Ibu berpulang suatu pagi, pada hari Rabu terakhir tahun 2021. Ia seolah menunggu kami dilengahkan lelah, lalu mengendap-endap meninggalkan kehidupan. Mungkin, Ibu menganggap barisan doa dan kidung pujian yang semalaman bergantian kami naikkan telah lunas sebagai salam perpisahan. Mungkin, permohonan maaf dan ucapan terima kasih yang kami bisikkan selama minggu-minggu terakhir hidupnya telah cukup sebagai isyarat keikhlasan. Mungkin… ah, masih banyak mungkin-mungkin lainnya, tetapi semua itu telah selesai, karena “Ibu sekarang sudah bahagia bersama Bapa.” Begitulah kata-kata penghiburan yang diucapkan para kerabat. Bukan, bukannya kami tidak meyakini hal itu. Malahan, itulah satu-satunya penghiburan dan sumber sukacita kami dalam hal kepergian Ibu. Namun, begini. Mudah untuk mengucapkan “Ibu sekarang sudah bahagia bersama Bapa.” Hanya saja, sebagai anak-anak yang ditinggalkan, jurang teramat dalam yang harus kami seberangi hingga tiba di kalimat itu sungguh tak mudah.
Ibu jatuh sakit tanpa peringatan lebih dulu. Pada suatu hari ia masih aktif dan bugar, lalu hari berikutnya ia hanya bisa terkapar. Vonisnya tidak tanggung-tanggung—dokter memperkirakan hidupnya tinggal 3-6 bulan, dan kanker menjanjikan perjalanan yang tidak mudah baginya. Sulit rasanya menggambarkan perasaan kami waktu itu. Sedih. Terpukul. Goyah. Takut. Kami sama sekali tidak siap menerima kenyataan ini dan berharap dokter keliru. Namun, yang terlebih memilukan dari semuanya adalah menyaksikan ibu kami patah dan gentar. Ada sesuatu yang meremukkan, saat kita menyaksikan orang yang selama hidupnya setia dalam pelayanan, mendapati imannya begitu rapuh sewaktu dihadapkan dengan penderitaan. Apalagi jika orang itu sangat kita kasihi.
Sebagai orang percaya, kita tahu hidup kita tidak akan diluputkan dari penderitaan. Aku tahu. Ibu juga tahu itu. Rasul Matius bahkan menulis, “Berbahagialah orang yang berdukacita karena mereka akan dihibur” (Mat. 5:4). Namun, saat penderitaan sungguh-sungguh melawat kita dan bukan orang lain, pengetahuan itu langsung menguap tanpa bekas. Tahu-tahu saja kami disentakkan kenyataan pahit bahwa musim kami untuk mengasihi Ibu sebentar lagi habis. Dan seperti orang yang tenggelam kami pun panik, menggerapai, mengibas, mencari-cari sesuatu yang dapat dijadikan pegangan.
Aku ingat bulan pertama Ibu jatuh sakit. Hari demi hari kami isi dengan berburu pendapat dokter ke-2, ke-3, ke-4, dan malam demi malam kami jejali dengan doa yang merongrong Tuhan agar menurunkan mukjizat. Namun, sampai ke mana pun kami mencari, pernyataan demi pernyataan dokter hanya mendatangkan kecewa. Dan sepanjang apa pun doa-doa kami, kami terus dicekik oleh teriakan kami sendiri sehingga kami tidak dapat mendengar apa-apa lagi termasuk bisikan lembut Tuhan melalui firmanNya.
Lalu waktu pun menipis begitu cepat, dana terkuras, kesehatan Ibu mundur tanpa bisa dicegah. Kanker menggerogoti tubuh dan menyudutkan imannya dengan pertanyaan dan tudingan bahwa Tuhan menghukumnya, bahwa ia kurang beriman, bahwa semua ini tidak adil. Ia kesakitan, takut, marah, sedih, semua bercampur aduk. MARAH kepada para dokter. Kepada kami anak-anaknya. Kepada Tuhan. Kepada dirinya sendiri.
Suatu pagi ketika giliranku menungguinya, Ibu perlahan membuka mata dan menatapku. “Tuhan tidak akan menyembuhkan Mama,” bisiknya parau. Nadanya seolah kalah. Saat itu sudah memasuki bulan keempat. Pikiran-pikiran Ibu semakin sering timbul-tenggelam dalam ilusi, tumpang tindih dan sulit dimengerti. Namun hari itu, aku ingat, ia berbicara dengan sangat jernih, meski pandangannya bersaput air mata. “Mama nggak ngerti kenapa. Mama tanya, tapi Tuhan diam saja. Mungkin suatu hari nanti Tuhan bersedia memberi tahu…” ia memejamkan mata dan mendesah, “Tapi… mungkin juga tidak.” Kemudian ombak apatis gulung-menggulung menerjang dan Ibu tenggelam, dan mau tak mau kami pun menyelam, meraihnya, membujuknya naik kembali ke ruang-ruang doa.
Jangan bayangkan ruang-ruang doa dalam musim penderitaan itu dipenuhi kedamaian dan terang benderang oleh cahaya iman serta penyerahan diri. Tidak, ruang doa kami sama sekali tidak seperti itu. Di sana hanya ada jerit panik, dan doa-doa kami gagap, gugup, tersandung-sandung. Waktu bisa tahu-tahu habis, tapi bagaimana caranya engkau berdoa dalam duka? Ketika lidahmu dikelukan penderitaan ibumu dan imanmu hanya setipis bayang-bayang? Ketika engkau begitu takut ibumu tersesat dalam kelemahan dagingnya dan tak dapat mengalami Tuhan?
Aku tidak tahu, bahkan sekarang, setelah semuanya lewat, aku tidak sungguh-sungguh tahu jawabannya. Waktu itu, kami hanya tidak tahu cara lain untuk menolong Ibu dan menghadapi semua ini selain menyerahkannya kepada Tuhan. Aku cuma tahu—kami, Ibu dan kami semua—bahwa semakin kami menjauh dari-Nya, semakin dalam perasaan kosong yang melanda. Aku cuma tahu, kami butuh mengalami Tuhan dalam segala musim kehidupan, dan musim penderitaan ini adalah yang paling jahat. Aku cuma tahu, kami butuh mengalami Tuhan, agar di musim penderitaan seperti sekarang ini, kami tidak terperangkap sendirian. Tanpa pengharapan. Ditelan gelapnya keputusasaan.
Dan yang “aku cuma tahu” itu ternyata cukup, sebab Allah yang mengasihi dalam segala musim kehidupan itu sanggup mendengar melampaui apa pun yang tak terungkapkan dalam doa-doa kami. Persis seperti yang tertulis di Alkitab, “Pencobaan–pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan–pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.” (1 Korintus 10:13)
Ada hal-hal yang hanya dapat kita pelajari dengan baik di tengah penderitaan, konon begitu katanya, dan mengenal Allah adalah salah satunya. Hanya di dalam kepedihan dan duka, kita dapat semakin mengenal Dia, sang Penguasa Waktu dan segala musim kehidupan kita, begitulah yang kubaca dalam salah satu renungan Santapan Rohani. Rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanMu dan rancangan-Ku dari rancanganmu.(Yesaya 55:8-9). Bahwa kita hanya dapat melihat apa yang terjadi di depan mata, tetapi Allah mengetahui gambaran besar kisah kita yang telah Dia siapkan bagi kita. Bagi Ibu. Bagi kami. Bagi Anda.
Pertolongan-Nya sering kali datang dalam senyap, dan tidak langsung dikenali. Namun ketika mulai membuka hati, kami dapat menangkap indahnya pertolongan Bapa. Meski pandemi Covid-19 telah menghapus banyak kegiatan pelayanan gereja, termasuk pelayanan untuk lansia dan orang sakit, Tuhan menggerakkan hati dua sahabat Ibu yang setia datang untuk mendoakan dan mendampingi kami. Perlahan dan pasti, doa-doa mereka menopang dan membangun doa-doa kami, hingga sedikit demi sedikit, hati Ibu dan hati kami kembali terarah kepada Tuhan. Sekali lagi kami belajar duduk bersama-Nya, bergumul melewati duka dan penderitaan kami, mendoakan Ibu, membawa Ibu, menyerahkan Ibu ke dalam tangan-Nya.
Bulan-bulan penuh pergumulan itu masih berat dan pelik, tetapi kami dapat menanggungnya. Dan di tengah proses itulah salah satu ucapan Charles Spurgeon yang terkenal muncul di linimasa Instagram-ku: “Aku telah belajar mengecup ombak yang mengempaskanku ke Gunung Batu yang Kekal.” Mengecup, katanya, bukan menerjang panik seperti orang yang nyaris tenggelam. Mengecup, katanya, karena ombak-ombak kehidupan yang paling sulit sekalipun akan mengempaskan kita kepada Allah, yang dengan kuasa-Nya telah merancangkan segala musim dalam kehidupan kita bagi kebaikan kita dan kemuliaan-Nya.
Beberapa malam yang lalu, salah satu sahabat Ibu tersebut mengutip Roma 8:28 dalam pesan WA-nya: “’Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia…’ Penyakit dan penderitaan Mama memang bukan sesuatu yang baik, tetapi Allah dengan kuasa dan kasih-Nya dapat memakai semua itu untuk mendatangkan kebaikan bagi kita semua dan mengantar kita kepada-Nya.”
Lama aku terdiam membaca pesan itu, lalu aku teringat sesuatu. Aku tadi menyatakan bahwa pertolongan Tuhan sering kali datang dalam senyap, dan tidak langsung dikenali. Namun, aku lupa menyaksikan, bahwa pertolongan dan pemeliharaan Tuhan juga tidak jarang sangat nyata dan lantang, tetapi manusia baru dapat memahaminya setelah semuanya selesai. Dalam narasi Ibu, salah satu bentuk pertolongan Tuhan yang nyata itu adalah ketersediaan dana pengobatan. Di ujung musim yang sulit itu, kami menemukan bahwa Tuhan membukakan jalan-jalan yang tak terbayangkan sehingga kami dapat menanggung semua biaya pengobatan, dan itu adalah salah satu bentuk pemeliharaan Tuhan yang kami syukuri.
Ibu akhirnya mengembuskan napas terakhir pada hari Rabu di penghujung tahun 2021. Sehari sebelum jatuh ke dalam koma, dengan wajah mengerut kesakitan, ia mengangkat tangan dan menyerukan satu kata, “Yesus!” Bagi kami, seruan itu adalah isyarat yang menandakan Ibu telah tuntas menyeberangi jurang dari kehendaknya untuk sembuh, menuju kehendak Bapa untuk beristirahat di dalam-Nya. Meski duka kami teramat dalam, meski kepedihan kami nyaris tak tertahankan, seruan Ibu menghadirkan perasaan syukur yang melegakan. Kami percaya, Ibu telah tiba ke dalam peluk kehendak Bapa yang aman, yang damai, yang akan memberinya istirahat. Kami percaya, kami sama-sama telah tiba pada ucapan itu, bahwa “Ibu sekarang sudah bahagia bersama Bapa,” bahwa kasih-Nya tak pernah meninggalkan kami di segala musim kehidupan.