“… karena cinta itu kuat seperti maut, kegairahan gigih seperti dunia orang mati…” (Kidung Agung 8:6c).

Mendadak Raina tersipu saat membaca firman Tuhan ini. Cinta memang sulit dibendung, saking kuatnya hingga sanggup membuat orang yang dilandanya kehilangan akal sehat dan nekat mempertaruhkan apa saja demi cinta. Ia jadi teringat aksi nekat seorang pemuda tetangganya puluhan tahun silam.

“Aku akan ke rumah anak itu dan melabrak orangtuanya,” suara Ayah menggelegar.

“Apa-apaan sih…” Raina langsung geram mendengar ucapan ayahnya barusan. Namun, tetap saja dia tidak berdaya melarang ayahnya pergi ke rumah tetangga jauh mereka, tempat dari mana surat itu berasal.

Surat? Ya… what a silly matter. Sebenarnya ini hanya persoalan yang super duper receh yang tidak perlu dibesar-besarkan sampai membawa-bawa orangtua segala. Seorang remaja jatuh cinta lalu mengirim surat kepada teman yang ditaksirnya… itu hal biasa saja sebenarnya.

Semuanya bermula sore itu, ketika adik Raina kembali dari rumah temannya sambil membawa sepucuk surat. Dengan polos gadis itu berkata, “Kak, ini ada surat untuk Kakak… dari teman laki-laki yang rumahnya di ujung jalan sana.”

Tentu saja berita itu langsung menembus dinding-dinding bambu rumah mereka, menggaung jauh dari telinga ke telinga penghuni rumah dan mendarat dengan indah di telinga ayahnya. Dengan sigap Ayah langsung menyambar surat itu dari tangan Raina, merobek sampul indahnya, dan membaca barisan kata-kata romantis yang kontan membuat wajahnya merah padam tidak karuan.

Raina yang tidak tahu-menahu isi surat itu jadi risau dan menebak-nebak isinya. Dari omelan ayahnya yang panjang-pendek, Raina akhirnya dapat menyimpulkan kalau sebenarnya itu surat cinta yang ditujukan kepadanya. Tapi ia tidak pernah kenal dengan pemuda di ujung jalan yang dimaksud adiknya. Selama ini Raina tidak banyak bergaul dengan lawan jenis, karena pembatasan-pembatasan yang dibuat oleh ayahnya.

Tapi siapa sebenarnya nama pengirim surat misterius ini? Dari mana pemuda itu tahu nama Raina, dan mengapa ia bisa diam-diam jatuh cinta kepadanya? Meskipun Raina tidak tahu-menahu tentang pemuda itu, dia harus melakukan sesuatu untuk mendapatkan surat itu kembali dan menghancurkannya. Jangan sampai terjadi keributan antara Ayah dan tetangga gara-gara surat cinta itu. Maka saat ayahnya lengah, Raina meraih surat itu dari atas meja, dan langsung merobek-robeknya tanpa sempat membaca isinya. Ia bahkan mengambil korek api dan membakar sobekan surat tersebut.

Ayahnya memang sangat ketat dalam mendidik anak. Beliau mengeluarkan banyak peraturan ini dan itu supaya anak-anak gadisnya (Raina empat bersaudara, perempuan semua, dengan jarak umur selisih 2-3 tahun saja) hanya fokus bersekolah saja. Sang ayah rela bekerja keras, siang dan malam, agar pendidikan putri-putrinya tidak terhenti di tengah jalan. Raina dan saudara-saudaranya berusaha menghargai kerja keras sang ayah dengan belajar segiat mungkin demi meraih prestasi terbaik.

Namun, di sisi lain keempat gadis ini juga tertekan oleh kedisiplinan yang ayah mereka terapkan secara berlebihan. Banyak peraturan Ayah yang mereka anggap tidak masuk akal. “Seperti yang terjadi sekarang ini, kami dilarang jatuh cinta! Bahkan, orang lain juga tidak boleh jatuh cinta kepada kami! Bukan cuma itu! Kami juga dilarang membantu mengerjakan pekerjaan rumah; pokoknya tugas kami hanya belajar dan belajar saja. Dalam pemahaman Ayah, urusan anak sepenuhnya jadi urusan orangtua. Kadang-kadang, bahasa kasih orangtua sulit dipahami anak-anaknya,” keluh Raina dalam hati.

Sekarang, setelah dewasa dan bertahun-tahun berkecimpung dalam dunia pelayanan anak dan remaja, Raina bertemu anak-anak remaja yang mengingatkan dia pada masa remajanya sendiri dulu (dengan ayah yang kelewat disiplin). Ia banyak menemukan kasus remaja yang menyesali kelahirannya di tengah keluarga yang tidak sempurna, seperti lahir dari hubungan tidak resmi orangtuanya, lahir di keluarga yang orangtuanya tidak lengkap, keluarga miskin, keluarga berantakan, keluarga kaya tapi kesepian, dan banyak lagi. Keadaan ini membuat banyak anak menilai diri sendiri terlalu rendah sehingga mereka terjatuh ke dalam berbagai dosa seperti percabulan, pornografi, cross gender, ataupun rendah diri berlebihan. Akibatnya, tidak sedikit yang kemudian bunuh diri karena tidak kuat menahan tekanan hidup.

Demikian juga Raina. Sewaktu remaja, ia rendah diri. Setiap kali ada teman yang jatuh hati padanya, otomatis ia mundur dan memasang tembok pertahanan diri. Ia juga sulit mengambil keputusan secara mandiri karena dulu segala sesuatu diputuskan oleh orangtuanya. Dampak dari didikan orangtua yang terlalu keras ternyata tidak hanya mempengaruhi hubungannya dengan orang lain, tetapi juga membuatnya bersikap terlalu keras pada diri sendiri, tidak menolerir ketidaksempurnaan, dan memiliki idealisme terlalu tinggi.

Dampak buruk juga dirasakan oleh saudara-saudaranya. Sampai saat ini, ketiga saudara perempuannya yang sudah melewati usia 40 tahun belum ada yang menikah. Saat Ayah akhirnya melonggarkan peraturan percintaan, mereka merasa terlambat untuk mulai jatuh cinta. Ada rasa takut jangan-jangan mereka akan mendapatkan suami yang sifatnya mirip Ayah. Rupanya, diam-diam, tanpa mereka sadari, telah tumbuh penolakan pahit karena didikan keras dan cenderung kasar yang diterapkan Ayah dalam keluarga.

Namun, lagi-lagi ada Tuhan yang sangat bijak dalam mengatur waktu dan peristiwa. Meski ada banyak kepahitan, kebencian, juga kemarahan yang tanpa sadar Raina pendam sejak kanak-kanak, menjelang remaja ia mendapatkan pemulihan. Dalam sebuah retreat, firman Tuhan menempelak dengan keras hingga masuk ke relung hati Raina yang terdalam, menghancurkan semua ego dan beragam keberdosaan yang selama ini disimpannya rapat-rapat, yang tanpa sadar telah menggerogotinya dengan perasaan bersalah, dendam, dan nafsu liar remajanya. Allah berbisik lembut melalui firman-Nya, “Engkau berharga di mataku dan Aku ini mengasihi Engkau” (Yesaya 43:3a). Firman inilah yang membawa Raina pada kesadaran bahwa ia memiliki tujuan hidup yang lebih mulia bahkan sebelum terlahir ke dunia. Allah sudah merancangkannya untuk kebaikan pada akhirnya. Ia yakin rancangan Allah itu juga akan terjadi atas remaja-remaja di masa kini juga atas diri seorang pemuda yang diam-diam telah jatuh hati padanya hanya karena Raina selalu berjalan lewat depan rumahnya setiap hari saat berangkat ke sekolah. Si pengirim surat cinta, yang sampai saat ini tidak pernah berkenalan dengan Raina, dan juga sepucuk surat cinta pertama untuk Raina yang telanjur musnah tanpa sempat dibacanya.