Menurut para peneliti, ada pola-pola tertentu dalam sikap dan perilaku yang cenderung berulang dalam suatu garis keluarga. Kecanduan alkohol, bunuh diri, kekerasan dalam rumah tangga, keluarga yang berantakan, dan pola lain dalam patologi keluarga menunjukkan sejarah keluarga dapat berulang dari generasi ke generasi.

Konsep sejarah keluarga ini bukan hal baru. Cerita Alkitab tentang para pemimpin keluarga di masa lalu menunjukkan pemahaman yang sama. Misalnya dalam reaksi Abraham ketika menghadapi bahaya. Allah memanggil Abraham untuk meninggalkan Ur menuju Kanaan. Ketika ada kelaparan di Kanaan, Abraham memutuskan pergi ke Mesir untuk menyelamatkan diri dari keadaan sulit. Sebelum masuk ke Mesir, ia berkata kepada Sarai istrinya, “Memang aku tahu, bahwa engkau adalah seorang perempuan yang cantik parasnya. Apabila orang Mesir melihat engkau, mereka akan berkata: Itu isterinya. Jadi mereka akan membunuh aku dan membiarkan engkau hidup. Katakanlah, bahwa engkau adikku, supaya aku diperlakukan mereka dengan baik karena engkau, dan aku dibiarkan hidup oleh sebab engkau” (Kejadian 12:11-13).

Perhatikan cara Abraham menyelamatkan diri dengan hanya memikirkan dirinya sendiri. Ia berbohong untuk menyelamatkan diri sendiri. Lebih parahnya lagi, guna menyelamatkan diri, ia bersedia mengorbankan keselamatan dan kehormatan istrinya. Dalam keadaan panik karena takut kehilangan nyawa, ia mengabaikan semua yang pernah dijanjikan Allah kepadanya, bahwa ia dan istrinya akan menjadi bangsa yang besar (Kejadian 12:2). Dan sepertinya Abraham tidak peduli apa yang terjadi pada istrinya. Karena mengira Sarai adalah adik Abraham yang belum menikah, Firaun membawanya ke istana untuk dijadikan salah satu istrinya. Andai Allah tidak campur tangan, kebenaran mungkin tidak terungkap dan kisah ini mungkin akan berakhir tragis.

Beberapa tahun kemudian, bencana kelaparan kembali terjadi pada masa anak Abraham, Ishak dan istrinya Ribka. Ishak pergi ke tanah Filistin. Di sana ia kembali mengulang apa yang pernah dilakukan ayahnya (Kejadian 26:1-11). Karena takut kehilangan nyawa, ia berbohong dengan menyatakan Ribka itu adiknya. Namun, akhirnya raja Filistin tahu, dan melabrak Ishak yang mengaku melakukan semua itu karena takut kehilangan nyawa. Sama seperti yang menimpa Abraham, hal ini terjadi tidak lama setelah Allah berkata Ishak akan memiliki banyak keturunan seperti bintang di langit. Detail cerita ini sangat mirip, bagaikan sejarah yang berulang kembali dari satu generasi ke generasi berikut.

Dalam Perjanjian Lama, sejarah keluarga dapat ditemukan dalam kisah keluarga raja-raja Israel dan Yehuda. Alkitab mencatat kesembilan belas raja Israel sebagai raja-raja jahat, berdosa karena menyembah berhala, dan melakukan dosa-dosa lainnya. Dua belas dari dua puluh raja Yehuda juga jahat. Yang menarik adalah ketika nama raja-raja ini disebut beserta tindakan yang mereka lakukan, kita sering menemukan kalimat seperti ini: “[Ia] hidup menurut tingkah laku ayahnya dan menurut dosa ayahnya” (mis. 1 Raja-Raja 15:3,26; di 22:52 juga disebutkan dosa-dosa ibu). Demikian juga perbuatan yang dilakukan oleh raja-raja yang baik, kita sering menemukan frasa “tepat seperti yang dilakukan . . . ayahnya” (2 Raja-Raja 15:3,34), atau “tepat seperti yang dilakukan Daud, bapa leluhurnya” (2 Raja-Raja 18:3).

Bagaimana sejarah keluarga seperti itu bisa diwariskan? Jawabannya mungkin karena pengaruh alami (genetik), didikan (cara seseorang dibesarkan), dan rohani (warisan atau beban rohani). Ketiga hal tersebut mungkin ada benarnya, tetapi yang lebih penting adalah apa yang dapat kita lakukan dengan sejarah keluarga tersebut?

Anda perlu mengetahui sejarah keluarga Anda. Mungkin sejarah keluarga Anda ada yang baik, juga ada yang buruk. Apa pun keadaannya, kita perlu memperhatikan dan mengikuti suatu Sejarah lain yang sanggup menebus kita. Inilah sejarah atau kisah tentang karya Allah menyelamatkan dunia, dan jauh lebih khusus, kisah tentang Yesus. Sejarah ini ditemukan dalam Alkitab. Kita akan mulai hidup dalam Sejarah ini ketika kita beriman kepada Kristus dan memberi diri dibaptis. Oleh baptisan kita menjadi sama seperti Kristus, mati bersama Kristus, dan akan dibangkitkan seperti Dia ke dalam hidup yang baru (Roma 6:4).

Kebersamaan kita dengan Kristus menjadi dasar bagi kita untuk menjadi serupa Kristus. Dengan demikian, kisah hidup Kristus menjadi kisah hidup kita. Firman-Nya membebaskan kita dari ikatan semua kisah lain yang merusak hidup kita. Dengan tuntunan firman-Nya, kita mungkin dapat mengenali beberapa hal baik dari sejarah lama kita yang mencerminkan kisah-Nya. Kita mulai mengucap syukur atas Penulis Kisah Surgawi yang sudah bekerja dalam hidup kita jauh sebelum kita mengenal Dia. Sungguh, dalam Kristus kita dapat bersyukur kepada Allah untuk semua hal positif dalam sejarah keluarga kita (lihat 2 Timotius 3:15) dan dibebaskan dari semua hal negatif.

Sebagai orangtua, kita perlu menyadari pengaruh kita atas anak-anak kita. Benar, kita perlu tahu dampak besar yang diteladankan hidup kita. Anak-anak kita cenderung meniru sikap dan tindakan kita bahkan dapat memberi pengaruh besar dalam hidup mereka. Namun, bagaimana kalau keluarga kita memiliki sejarah yang buruk? Apakah kita akan meneruskan sejarah tersebut kepada anak-anak dan keturunan kita? Bila tidak berhati-hati, mungkin kita akan mengulang sejarah buruk itu.

Dengan kuasa Roh Kudus, kita dapat mengakhiri tema buruk atau dosa yang mungkin sering berulang dalam sejarah keluarga kita dan menjadikan Sejarah Kristus (Sejarah Keluarga Allah) menjadi kisah kita. Allah dapat menulis ulang dan menyelamatkan sejarah kita bila kita mengizinkan-Nya. Dan kita dapat meninggalkan warisan yang baik, yang dapat mempengaruhi generasi berikutnya.

Jadi mari kita renungkan sejarah keluarga kita, sejarah yang sedang kita buat, dan sejarah yang akan kita wariskan.

  1. Bagaimana Anda menggambarkan sejarah keluarga Anda?
  2. Apa saja hal baik, dan juga buruk yang ada dalam sejarah ini?
  3. Bagaimana Anda melihat peran sejarah keluarga Anda tersebut dalam perjalanan iman Kristen, kehidupan keluarga, dan pola asuh anak Anda?
Disadur dari buku “Membangun Generasi Mendatang: Perenungan Alkitabiah tentang Pola Asuh Anak” oleh Robert M. Solomon, Cetakan pertama: Desember 2019.