“Benny!” teriak Chika. “Pakai sepatumu!” Anak lelakinya yang baru berusia 4 tahun itu sudah terlambat mengikuti les tambahan Matematika. Chika mengantarnya ke tempat les, lalu menjemputnya lagi kalau sudah selesai. “Ada PR Matematika, nggak?” tanyanya dalam perjalanan pulang. Benny mengangguk. Sebelum makan malam, ia disuruh menonton video berdurasi satu jam tentang aksara Mandarin yang ditampilkan lewat media kartu. “Habis mengerjakan PR Matematikanya nanti, aku akan mengetes Benny membaca kartu-kartu itu,” pikir Chika. “Pokoknya, ia harus lebih maju daripada teman-temannya!”

Sebagai orangtua, hari-hari kita kerap disibukkan dengan mengurus berbagai keperluan anak. Bahkan di saat kita tidak sedang bersama mereka secara fisik, kebutuhan dan tanggung jawab untuk memperhatikan kesejahteraan anak memenuhi sebagian besar pikiran kita.

Sudahkah ia tidur siang hari ini? Mengapa kok anakku bolak-balik jatuh sakit? Bagaimana aku bisa mengurangi sikap keras kepalanya? Bagaimana caranya agar anakku berhenti mengamuk? Mengapa ia tidak bisa duduk diam di kelas? Haruskah aku memberinya les-les tambahan? Mengapa anakku bisa seceroboh itu mengerjakan soal-soal ulangan? Bagaimana aku bisa memotivasi dia untuk belajar lebih giat lagi?

Kita khawatir karena kita mengasihi anak-anak kita dan menginginkan yang terbaik bagi mereka. Namun, mengurusi semua kebutuhan mereka bukanlah satu-satunya hal utama yang perlu dilakukan dalam membesarkan anak. Alkitab dengan jelas mengingatkan apa prioritas kita sebagai orangtua:

Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu. (Amsal 22:6)

Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu. (Ulangan 6:5-8)

Alkitab berkata prioritas utama kita dalam membesarkan anak adalah mengajarkan mereka mengasihi Allah dengan segenap hati, segenap jiwa, dan segenap kekuatan. Tujuan utama ini tidak boleh dikalahkan oleh hal-hal lain, termasuk urusan akademis. Tapi bagaimana mengajarkan kepada anak bagaimana mengasihi Allah itu dalam kehidupan sehari-hari?

Letakkan Allah di atas Urusan Akademis

Mendahulukan Allah berarti secara proaktif menyediakan waktu dan energi serta mengkhususkannya bagi Allah. Dibutuhkan usaha yang kuat untuk merencanakan dan melaksanakan target-target rohani tersebut, dengan tidak mengizinkan jadwal sehari-hari anak yang berkaitan dengan sekolah dan les tambahan mengambil alih atau membuat kita melalaikan prioritas rohani anak.

Sediakan Waktu untuk Mengingat Allah

Mendahulukan Allah juga berarti memastikan anak-anak kita memiliki waktu untuk mengingat Dia. Berkomitmen menyediakan waktu khusus untuk belajar tentang Allah dan berkomunitas dengan jemaat-Nya di gereja–bukan malah memenuhi akhir pekan dengan jadwal les-les tambahan–mungkin terasa sulit. Namun, ini bagian dari rencana Allah untuk seluruh ciptaan-Nya. Pertumbuhan dan penyegaran rohani merupakan elemen penting bagi perjalanan rohani kita.

Mungkin sebagian kita merasa bahwa memastikan pertumbuhan rohani anak-anak merupakan tugas yang sangat berat. Namun, Allah tidak memberikan tugas tanpa memperlengkapi kita dengan baik. Bila kita datang kepada-Nya dan menyerahkan semua ketakutan serta kekhawatiran kita, dan seiring dengan semakin bertumbuhnya kita dalam perjalanan kita sendiri bersama-Nya, Allah akan memampukan kita mengemban tugas mulia mengajarkan kepada anak-anak kita bagaimana mengenal dan mengasihi Dia setiap hari, bahkan lewat kesalahan-kesalahan kita sendiri.

Jangan Terpancing Emosi, tapi Teladankan Kasih Allah

Mengajarkan kepada anak-anak untuk mengasihi Allah juga berarti menghadapi mereka dengan sikap yang sesuai dengan perintah Allah:

Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan. (Efesus 6:4)

Paulus menasihati kita untuk mempertimbangkan kesejahteraan mental dan emosional anak-anak kita. Namun, kita mudah sekali melupakannya di tengah persaingan keras dalam hal akademis.

“Hasil macam apa ini?” teriak Yakub kepada Gerry, 10 tahun, begitu melihat nilai ulangan yang dibawa putranya itu dari sekolah. “Goblok benar, sih! Belajar lebih keras!” Tangis Gerry kontan meledak.

Ketika kita membebankan hasil yang tidak realistis kepada anak-anak kita atau terlalu menekankan pada hasil akhir yang gemilang, kita menciptakan perasaan tertolak dalam hati anak-anak, yang dapat berujung pada kepahitan dan amarah. Namun firman Tuhan mengingatkan kita: Jangan bangkitkan amarah anak-anakmu. Jangan buat mereka kepahitan. Jangan buat mereka merasa ditolak. Justru kita dipanggil untuk meneladani Allah dalam cara-Nya mengasihi anak-anak-Nya dan berbelas kasihan terhadap mereka. Seperti halnya kasih Allah, kasih kita kepada anak-anak seharusnya juga tanpa syarat dan tidak didasarkan pada performa mereka. Kita justru harus bersikap “penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih dan setia” (Mazmur 86:15).

Sebagai orang yang telah menerima anugerah Allah, sudahkah kita menunjukkan anugerah yang sama kepada anak-anak kita dalam urusan akademis?

 

Refleksi:

  1. Apa yang bisa saya lakukan untuk menjaga kesejahteraan mental dan emosional anak-anak saya, bukan malah menambah tekanan batin mereka?
  2. Sudahkah saya memberikan kesan kepada anak-anak saya bahwa saya akan tetap mengasihi mereka sekalipun mereka tidak berhasil dalam studi? Bagaimana saya bisa meyakinkan mereka bahwa saya akan tetap mengasihi mereka walau apa pun yang terjadi?
  3. Bagaimana saya dapat menunjukkan belas kasihan dan kasih Allah kepada anak-anak saya setiap hari? Bagaimana meneladankannya dalam sikap, perbuatan, dan perkataan?
Disadur dari buku Discovery Series “Help! I’m Stressed About My Child’s Education”, by Ruth Wan Lau, © 2019 Our Daily Bread Ministries.