Reformator John Calvin pernah berkata bahwa ketika berbicara kepada kita, Allah “berbicara dengan cara yang biasa dilakukan perawat saat berbicara dengan anak-anak kecil”.1 Dengan kata lain, Allah berbicara kepada kita dalam bahasa bayi. Kata Calvin, Allah melakukan ini karena Dia adalah kasih. Allah tidak pernah lupa berapa pun umur kita, di mata Allah kita tetap bayi yang tidak berdaya, bergantung, dan tidak tahu apa-apa.
Dalam buku The Contemplative Pastor, Eugene Peterson menulis tentang tiga bahasa yang kita pelajari dalam hidup, yaitu bahasa keintiman, bahasa informasi, dan bahasa motivasi (atau kontrol dan manipulasi).2 Bahasa pertama kita adalah bahasa keintiman, yaitu bahasa yang kita pelajari dari ibu yang berbicara kepada kita dalam bahasa bayi dan menyanyikan lagu nina bobo untuk kita. Itulah percakapan penuh kasih seperti, “Anakku sayang, Mami sayang banget sama kamu. Permata hati Mami. Kesayangan Mami!” Bahasa cinta ini sering dihubungkan dengan ibu karena ibulah yang paling sering berbicara dengan bayinya, dan dari ibunyalah seorang bayi pertama kali belajar bahasa pertamanya. Bukan kebetulan jika bahasa ini disebut “bahasa ibu” dan tidak pernah disebut “bahasa ayah”.
Ketika anak tumbuh besar, sebelum dan selama di sekolah, ia diperkenalkan kepada bahasa informasi. Inilah bahasa edukasi yang mengajar anak-anak tentang apa yang disebut dengan “tinggi” atau “rendah”, dan apa itu “hijau” atau “merah”. Bahasa ini berkaitan dengan huruf dan angka dan banyak kosa kata yang akan diajarkan kepada anak agar mereka mampu berinteraksi dengan dunia sekitarnya. Bahasa informasi ini mempunyai arti lebih penting daripada bahasa keintiman; bila si anak ingin berhasil di sekolahnya, ia harus menguasai bahasa informasi ini.
Ada lagi bahasa ketiga yang dipelajari seorang anak ketika ia masuk ke dunia sekolah. Ia akan melihat kalau guru berkata, “duduk”, “berdiri”, atau “berbaris”, maka semua anak akan melakukan perintah tersebut. Ia mulai tahu kata-kata memiliki kekuatan untuk mempengaruhi orang lain dan dapat membuat orang lain melakukan sesuatu. Ia telah mengenal bahasa kendali atau motivasi. Saat anak mulai belajar berinteraksi, anak itu belajar bahwa bahasa yang satu ini penting. Saat anak bertumbuh dewasa, ia belajar menggunakan bahasa ini di tempat kerja.
Di tempat kerja, kita harus menguasai bahasa informasi dan kendali. Anda perlu bahasa informasi untuk membuat presentasi atau laporan, dan bahasa kendali untuk memotivasi rekan kerja Anda atau memberi instruksi kepada bawahan Anda. Bahasa keintiman cenderung disepelekan atau dilupakan. Bahasa ini kembali dipakai anak-anak muda yang sedang jatuh cinta dalam masa pacaran dan di tahun-tahun pertama pernikahan. Bahkan dalam keluarga, bahasa ini sering dilupakan karena tekanan dalam hidup dan orang-orang lebih banyak memakai pendekatan pragmatis dalam komunikasi keluarga.
Bahkan dalam hubungan kita dengan Allah, kita lebih sering memakai bahasa informasi dan manipulasi. Kita sering memakai bahasa informasi sewaktu berdoa. Kita membombardir surga dengan informasi, seolah surga tidak tahu apa yang sedang terjadi di dunia. Bapa kita di surga sudah tahu apa yang kita butuhkan bahkan sebelum kita memintanya (Matius 6:8). Janji Allah jelas: “Sebelum mereka memanggil, Aku sudah menjawabnya; ketika mereka sedang berbicara, Aku sudah mendengarkannya” (Yesaya 65:24). Lebih dari sekadar bahasa informasi yang pragmatis, Allah ingin mendengar bahasa kasih yang intim.
Pada kesempatan lain, kita mungkin menggunakan bahasa kendali dalam doa. Kita ingin Allah melakukan apa yang kita perintahkan. Kita mendesak-desak agar Allah merespons dengan segera. Namun, ini bukan doa, karena pada dasarnya doa adalah hubungan yang dipelihara terutama dengan bahasa keintiman. Inilah sebabnya ketika berdoa Yesus memanggil Allah sebagai “Abba” atau “Bapa”. Doa Bapa Kami yang Dia ajarkan seluruhnya disusun dengan bahasa keintiman. Itulah doa yang berfokus pada kelimpahan hubungan yang kita miliki dengan Allah (Dia sebagai Bapa, Raja, Tuhan, Pemelihara, Pelindung, dan lain sebagainya).
Seharusnya prinsip-prinsip yang sama juga kita gunakan dalam berkomunikasi di rumah. Orangtua harus belajar menjalin percakapan dengan menggunakan bahasa keintiman. Daripada sekadar memberi atau menanyakan informasi (Ada PR? Jam berapa mau dijemput?), orangtua dapat mengungkapkan perasaan mereka (Mama hargai apa yang sudah kamu lakukan. Mama kangen…) atau katakan sesuatu tentang hubungan itu sendiri (Papa bangga lho punya anak seperti kamu. Kita perlu lebih sering meluangkan waktu bersama).
Anak-anak memperhatikan orangtua mereka dan belajar darinya.
Ketika kita berbicara kepada anak-anak kita, kita cenderung memakai bahasa yang kita kuasai dengan baik—bahasa di tempat kerja. Setiba di rumah, kita tidak mengubah bahasa yang kita pakai. Kita malah memakai bahasa informasi kepada anak-anak kita (Mana yang mesti Papa tanda tangani? Kapan hasil ujianmu keluar?). Kita juga menggunakan bahasa kendali (Matikan TV! Habiskan makananmu! Ayo berbagi! Tidur sana!) Orangtua mungkin terlalu lelah atau lalai untuk memakai bahasa keintiman ketika berbicara dengan anak-anak mereka (Mami dan Papi sayang padamu. Kamu kelihatannya lelah, Nak, kamu baik-baik saja? Bagaimana hari pertamamu di kelas yang baru, Nak?)
Bahasa keintiman meningkatkan kemampuan mendengarkan, bukan saja terkait fakta melainkan juga perasaan. Bahasa keintiman berfokus pada hubungan di antara mereka yang terlibat dalam percakapan. Ketika orangtua menggunakan bahasa tersebut, anak akan merasa dirinya dihargai, didengarkan, dan diperlakukan sebagai manusia yang unik.
Seperti ditulis oleh Calvin, sungguh luar biasa Allah berbicara kepada kita dengan bahasa keintiman bahkan ketika kita sudah dewasa. Kepada Anak-Nya sendiri, Allah berkata, Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan” (Markus 1:11). Kepada kita, Dia berkata, “Kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri” (Keluaran 19:5), “Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau” (Yesaya 41:10), dan “Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal” (Yeremia 31:3).
Bila Allah Bapa berbicara kepada kita dengan lembut dan penuh kasih, bukankah sebagai orangtua duniawi kita juga harus berbicara dengan cara yang sama kepada anak-anak kita?
Renungkan
Apakah Allah berbicara kepada kita dalam “bahasa bayi”? Apa artinya itu terkait dengan cara Allah berhubungan dan berkomunikasi dengan kita?
Renungkan tiga bahasa yang dijelaskan dalam artikel ini. Mengapa penting untuk berbicara dalam bahasa keintiman ketika kita bercakap-cakap dengan pasangan dan anak-anak kita?
1. John Calvin, The Institutes of the Christian Religion, Christian Classics Ethereal Library, diposting 1 Juni 2005, buku 1, bab 13, 1, http://www.ccel.org/ccel/calvin/institutes.iii.xiv.html
2. Eugene Peterson, The Contemplative Pastor: Returning to the Art of Spiritual Direction (Grand Rapids, William B. Eerdmans, 1993), 91-93.
Diadaptasi dari buku “Membangun Generasi Mendatang: Perenungan Alkitabiah Tentang Pola Asuh Anak” © 2019 oleh Robert M. Solomon. Dipakai seizin Duta Harapan Dunia.
Anda diberkati dengan materi ini?
Pastikan Anda tidak ketinggalan membaca tulisan-tulisan terbaru kami lainnya.