Setelah sepasang suami-istri menikah, pertanyaan yang paling sering diajukan adalah: “Kapan nih punya momongan?” Bukan itu saja, bersama dengan berlalunya waktu, pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan pun mulai berubah nadanya: “Pasti kurang rajin nih, aduuuhhh…coba yang rajin dong” atau “Berobat dong, minum jamu ini, ke dokter itu …” dan sebagainya. Kita pun, yang tadinya menanggapi dengan senyuman dan sikap acuh tak acuh, mungkin lelah juga dan akhirnya terpancing untuk menyahuti dengan: “Oh maaf ya, urusan punya anak itu urusan Tuhan. Tanya aja agendanya sama Tuhan, jangan sama saya!”
Tanggapan seperti ini tentu tidak salah, karena kehadiran anak sejatinya memang tidak bergantung pada suami dan istri, tetapi pada Tuhan. Anak adalah bonus, dan seperti bonus-bonus lainnya, anak adalah pilihan, dan tersedia selama persediaan masih ada. Jika Allah memberi kita anak, maka kita boleh bersyukur, dan jika pun tidak, kita juga dapat bersyukur karena kita boleh percaya bahwa Allah memiliki rancangan yang terbaik bagi kita.
Pernikahan adalah Gagasan Allah
Pernikahan adalah gagasan Allah. Allah-lah yang merancang pernikahan sebagai sesuatu yang penting, yang Allah gunakan untuk menunjukkan kasih Tuhan kepada dunia. Pernikahan adalah gambaran hubungan Kristus dan gereja (Efesus 5:22-33).
Lalu mengapa kita berpikir bahwa tujuan menikah adalah untuk memiliki anak? Ini adalah konsep yang keliru. Anak diberikan dan dipercayakan oleh Tuhan, dan jika anak adalah hadiah atau bonus atau karunia, maka kalau kita menikah dan tidak menerima hadiah tersebut dari Tuhan, itu tidak apa-apa.
Dengan demikian, jangan sampai suami dan istri bercerai karena tidak memiliki anak.
“Apa alasannya bercerai atau berselingkuh?”
“Istri/suami saya tidak bisa memberi saya anak, jadi saya ingin menikah dengan orang lain yang bisa memberi saya anak.”
Yang seperti ini tidak boleh dilakukan, karena sesungguhnya ketika menikah, suami dan istri itu sudah lengkap, sudah komplit. Kehadiran anak bukanlah untuk menjadikan sebuah pernikahan lengkap, karena dengan adanya suami dan istri, pernikahan tersebut sesungguhnya telah genap. Ada seorang suami sebagai gambaran dari Kristus, dan seorang istri sebagai gambaran dari gereja. Hubungan suami dan istri inilah yang utama dan penting dalam pernikahan. Ada anak atau tidak, pasangan suami-istri tersebut sudah lengkap. Jikalau Tuhan ingin menambahkan peran mereka sebagai papa dan mama, maka Tuhan akan mengaruniakan anak kepada mereka.
Menjadi Suami-Istri Lebih Dulu Baru Menjadi Orangtua
Mazmur 127:3-5 berkata, “Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada TUHAN, dan buah kandungan adalah suatu upah. Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda. Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung panahnya dengan semuanya itu. Ia tidak akan mendapat malu, apabila ia berbicara dengan musuh-musuh di pintu gerbang.” Alkitab menyatakan bahwa anak adalah berkat yang dikaruniakan oleh Allah. Memiliki anak atau tidak, tidak bergantung sepenuhnya pada keputusan suami-istri.
Kita tahu bahwa menjadi orangtua tidak mudah, apalagi ketika kita dititipi anak berkebutuhan khusus. Kita tidak boleh memandang anak sebagai investasi, lalu memprotes Tuhan dengan mulai mengatakan: “Tuhan, kok model begini dapetnya? Tuker dong, Tuhan, yang pinter, yang cakep” sampai urusan “Ya ampun, Tuhan, saya kepinginnya anak laki-laki, kok malah dikasih perempuan?”
Kita perlu mengingat, bahwa anak merupakan gambar dan rupa Allah. Anak adalah milik Allah, yang dititipkan kepada kita sebagai anugerah untuk suatu waktu tertentu. Jika dititipkan hanya untuk tiga tahun, maka setelah selesai ia akan kembali kepada Penciptanya. Ada juga yang lima tahun sudah dipanggil pulang, atau lima belas tahun dan sebagainya. Yang penting bukanlah tentang berapa lama waktu yang Tuhan berikan kepada kita untuk mengasuh titipan-Nya, tetapi yang terpenting adalah kita berusaha menjadi suami/istri terbaik bagi pasangan terlebih dahulu, barulah kemudian bersama-sama berusaha menjadi orangtua terbaik bagi anak-anak kita.
Jika hal ini tidak dilakukan, maka akan sulit bagi suami-istri untuk berperan secara maksimal sebagai orangtua. Pertengkaran demi pertengkaran akan bermunculan, mulai dari hal-hal sepele seperti siapa yang membuatkan susu pada malam hari, hingga yang seserius prinsip dan nilai-nilai yang perlu diajarkan kepada anak. Tidak heran jika salah satu tantangan orangtua dalam mendidik dan memuridkan anak adalah ketika kita sebagai orangtua meremehkan hubungan suami-istri. Hendaknya kita menyadari bahwa sebelum menjadi seorang ayah, kita menjadi suami terlebih dahulu, demikian pula sebelum menjadi seorang ibu, kita menjadi istri terlebih dulu. Jadi, jangan terbalik.
Marilah kita belajar bahwa pengaruh terbesar dalam mendidik anak bukan kita sebagai papa dan mama, tetapi justru kita sebagai suami-istri. Suami-istri adalah dua orang yang dipersatukan menjadi satu tim. Jika timnya saja tidak sejalan, ada dua kubu, maka jangan harap bisa menjadi papa dan mama yang baik. Hal yang dilarang oleh ibu malah dibolehkan oleh ayah, sebaliknya ketika sang ayah menegur anak, si ibu malah membela. Maka akan muncul keributan dalam rumah tangga, yang kelak akan membuat anak-anak juga tidak rukun. Ingatlah bahwa sikap pilih kasih orangtua terhadap anak sering kali juga menjadi sumber keributan di antara anak-anak. Ini mengingatkan kita pada kisah Yakub dan Esau di dalam Alkitab, bukan? Esau menjadi anak kesayangan Ishak, sementara Yakub menjadi anak kesayangan Ribka. Ketika terjadi perebutan berkat anak sulung, kedua bersaudara ini menyimpan kepahitan yang berlanjut dari tahun ke tahun.
Jika ingin menjadi orangtua yang lebih baik, maka jadikan kehadiran anak sebagai instrumen yang membentuk keluarga. Anak adalah milik Tuhan yang dipercayakan kepada kita untuk kita didik dan besarkan. Jika kita tidak memuridkan anak-anak yang telah Tuhan hadiahkan ke dalam pernikahan, maka kita belum menjalankan peran kita sebagai orangtua yang Allah mandatkan. Jadikan Allah sebagai pusat dalam keluarga, kemudian barulah suami-istri, dan terakhir anak-anak. Kristus adalah kepalanya. Lalu belajarlah menjadi orangtua seumur hidup kita, sebab tidak ada yang namanya orangtua yang sempurna, yang ada hanya orangtua yang terus berupaya menjadi orangtua yang terbaik.
Panggilan Tertinggi Sebuah Pernikahan
Allah menyatakan bahwa anak-anak adalah berkat, namun bukan berarti pasangan yang tidak mempunyai anak kurang diberkati. Ada kasus di mana Allah tidak mengizinkan anak hadir dalam pernikahan tertentu, seberapa pun pasangan tersebut mengharapkannya. Dari berbagai narasi dalam Alkitab dan dari hidup kita sendiri, kita melihat bagaimana Allah berdaulat penuh atas kehidupan kita, termasuk dalam hal memiliki keturunan.
Pernikahan tanpa anak sama penuhnya dengan pernikahan dengan anak. Meski sebuah pernikahan tidak menghasilkan anak jasmani, pasangan suami-istri dapat memiliki anak-anak rohani, seperti diteladankan Paulus yang menjadi bapak rohani bagi Timotius. Sesungguhnya, kita memang dipanggil untuk menjadi orang-orangtua rohani bagi orang-orang yang kita bimbing untuk percaya kepada Yesus Kristus. Dari perkataan Paulus dalam Roma 16:13: “Salam kepada Rufus, orang pilihan dalam Tuhan, dan salam kepada ibunya, yang bagiku adalah juga ibu,” kita mendapat gambaran yang kuat bahwa menjadi ibu atau ayah sesungguhnya tidak sebatas anak yang dilahirkan secara jasmani, tetapi juga anak-anak rohani yang kita muridkan. Inilah panggilan tertinggi dari sebuah pernikahan, yaitu membawa berita Injil dan memuridkan.
Narasumber : Charlotte Priatna
Disadur oleh : Marlia Kusuma Dewi
Penyelaras bahasa : Rosi Simamora
Yuk berjalan berdampingan untuk
Kami akan menampilkan artikel, kesaksian, dan tips-tips parenting setiap
minggunya.