan terbesar Anda adalah memperjuangkan keyakinan Anda sendiri.

Seiring bertambahnya usia anak Anda, preferensi mereka akan berubah, gaya mereka berubah, dan kecenderungan mereka pun berubah. Bagian dari tumbuh besar adalah kemampuan untuk memutuskan apa yang tidak disukai atau yakini sehingga kita dapat mencapai apa yang kita inginkan. Hal ini wajar dan baik, tapi terkadang sebagai seorang ayah, saya bingung dibuatnya.

Saat salah satu anak saya meyakini sesuatu, pola asuh saya pun ikut terguncang. Dan tidak selalu mudah untuk mempertahankan pendirian saya, untuk tahu bagaimana menyikapinya. Kebimbangan tersebut mengakibatkan tekanan yang tak terduga dalam diri saya, yang tentunya akan berdampak juga pada diri anak-anak saya.

Masalah saya bukan pada anak-anak; melainkan pada iman saya. Sikap tidak percaya memusatkan iman kita di tempat yang salah. Kita tidak lagi melihat anugerah Tuhan dalam hidup kita, dan hanya fokus pada tindakan kita sendiri. Kita terus mengawasi anak-anak kita, mencari tanda-tanda terkecil dari perubahan yang positif. Kita mencemaskan semua hal, dan bukannya mempercayai janji-janji Allah. Kita menjadi orang yang berpusat pada kondisi dan bukannya berpusat pada Allah. Pada saat seperti ini, teladan Abraham mungkin dapat menolong kita.

Sewaktu menantikan kelahiran Ishak, Abraham “diperkuat dalam imannya dan ia memuliakan Allah, dengan penuh keyakinan, bahwa Allah berkuasa untuk melaksanakan apa yang telah Ia janjikan” (Roma 4:20-21). Selama bertahun-tahun ayat ini sangat memikat saya. Abraham terus mempercayai Allah meskipun kondisinya belum berubah. Kebiasaan yang terus ia kembangkan adalah memuliakan Allah meski di tengah-tengah kekeringan kondisinya.

Charles Spurgeon pernah berkata, “Iman yang heroik mempercayai Kristus di tengah ribuan kontradiksi.” Saya menduga beliau sedang membicarakan tentang membesarkan anak. Iman sangat penting ketika pertumbuhan anak-anak kita terasa lambat atau mungkin tidak terlihat. Iman terus bertumbuh meskipun tanah sepertinya tandus.

Respons Abraham adalah terus bertumbuh kuat dalam imannya karena “ia memuliakan Tuhan.” Iman Abraham tidak ditentukan oleh keadaan. Ia mempercayai janji Tuhan. Selama dua puluh lima tahun, keadaan Abraham tidak berubah, tetapi di tengah pencobaan itu, imannya berubah.

Menikmati hubungan dengan anak-anak kita, akan membentuk persepsi mereka tentang pola asuh kita.

Awalnya, saya tidak paham. Saya mengira kami berhasil menangani sebagian besar tanggung jawab utama sebagai orangtua, meskipun tidak selalu menikmati prosesnya.

Saya tidak akan pernah melupakan perasaan saya ketika salah satu anak laki-laki saya terkejut saat saya berkata padanya, bahwa saya sangat senang menghabiskan waktu bersamanya. Rupanya apa yang saya rasakan, belum tentu sama dengan apa yang dialaminya. Bukan momen yang baik untuk seorang ayah.

Sejak itu, setiap ada kesempatan mendorong seorang pendeta muda untuk menyayangi anaknya dengan baik, saya sering berkata agar ia mengatur waktunya, kehidupannya, dan liburannya supaya anak-anaknya dapat tumbuh besar dengan berpikir, Ayah selalu senang menghabiskan waktu bersama saya. Bergembiralah dengan anak-anak Anda seperti yang dilakukan Bapa ketika Dia berkata, “Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan” (Matius 3:17).

Beberapa orang Kristen suka mengkritik dengan pedas atas pilihan yang dibuat orangtua maupun anak-anak.

Dalam Yohanes 9, Yesus berjalan melewati seorang yang buta sejak lahir. Murid-murid-Nya bertanya, “Guru, kira-kira siapa yang berbuat dosa sampai dia dilahirkan buta?” (Yohanes 9:1-2). Para pengikut Yesus menafsirkan penderitaan anak yang buta itu dengan standar yang sama dengan yang sering kita gunakan untuk anak-anak yang tidak percaya, nakal, atau pemberontak di dalam gereja. Kita berpikir bahwa anak-anak ini menyingkapkan kelemahan orangtua.

Yang terburuk, hal ini menjadi suatu bentuk determinisme Injil—keyakinan yang tidak ada hubungannya dengan Tuhan, percaya bahwa perilaku dan masa depan rohani anak-anak hanya berdasarkan teladan orangtua yang setia. Jika seorang remaja sedang bergumul, orangtua diyakini menuai apa yang telah ditabur.

Sisi lain dari hal tersebut juga sama berbahayanya. Yaitu mengasumsikan bahwa jika anak-anak kita baik-baik saja, itu karena pola asuh kita yang baik. Puji syukur karena Tuhan Yesus lantas menjawab pertanyaan murid-murid-Nya itu demikian: “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia” (Yohanes 9:3).

Orang Kristen sangat rentan terhadap cara berpikir seperti ini. Kalau saja saya mengetahuinya saat masih menjadi orangtua muda dulu. Dengan begitu saya mungkin dapat menetapkan ekspektasi yang lebih masuk akal terhadap gereja, juga dapat melayani orangtua yang dibebani perasaan bersalah dengan lebih banyak berbelas kasihan dan bersyafaat, serta panjang sabar. Dengan mengetahui kebutuhan ini, saya dapat mengerti bahwa Injil bukan hanya perkara pelanggaran atau dosa, tetapi terlebih adalah tentang iman, mengantisipasi karya Kristus dalam batin kita, di balik semua perkara duniawi yang kasatmata.

Inilah yang perlu didengar orangtua.

Suatu kali, seorang pria bercerita tentang sebuah acara parenting yang berjudul “Tanpa Penyesalan”. Saya mengira acara ini diselenggarakan oleh para orangtua yang baru memiliki bayi. Sayangnya, orangtua yang tidak mempunyai penyesalan, mungkin perlu berpikir lebih dalam. Jika Anda tidak memiliki penyesalan dalam mengasuh anak, coba tanyakan saja kepada anak-anak Anda.

Namun, ke sanalah Injil menjangkau—ke tempat yang penuh kekurangan dan kutukan. Yesus menjadi bejana bagi setiap orang yang diburu penyesalan, dan melalui mereka, Dia menunjukkan kemuliaan-Nya. Petrus menyangkal Kristus tiga kali dan melarikan diri dari-Nya saat Juruselamat sangat membutuhkannya. Sulit untuk membayangkan, bahkan setelah diampuni dan dipanggil (Yohanes 21:15-19), bahwa Petrus tidak merasakan penyesalan sebagai seorang murid dan sahabat. Jika kita ingin memahami Injil, kita harus melihat diri kita sendiri dalam kegagalan Petrus. Orangtua yang tidak melakukan kesalahan tidak membutuhkan kabar baik. Seperti kata Yesus, “Bukan orang yang sehat yang memerlukan tabib, melainkan orang yang sakit. Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa” (Markus 2:17).

Kita harus mengakui penyesalan kita. Namun, kita juga harus melihat bahwa Kristus menawarkan sesuatu yang jauh lebih baik daripada sekadar melarikan diri dari penyesalan. Lewat salib-Nya, Tuhan mengingatkan kita bahwa kesalahan kita tidak pernah cukup besar untuk menghalangi rencana-Nya atas hidup kita. Bagi Petrus, dan bagi kita semua, ada harapan yang melampaui penyesalan. Melalui kematian dan kebangkitan Sang Pengganti kita yang mulia, “Tidak ada penyesalan” telah dicoret dan diganti dengan “Tidak ada catatan.”

Apakah Anda melihat bagaimana hal ini dapat mengubah cara berpikir kita tentang keluarga kita? Saat ini kita dapat hidup dan memimpin dengan penuh pengharapan—bukan karena kita akan selalu melakukan semuanya dengan baik, tetapi karena kita mengikut Juruselamat yang melakukan segalanya dengan sempurna. Berangkat dari rasa aman tersebut, kita dapat mengakui kegagalan, penyesalan, dan kelemahan kita. Dan dengan sikap rendah hati tersebut, kita dapat mengarahkan pandangan kita kepada kenyataan bahwa “Jika aku lemah, maka aku menjadi kuat” (2 Korintus 12:9-10).

 

Artikel ini pertama kali diterbitkan di website Desiring God, dengan judul: Every Good Parent Will Have Regrets dan digunakan dengan seizin penerbit.

Penerjemah: Yustini Soepardi

Penyelaras Bahasa: Rosi Simamora

Yuk, berjalan berdampingan untuk

Menjadi Orangtua Sebaik yang Kita Bisa.

Klik untuk SUBSCRIBE