Pernahkah Anda mendengar sebuah kutipan yang berbunyi, “Kita tidak bisa memilih untuk dilahirkan, namun menjadi orangtua dan memiliki anak itu adalah hal lain”? Bagaimana pendapat Anda tentang kutipan tersebut?

Saya sendiri cukup setuju—menjadi orangtua dan memiliki anak adalah sebuah pilihan, dan konsekuensi dari hal ini adalah munculnya tanggung jawab untuk mendidik dan mengasuh anak yang berlangsung untuk waktu yang tidak singkat. Namun, kita sama-sama tahu bahwa tugas yang tidak ringan ini juga menghadirkan berbagai emosi, mulai dari yang positif seperti perasaan bangga, bahagia, bersyukur, hingga emosi-emosi negatif seperti perasaan gagal dan rasa bersalah. Khususnya bagi kita, para ibu.

Selain itu, pada zaman sekarang, kehadiran media sosial dalam kehidupan sehari-hari orangtua ikut menjadi sumber tantangan yang baru. Saya sendiri, ibu dengan dua orang anak yang masih balita, tidak luput dari dampaknya. Para orangtua terus membanjiri media sosial mereka dengan foto-foto yang mempertunjukkan kemajuan bahkan pencapaian anak-anak mereka. Praktik ini bahkan sudah menjadi gaya hidup banyak orangtua secara umum, termasuk mungkin kita juga, sampai-sampai diciptakan sebuah istilah untuk itu, yaitu yang disebut dengan “sharenting”, gabungan dari kata “share” dan “parenting”.

Tentu saya tidak bermaksud mengatakan bahwa sharenting sepenuhnya negatif. Banyak orangtua yang memulai hal ini dengan berbagai niat baik, seperti membagikan pengetahuan-pengetahuan mengenai parenting, tips-tips, bahkan cerita yang dimaksudkan untuk menguatkan para orangtua lain. Hanya saja, jika tidak berhati-hati, kita bisa kebablasan. Bukannya fokus membagikan sesuatu yang bisa menguatkan orang lain, kita malah fokus pada upaya untuk mendulang pengakuan berupa banyaknya “like” yang kita dapatkan dari postingan kita. Tanpa sadar, kita pun terseret dalam sengitnya kompetisi antara orangtua dengan menjadikan anak-anak sebagai trofinya.

Saya adalah salah satunya.

Kompetisi ini tidak mendapatkan hadiah berupa uang ataupun piala, melainkan sebuah rasa pengakuan. Indahnya dan sempurnanya kehidupan yang terpampang di media sosial seputar parenting, MPASI—makanan pendamping ASI—dan bab-bab pengasuhan lainnya, secara tidak sadar menyeret saya masuk ke dalamnya. Sesuatu yang saya awali dengan niatan baik untuk berbagi dan saling mendukung, perlahan namun pasti, telah menjadikan saya orangtua yang tidak ingin kalah dengan orangtua lainnya. Saya mulai membanding-bandingkan anak saya dengan anak-anak yang pencapaian-pencapaiannya terpampang di jendela-jendela media sosial dalam jaringan pertemanan yang saya ikuti. Saya bahkan menjadikan kriteria kesempurnaan yang sering digembar-gemborkan dan seolah disepakati di media sosial, sebagai target yang saya tetapkan pada diri saya dan anak-anak saya untuk dikejar. Dan ini termasuk mengenai pola asuh atau parenting.

Banyak orangtua mengunggulkan pola asuhnya dan saling mengkritik seputar model parenting masing-masing. Opini demi opini tak hentinya dilontarkan, masing-masing tidak mau kalah, bahkan tidak jarang menganggap yang lain sebagai saingan. Termasuk saya.

Meski awalnya sulit bagi saya untuk mengakui, sharenting perlahan telah menjadikan saya seorang kompetitor yang tidak mau kalah dalam mengasuh dan mendidik anak. Tanpa saya sadari, tantangan utama yang saya hadapi dalam upaya membentuk karakter dan membangun pola makan yang sehat bagi anak kami bukan lagi berfokus pada anak, melainkan pada “apa nanti kata media sosial tentang kami, orangtua.”

Saya begitu sering marah dan jengkel ketika anak sulit dikendalikan/tantrum dan susah makan. Saya takut, anak-anak kami dianggap tidak sehat, kurang nutrisi, atau bahkan dinilai tidak bisa dikendalikan oleh orangtuanya. Akhirnya kondisi ini membuat saya stres, karena semua hal jadi tampak tidak berjalan seperti yang diinginkan. Dan ujung-ujungnya, anak-anak saya pun jadi ikut tertekan.

Ketika semua semakin menekan dan tidak terkendali, saya diingatkan pada sebuah cuplikan seminar online yang pernah saya tonton. Seminar ini disampaikan oleh seorang psikolog wanita sekaligus pendeta. Ia berkata, ”Seandainya Tuhan memberi kita, para orangtua, manual books atau panduan dalam mendidik setiap anak sesuai karakternya, tentu pekerjaan kita jadi lebih mudah.” Jika saya boleh menambahkan, saya rasa tidak hanya lebih mudah, tetapi juga lebih menyenangkan. Kita dapat mengikuti petunjuk-petunjuk yang ada, dan menikmati hasilnya tanpa perlu khawatir, ragu, apalagi merasa gagal. Plus, tidak ada alasan lagi untuk berkompetisi dengan orangtua lainnya. Jika benar ada sebuah panduan seperti ini, tentu saya juga akan senang sekali! Namun, sayangnya tidak. Tampaknya, orangtua pun Tuhan minta untuk terus belajar.

Situasi yang pelik dengan anak-anak akhirnya membuat saya merenungkan kembali makna dari memiliki anak. Apa dan siapakah anak ini menurut saya? Apakah saya memandang anak sebagai investasi dan suatu hari nanti anak saya harus mengembalikan apa yang telah saya berikan kepadanya?

Atau … saya memandang anak sebagai sebuah trofi kemenangan sehingga saya terus menuntut anak untuk mencapai kriteria kesempurnaan yang telah saya tetapkan karena saya pantang terlihat “kalah” di depan banyak orang? Namun, … kenapa? Kenapa saya harus mengejar kesempurnaan yang saya lihat di media sosial? Apakah karena gengsi, takut disalahkan oleh orang lain karena dianggap gagal menjadi orangtua? Pertanyaan-pertanyaan ini demikian menyiksa saya.

Lalu, pada suatu hari saya kembali diingatkan melalui Mazmur 127 ayat 3 yang berbunyi, “Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada TUHAN, dan buah kandungan adalah suatu upah.” Sejatinya, kehadiran anak bukanlah sebagai sebuah trofi kemenangan bagi orangtua. Anak adalah milik pusaka dari Tuhan yang dipercayakan kepada kita, orangtua. Dikatakan sebuah pusaka karena kehadiran anak memang berharga sehingga harus dijaga dengan penuh tanggung jawab.

Akhirnya saya menyadari, bahwa saya telah salah memandang dan memperlakukan anak-anak saya. Saya telah menjadikan mereka objek kompetisi demi memuaskan ego saya, dan bukan sebagai subjek kasih. Saya telah mengabaikan kebutuhan mereka akan kasih, dan hanya menuntut mereka untuk memenuhi ekspektasi dan standar saya sendiri. Saya telah melupakan bahwa anak-anak saya adalah anugerah Tuhan, bukan bukti dari prestasi saya.

Dengan pertolongan Tuhan dan dukungan suami, perlahan saya mulai berubah. Saya belajar untuk fokus mengenal dan menghargai karakter serta potensi anak-anak saya dalam perjalanan parenting saya. Saya berusaha untuk mendengarkan dan memahami perasaan dan pikiran mereka, serta menyadari bahwa perjalanan parenting adalah sebuah perjalanan yang unik dan tidak untuk dibanding-bandingkan. Saya juga mulai berani mengakui dan memperbaiki kesalahan dan kekurangan saya, bersyukur dan bahagia dengan apa yang saya dan anak-anak saya miliki, tanpa perlu membandingkannya dengan orang lain.

Saya tidak mengatakan bahwa sekarang saya sudah sempurna. Saya masih sering tergoda untuk ikut-ikutan sharenting, atau merasa iri dengan pencapaian anak-anak orang lain. Saya masih sering merasa lelah, frustrasi, atau kecewa ketika menghadapi tantangan dalam mengasuh anak-anak saya. Bahkan perasaan gagal dalam mendidik dan mengasuh anak pun masih sering terbit dalam pikiran saya.

Namun, selama saya melakukannya bersama Tuhan, selama saya menyerahkan semua pergumulan saya kepada-Nya, saya percaya kekuatan yang baru akan diberikan bagi kita yang selalu mendekat kepada Tuhan, sebagai pemilik anak-anak yang telah dipercayakan-Nya kepada kita.

Saya berharap, sebagai sesama orangtua, kita dapat terus saling membangun dan menguatkan. Saling mengingatkan bahwa anak-anak kita bukan trofi, melainkan pusaka. Dan kita dapat mengasuh serta mendidik anak-anak kita dengan kasih, bukan dengan semangat berkompetisi. Saya sungguh berharap kita dapat menikmati dan menghargai setiap momen yang kita miliki bersama anak-anak kita, bukan dengan sharenting, melainkan dengan sharing. Sharing yang bermakna, yang membangun, yang menginspirasi. Sharing yang tidak hanya kita lakukan di media sosial, melainkan juga di dunia nyata. Sharing yang tidak hanya kita lakukan untuk orang lain, tetapi juga untuk kebaikan diri sendiri. Sharing yang tidak hanya kita kerjakan untuk saat ini, melainkan untuk kekekalan. Sharing yang tidak hanya untuk kita, melainkan terutama untuk memuliakan Tuhan, yang telah menciptakan anak-anak kita bagi diri-Nya sendiri.

Yuk berjalan berdampingan untuk

Menjadi Orangtua Sebaik yang Kita Bisa.

Kami akan menampilkan artikel, kesaksian, dan tips-tips parenting setiap minggunya.

Klik untuk SUBSCRIBE