“Bisa bantu pekerjaan rumah, tidak? Jadi suami yang bertanggung jawab, dong!” protes seorang istri yang kesal melihat suaminya duduk saja di sofa sambil menonton televisi.

Si suami juga frustrasi. Setelah seharian mengikuti berbagai rapat via dunia maya, ia merasa sekaranglah saatnya beristirahat sejenak. Bukan malah diomeli oleh istrinya sendiri. “Kenapa kamu tidak bisa kasih aku break sebentar saja?” tukasnya. “Lagi pula itu kan pekerjaanmu?”

Bukan hal yang asing, bukan? Berbagai pembatasan sosial yang mengurung keluarga di rumah telah meningkatkan ketegangan dalam pernikahan saat para pasutri menghadapi perubahan besar di tempat kerja, rumah, dan gereja. Di banyak rumah tangga, ketegangan tersebut juga menimbulkan kekecewaan dan rasa frustrasi terhadap pernikahan itu sendiri.

Ketika pernikahan berada di ujung tanduk, pertanyaan kuncinya adalah, “Lalu bagaimana? Apa yang seharusnya kami lakukan?” Di sinilah pentingnya suami-istri sama-sama berkomitmen untuk mengatasi dan menyelesaikan masalah-masalah yang ada.

Berikut tiga hal yang dapat kita lakukan:

  1. Bawalah Kekecewaan Kita kepada Allah

Pernikahan Krisis1

Di hadapan Allah kita mengucapkan janji pernikahan kita. Kepada-Nyalah kita meminta berkat bagi pernikahan kita. Namun, ketika kita tidak bahagia, kita menganggap Allah telah mengecewakan kita. Kita mungkin menuntut Dia bertanggung jawab atau menuduh-Nya mengingkari janji kebahagiaan yang hendak diberikan-Nya untuk kita. Namun, dalam pergumulan kita, setidaknya kita menanggapi-Nya dengan serius. Dalam pergumulan kita, kita bisa belajar meneladani Yesus Kristus.

Tidak seorang pun pernah mengalami kesendirian, pengabaian, dan penyiksaan seperti yang dialami Kristus di sepanjang kehidupan dan kematian-Nya. Tidak seorang pun pernah mengalami ketidakadilan yang ditanggung-Nya ketika Dia menebus kita dari hukuman dosa. Namun, Dia hidup, mati, lalu bangkit dari antara orang mati untuk menyatakan bahwa pada waktunya, Allah selalu membuktikan diri-Nya baik, berkuasa, dan setia kepada mereka yang mau mempercayai-Nya hingga akhir. Dia sanggup melakukan hal yang sama dalam pernikahan kita.

Melalui teladan-Nya sendiri, Kristus menunjukkan bahwa kita tidak diciptakan untuk mendapatkan rasa aman atau cukup dalam hubungan dengan manusia mana pun. Dia menunjukkan bahwa kita diciptakan untuk mendapatkan perlindungan dan kepuasan penuh di dalam Allah, dan dengan kesadaran itulah kita bisa leluasa untuk saling mengasihi dan menundukkan diri.

  1. Jadikan Hubungan Kita dengan Allah sebagai Sumber Kepuasan dalam Pernikahan

Pernikahan Krisis2

Pengikut Kristus sangat mungkin menghadapi masalah-masalah yang menimbulkan kekecewaan dalam pernikahan mereka.

Dalam buku Men And Women: Enjoying the Difference, Larry Crabb, seorang konselor Kristen, menuliskan, “Perbedaan antara orang yang saleh dan yang tidak saleh bukanlah bahwa yang satu tidak pernah terluka dan yang lainnya bisa terluka, atau yang satu lebih bahagia daripada yang lainnya. Perbedaannya terletak pada bagaimana mereka meresponi sakit hati itu.”

“Apakah mereka bereaksi seperti kebanyakan orang, yakni memakai sakit hati sebagai alasan untuk membenarkan perbuatan-perbuatan egois mereka. Mereka melakukannya untuk meringankan rasa sakit hati mereka, demi mementingkan kenyamanan diri daripada memikirkan dampak perbuatan itu terhadap orang lain. Sebaliknya, akankah mereka menanggapi dengan cara yang tidak biasa: menggunakan sakit hati itu untuk lebih memahami dan membesarkan hati orang lain, sembari tetap berpegang teguh kepada Allah untuk menerima kelepasan yang dijanjikan-Nya, dan sungguh-sungguh bertekad melakukan kehendak-Nya.”

Ketika kita tahu bahwa kesejahteraan utama kita bergantung kepada Allah dan bukan kepada pasangan, kita akan mulai mengalami kuasa Allah.

Ketika seorang suami percaya bahwa hubungannya dengan Allah lebih utama daripada hubungan dengan istrinya, ia akan mulai menemukan suatu keyakinan diri yang tidak bergantung kepada tanggapan maupun pengakuan istrinya. Ia akan mulai mengasihi istrinya dengan kasih yang telah ia temukan dalam Kristus (Efesus 5:25).

Ketika seorang istri percaya bahwa hubungannya dengan Kristus lebih utama daripada hubungan dengan suaminya, ia akan mulai menemukan sumber rasa aman dan penerimaan diri yang tidak bergantung pada kemampuan suaminya untuk memenuhi kebutuhannya. Ia mulai bisa menerima perannya sebagai seorang istri, karena didasari keyakinan bahwa sikap tunduk yang didorong oleh motivasi yang benar sesungguhnya merupakan cara untuk menundukkan diri kepada Ketuhanan dan ketetapan Kristus (Efesus 5:22-24).

  1. Ketergantungan Kita kepada Allah menjadi Dasar bagi Sikap Saling Bergantung yang Dilandasi Kasih

Pernikahan Krisis3

Sepasang suami-istri yang bergantung kepada Allah—yang mendapatkan kekuatan dan kecukupan mereka di dalam Dia—tidak akan terlalu tergantung pada pasangannya. Mereka juga tidak akan menuntut kebebasan atau ingin mendominasi pasangannya secara tidak sehat.

Allah menciptakan pria dan wanita sebagai makhluk unik dengan karunia khusus menurut gambar-Nya. Alkitab menolong kita memahami bagaimana suami-istri dapat menjadi satu, tetapi masing-masing masih mempunyai keunikan diri seperti yang dirancang oleh Allah.

Allah menciptakan wanita sebagai pendamping dan penolong yang dapat diandalkan suaminya. Kitab Kejadian mengatakan, “TUHAN Allah berfirman: ‘Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia’” (2:18).

Amsal 31 menggambarkan seorang wanita yang penuh inisiatif dan karunia dari Allah untuk melakukan apa yang dikehendaki-Nya. Pasangan dalam Amsal 31 tersebut mempunyai hubungan yang saling bergantung. Allah memberi sang istri berbagai karunia, tetapi suaminya tidak cemburu, dan tidak melarang istrinya menggunakan karunia tersebut. Kita bisa melihat bahwa ia mencintai sang istri apa adanya sebagaimana Allah menciptakannya. Sebaliknya, si istri menggunakan karunianya sedemikian rupa sehingga menghasilkan keselarasan dan keberhasilan dalam pernikahan.

Mari kita membaca 1 Korintus 13:4-8: “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan.”

 

Bacalah bagian di atas sekali lagi. Ketika kata “kasih” atau “ia” muncul, gantilah dengan nama Anda. Tanyakan kepada diri Anda sendiri: begitukah cara Anda memperlakukan pasangan? Itulah artinya mengasihi. Kasih diwujudkan dalam tindakan dan keyakinan kepada Allah, yang akan memberikan apa yang dijanjikan-Nya kepada suami-istri yang mau mempercayai Dia.

 

Artikel ini diambil dan diadaptasi dari buku Refreshing Your Marriage Relationship (c) 2010 Our Daily Bread Ministries. Versi asli bahasa Inggris dapat dibaca di sini.