Tiga Pergeseran Pola Asuh

Dengan lima anak berusia antara 19 dan 8 tahun, istri saya, Julia, dan saya sudah hampir dua dekade menjalani perjalanan sebagai orang tua. Ditambah dengan dua anjing, dua kucing, dan sebuah “Alexa”, dapur kami acap kali terasa seperti waktu pemberian makan di kebun binatang, di tengah klub malam. Namun, di balik suasana sibuk dan sering kali kacau di tempat yang kami sebut rumah, Julia dan saya telah mengalami dan mengembangkan kedamaian yang begitu dalam.

Bertahun-tahun yang lalu, kami menyadari bahwa meskipun adalah hal yang tepat dan bijaksana untuk melakukan yang terbaik agar anak-anak kami tetap setia di masa depan, jadi siapa mereka nantinya bukan sepenuhnya berada dalam kendali kami. Kami bertanggung jawab atas lingkungan rumah tempat mereka dibesarkan, bukan apa jadinya mereka nanti saat dewasa. Kami menemukan kedamaian yang besar sebagai orang tua dengan memfokuskan diri pada panggilan yang saat ini Allah berikan pada kami, daripada berusaha mengendalikan hasil yang tanpa jaminan.

Meskipun sudah hampir lima belas tahun, saya masih dapat dengan jelas mengingat bagaimana perubahan perspektif ini mengubah cara kami berbicara dalam kehidupan rumah. Percakapan kami dengan cepat beralih dari apa yang tidak dilakukan anak-anak kami (yang dulunya menjadi fokus kami) ke banyak hal yang bisa kami, sebagai orang tua, lakukan. Mungkin terdengar konyol, tetapi diskusi kami soal pengasuhan anak akhirnya mulai lebih berfokus pada orang tua!

Selain mengubah cara kami berbicara, pandangan baru ini juga membawa perubahan signifikan dalam cara kami mendidik anak. Setelah melakukan evaluasi jujur terhadap lingkungan rumah kami, kami melihat jelas bahwa ada banyak hal yang harus kami perbaiki. Kami mengumpulkan ayat-ayat Alkitab yang berbicara tentang pengasuhan atau keluarga, dan akhirnya kami memilih Amsal 22:6 sebagai titik awal kami:

“Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.”

Tiga Perubahan Kecil yang Signifikan

Meskipun ayat tersebut sudah familiar bagi kami, kenyataannya terasa lebih asing. Sebenarnya, jika ayat tersebut diterjemahkan seperti cara kami mendidik, ayat itu mungkin akan berbunyi, “Didiklah seorang anak sesuai dengan jalan yang tidak patut baginya, dan besok ia akan taat.” Jika itu terdengar familiar bagi Anda, saya punya kabar baik: ada cara yang lebih baik. Kedamaian internal yang kami alami sekarang terhubung langsung dengan tiga perubahan dalam cara mendidik kami:

  1. Didiklah, bukan beri tahu
  2. Jalan yang patut, bukan jalan yang tidak patut
  3. Pada waktu tuanya, bukan pada waktu mudanya

Perlu disebutkan bahwa meskipun ada beberapa ambiguitas dalam teks Ibrani aslinya, ketiga perubahan ini tidak terbatas pada teks ini. Orang tua sebaiknya merasa bebas untuk menerima panggilan untuk mendidik anak-anak kita sesuai dengan jalan yang patut bagi mereka, dengan pandangan jangka panjang, karena ini adalah tema-tema alkitabiah yang sudah mapan dan didukung secara luas di luar pasal ini. Kami kebetulan menyukai Amsal 22:6 karena ayat ini dengan indah dan ringkas menangkap ketiga perubahan bijaksana tersebut.

Didik, Bukan Beri Tahu

Perubahan pertama dalam pengasuhan kami adalah menerima peran kami sebagai pelatih/pendidik, bukan sekadar orang yang memberi tahu. Pola pikir memberi tahu kami terlihat jelas dalam ungkapan-ungkapan umum seperti, “Sudah berapa kali saya bilang …” atau “Jangan sampai saya harus memberitahu kamu lagi.”

Sebagai catatan, memang benar bahwa kami sudah berulang kali memberi tahu mereka hal yang sama. Yang berubah adalah cara kami merespons dalam situasi-situasi tersebut. Sebagai pemberi tahu, kami sering merasa kesal dengan ketidakpedulian mereka, tetapi sebagai pendidik, kami belajar untuk terus berusaha dan mencari cara-cara kreatif untuk merangsang pikiran dan hati mereka. Kami mendapati bahwa sebagian besar (bukan semua, tapi sebagian besar) dari apa yang segera kami sebut sebagai ketidaktaatan atau ketidakpedulian sangat dipengaruhi oleh sedikit usaha lebih dari kami sebagai pendidik.

Sebagai orang tua Kristen, meskipun pola pikir sebagai pendidik mungkin terasa baru, teladan ini telah diteguhkan melalui kehidupan dan pelayanan Yesus. Pertimbangkan, misalnya, bagaimana Yesus mengajarkan murid-murid-Nya untuk berdoa. Dia tidak sekadar memberi tahu mereka, “Berdoalah,” dan kemudian merendahkan mereka setiap kali mereka tidak melakukannya. Sebaliknya, Sang Pendidik Utama mencontohkan kehidupan doa (Markus 1:35; Lukas 5:16), mengajarkan mengapa perlu berdoa (Matius 7:7-11; Markus 9:29), menunjukkan cara berdoa (Lukas 11:2-4), dan kemudian berusaha agar mereka tetap melakukannya (Lukas 18:1). Bayangkan dampaknya di rumah kita jika kita menggantikan kebiasaan memberi tahu dengan kebiasaan yang ditandai oleh pendidikan..

Akibat dari perubahan ini, kami beralih dari sering bereaksi menjadi jauh lebih berinisiatif terhadap anak-anak kami. Lebih dari itu, kami berkomitmen untuk tidak mendisiplinkan anak-anak kami atas hal-hal yang belum kami ajarkan kepada mereka. Sejujurnya, komitmen ini menyebabkan beberapa momen canggung di tempat umum, ketika kami mengamati perilaku seorang anak yang membuat kami saling memandang dengan mata terbelalak, seolah berkata, “Bagaimana mungkin kami belum mengajarkan hal ini di rumah!” Namun, saat kami berfokus kepada pendidikan, pesan mendasar kepada anak-anak kami menjadi jelas: kami bersamamu dan mendukungmu dalam perjalananmu menuju kedewasaan.

Jalan yang Patut, Bukan Jalan yang Tidak Patut

Tidak mengherankan bahwa salah satu kata pertama yang dipelajari seorang balita adalah “tidak”. Sayangnya, banyak rumah tangga didominasi oleh orang tua yang berulang kali memberi tahu anak-anak apa yang tidak boleh dilakukan. Di beberapa kesempatan, saya duduk bersama para ayah dari anak-anak dewasa yang meneteskan air mata meratapi keputusan anak-anak mereka, berkata, “Saya tidak mengerti; mereka dibesarkan dengan mengetahui apa yang tidak boleh dilakukan.” Sayangnya, menurut rasul Paulus, hanya dengan membekali anak-anak kita dengan sejumlah koleksi larangan tidak akan mempersiapkan mereka dengan baik untuk masa yang akan datang (Kolose 2:21-23).

Visi untuk mendidik sesuai dengan jalan yang patut baginya lebih dari sekadar istilah. Ini adalah cara pengasuhan yang mencerminkan hati dari Bapa surgawi kita, hati yang dapat ditelusuri kembali hingga ke taman Eden. Berlawanan dengan ingatan populer, kata-kata pertama Allah bukanlah, “Jangan makan dari pohon itu.” Sebelum Tuhan memberikan larangan inti tersebut, Dia terlebih dahulu memberikan izin yang jauh lebih besar: “Engkau boleh makan buah-buahan dari semua pohon di taman ini” (Kejadian 2:16 BIMK). Bapa surgawi kita menunjukkan dengan jelas jalan yang patut kita tempuh, sehingga waktu Dia berkata ‘jangan’ (yang memang Dia lakukan), kita dapat yakin bahwa tujuannya adalah menjaga agar kita hidup, bukan untuk menghalangi kita dari kehidupan.

Perubahan kecil yang dilakukan secara sadar untuk berfokus pada visi positif mengarahkan kami untuk menemukan YA besar bagi keluarga kami: “Kredo Keluarga Bradner.” Kredo kami (tercantum di akhir) menekankan tujuh nilai yang telah kami pilih sebagai komitmen untuk dikejar bersama sebagai keluarga. Setelah nilai-nilai ini ditetapkan dan dikomunikasikan, kami mengambil peran sebagai pelatih utama yang selalu mencari cara untuk mencontohkan, mengajarkan, dan merayakan keluarga yang menghidupi kredo kami. Enam belas tahun kemudian, kami dapat mengonfirmasi bahwa jauh lebih menyenangkan untuk mengarahkan energi dan upaya Anda kepada keluarga yang berkata YA daripada terus berkata TIDAK kepada anak-anak.

Dewasa, Bukan Muda

Perubahan terakhir ditemukan pada bagian akhir ayat 6: “pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.” Membayangkan anak-anak kami sebagai orang dewasa telah membantu kami memainkan peranan jangka panjang dalam pola asuh kami. Hal ini menjaga agar kita jangan sampai secara tidak sadar memenangkan pertempuran hari ini dengan mengorbankan kekalahan di masa depan. Kami ingin mendidik saat ini dengan cara sedemikian rupa yang membuat anak-anak kami ingin tetap berinteraksi dengan kami bahkan saat mereka tidak lagi harus melakukannya.

Pertarungan jangka panjang mungkin berlangsung selama beberapa dekade, tetapi itu dimulai sekarang waktu anak-anak kami masih kecil. Kami tidak ingin menunggu sampai mereka meninggalkan rumah untuk menciptakan lingkungan yang mereka rindukan nanti. Keinginan ini memengaruhi cara kami berbicara kepada mereka—terutama apa yang kami paling inginkan untuk mereka dengar dan yang paling tidak diinginkan untuk mereka dengar. Jika anak-anak kami mendengar kami mengatakan, “Sudah berapa kali saya bilang, …” harapan kami adalah itu akan diikuti dengan sesuatu seperti, “… betapa saya mencintaimu dan menganggapnya sebagai kehormatan untuk menjadi orang tuamu.” Inilah jenis perkataan yang kami rindukan untuk mereka dengar paling sering.

Beberapa orang mungkin membaca ini dan menyimpulkan bahwa kami telah mengadopsi relasi orang tua-sebagai-teman. Tidak, kami tidak kehilangan pandangan tentang otoritas dan tanggung jawab kami untuk mengoreksi dan menegur. Kami dengan sengaja bertujuan untuk menempatkan diri kami dalam jenis pelayanan tersebut seumur hidup kami. Henry Drummond menangkap perspektif jangka panjang tersebut dengan sangat baik: “Anda akan menemukan bahwa orang-orang yang memengaruhi Anda adalah orang-orang yang percaya kepada Anda.”

Perjuangan Jangka Panjang

Perjuangan jangka panjang juga memengaruhi apa yang paling tidak kami inginkan untuk mereka dengar. Umumnya reaksi seperti “Itu bukan yang kita yakini/pikirkan/lakukan di keluarga ini” mungkin menghemat beberapa menit pada saat itu, hal tersebut merugikan pola asuh dalam jangka panjang. Anak-anak yang terus-menerus diberitahu bagaimana berpikir dan apa yang harus diyakini—tanpa adanya percakapan dengan proses berpikir mendalam—akhirnya akan berhenti melibatkan diri dalam topik-topik tersebut. Meskipun orang tua Kristen memiliki hak istimewa untuk mengajarkan apa yang benar, itu tidak berarti kita harus melakukannya seperti orang bodoh, yang “tidak suka kepada pengertian, hanya suka membeberkan isi hatinya.” (Amsal 18:2).

“Saya ingin mendengar lebih banyak tentang mengapa kamu berpikir seperti itu”, mungkin memerlukan lebih banyak waktu pada saat itu, tetapi juga akan menghasilkan buah yang jauh lebih besar di tahun-tahun mendatang. Saya yakin bahwa anak-anak kami yang telah dewasa dapat lebih menghargai pemikiran dan perspektif kami hari ini karena mereka dibesarkan di rumah yang juga menghargai pemikiran dan perspektif mereka.

Investasi Terbaik Kami

Melihat ke belakang, hampir tidak mungkin untuk mengukur dampak dari ketiga perubahan pengasuhan ini, tetapi dampaknya sangat besar. Mengasuh anak itu sulit, demikian pula menjadi seorang anak. Alih-alih membebani diri dengan kecemasan hari ini tentang menjadi siapa anak-anak kita kelak saat dewasa, mari berikan energi terbaik kita untuk menciptakan lingkungan yang menghormati Allah dan memberikan kehidupan bagi mereka sekarang. Terkadang dampak yang paling transformatif dan bertahan lama adalah hasil dari beberapa perubahan kecil dalam hal perspektif.

 

Kredo Keluarga Bradner (dibuat pada tahun 2006)

Kami menghormati Allah.
Setiap orang penting.
Kami sangat bersyukur.
Kami tidak berbicara dengan nada “mengeluh.”
Bisakah aku membantumu?
Kami memberikan yang terbaik.
Kami merayakan!

 

Artikel ini pertama kali diterbitkan di situs web Desiring God, dengan judul: How to Train Up a Child, digunakan dengan seizin penerbit.

Yuk berjalan berdampingan untuk
Menjadi Orangtua Sebaik yang Kita Bisa.
Kami akan menampilkan artikel, kesaksian, dan tips-tips parenting secara berkala.

Klik untuk SUBSCRIBE