Kenapa orang dewasa suka sekali ribut tiap malam? Hanya satu saja sebenarnya pemicunya, setidaknya untuk orangtuaku berantem dan bersitegang, yaitu masalah ekonomi. Untuk makan hari ini saja belum tentu ada makanan di atas meja. Eh, masih ditambah lagi dengan kebiasaan bapakku yang banyak menghamburkan uangnya untuk membeli rokok. Ya, bapakku seorang perokok berat. Rokok tak pernah lepas dari mulutnya, bahkan pernah kudapati dia tertidur sambil merokok. Aneh bin ajaib bapakku ini. Dia bisa memuaskan hasrat merokoknya, tetapi untuk makan anak-anaknya saja tidak jelas apakah ada atau tidak.

Suatu hari kuberanikan diri untuk bertanya kepada Bapak, “Pak, kenapa kok merokok terus? Itu sudah batuk-batuk kok nggak mau berhenti merokok?”

“Kalau aku kamu larang merokok, kamu aku larang makan ya?”

“Lho, kok nggak masuk akal. Makanan kan semuanya butuh, kalau rokok kan cuma Bapak yang butuh,” tukasku.

“Wah, sudah pintar menyahuti orangtua kamu, ya?” ia memelototiku sambil melontarkan kalimat pamungkas yang selalu ia gunakan untuk mengakhiri pembicaraan yang mengkritik kebiasaan buruknya.

Rasanya aku ingin berteriak, “Keluarga kita butuh makanan, bukan rokok!” Tapi aku tidak sanggup menyuarakannya. Dialog-dialog semacam itu sudah terlalu sering memancing keributan di rumah. Hatiku semakin penuh dengan kepahitan. Sejak itu, aku, Juan, bertekad kuat untuk tidak melakukan seperti yang bapakku lakukan terhadap keluarga kami. Dan aku juga tidak akan merokok seumur hidupku. Pokoknya, aku tidak mau menjadi seperti bapakku!

Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Efesus mengatakan: “Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan” (Efesus 6:4). Ini persis seperti yang kualami: aku marah kepada bapakku dan kemarahan ini membuatku tidak ingin berbagi hidup dengannya. Bahkan kalau bisa seandainya bapakku menempuh jalan ke kiri, maka aku pasti akan ke kanan. Kalau bapakku merokok, aku tidak akan menyentuh rokok seumur hidup. Kalau bapakku kasar terhadap ibuku, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk selalu menunjukkan kasih yang besar kepada istriku kelak. Yang jelas, aku tidak ingin menjadi seperti bapakku.

Kehidupan yang serba sulit dan tidak tenang ini selalu mendorongku untuk kabur dari rumah. Namun, tangisan Ibu selalu berhasil menahan keinginanku. Aku terkungkung di rumah ini, di antara gemuruh pertengkaran demi pertengkaran serta perdebatan-perdebatan kecil yang memicu tindak kekerasan yang tak terelakkan. Kejadian demi kejadian ini menjadi benih-benih kepahitan yang semakin menumpuk dalam hidupku.

Sampai akhirnya hari yang kutunggu datang juga, yaitu pernikahan. Sudah lama aku menantikan momen ini. Aku berharap pernikahan akan membebaskan kehidupanku dari kehidupan di rumah yang seperti neraka.

Singkat cerita, waktu berlalu dan kami dikaruniai buah hati yang mewarnai kehidupan kami berdua. Namun, meski kami sudah merancang bagaimana mengasuh anak dengan baik, tetapi selalu saja ada masalah dan keributan-keributan kecil dalam pernikahan kami.

Akhirnya istriku mengambil keputusan besar untuk berhenti bekerja dan fokus mengasuh anak. Namun, memiliki anak balita ternyata tidak seindah yang dibayangkan. Di balik wajah imutnya, seorang balita menuntut perhatian dua puluh empat jam penuh sehingga kami harus merelakan jam tidur kami berkurang dan menjadi tidak teratur. Apalagi di umur 16 bulan dia sudah berjalan, bahkan berlari. Sekilas memang tampak menyenangkan, tetapi capek juga mengikuti ritme bermainnya, sehingga kami sering lempar tangan untuk menemaninya bermain. Tak jarang istri berkata begini saat aku pulang dari bekerja: “Ini lho anaknya, gantian kamu yang jaga!”

“Gimana sih? Aku ini kan baru selesai kerja, masa nggak dikasih waktu untuk istirahat dulu?” jawabku sambil memegang HP.

“Kamu kok enak, ya? Habis kerja langsung pegang HP, bukan anaknya.”

Tiba-tiba si mungil mendekatiku sambil membawa selimut. Mulutnya yang masih sulit membentuk kata-kata, hanya mengoceh seakan-akan bilang,

“Ayo, Pak, main dulu, taruh HP- nya.”

Seketika aku tersentak oleh kesadaran bahwa apa yang kubenci dari bapakku sendiri sekarang sedang kulakukan! Meski aku telah bertekad kuat untuk tidak meniru perilaku Bapak, tetapi faktanya, ada sifatnya yang menurun dalam diriku. Seperti saat ini, aku lebih suka memuaskan keinginanku bermain HP, bukannya memenuhi kebutuhan anakku sendiri untuk mengajakku bermain. Persis seperti dulu bapakku begitu egois mengisap rokok, tanpa melihat kebutuhanku, anaknya sendiri, yang membutuhkan kepastian untuk mendapatkan makanan setiap hari.

Inikah yang namanya dosa turunan? Ternyata tekad kuat saja tidak dapat mematikan benih-benih kebiasaan buruk bapakku yang telanjur tertanam dalam diriku. Tanpa sadar, benih itu tumbuh dan menampakkan dirinya ketika aku sudah menjadi seorang ayah. Rupanya kepahitan yang tidak diselesaikan hanya menjadi kamuflase perasaan, sehingga kebiasaan buruk itu tetap ada dan akan terus ada, tanpa menyadari bahwa kebencian hanya membuat sifat buruk bapakku melekat dalam hidupku.

Peristiwa tersebut menyadarkanku bahwa aku harus berubah! Seperti firman Tuhan yang mengatakan: “Atau kalau kamu seorang bapak dan anakmu minta roti, kamu tidak akan memberikan batu kepadanya—bukan?! Atau ketika anakmu minta ikan, kamu tidak akan memberikan ular yang berbisa kepadanya—bukan?! Atau kalau dia minta telur, kamu tidak akan memberi kalajengking kepadanya—bukan?! Jadi, kalau kamu yang jahat tahu memberikan yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di surga!” [Lukas 11:11-13a versi Terjemahan Sederhana Indonesia (2014)]. Aku malu pada diriku sendiri. Anakku tadi hanya meminta waktuku untuk bermain dengannya. Masakan aku tidak mau? Tidak cukup seorang ayah hanya mencukupi kebutuhan anak-anaknya dari segi materi, tetapi terutama juga dari segi waktu dan perhatian. Meski mungkin aku memiliki teladan yang kurang baik dari sosok ayahku, tetapi sesungguhnya aku memiliki teladan dari Bapa Surgawi yang sempurna. Dengan berpegang pada perintah-Nya, aku pasti akan dimampukan menjadi ayah yang baik bagi anakku.