Ada peristiwa-peristiwa dalam hidupmu yang akan abadi dalam ingatanmu. Kamu ingat hari dan tanggalnya, bahkan mungkin warna pakaian yang kamu kenakan, pikiran yang menguasai benakmu, atau harapan yang kamu genggam erat dalam hatimu. Kamu ingat setiap detail itu karena tepat saat itulah hidupmu diterjang gelombang Tsunami yang mengubah segalanya. Aku pernah mengalaminya, dan aku masih mengingatnya seolah peristiwa itu baru terjadi kemarin. Padahal sepuluh tahun telah berlalu sejak saat itu.
Putraku Gavin lahir dalam kondisi sehat. Ia bayi yang rupawan, dan hingga usianya satu setengah tahun, aku tidak melihat ada yang tidak beres pada diri putraku ini. Ia sudah bisa menyanyikan “Haleluya, puji Tuhan” sambil bertepuk tangan lengkap dengan gerakan. Lucu. Menggemaskan. Namun, perlahan, nyaris tak kasatmata, mataku mulai memetiki kemunduran-kemunduran kecil yang menghinggapinya, sementara hatiku mulai diperciki perasaan waswas. Ya Bapa, ada apa dengan putraku?
Satu bulan, dua bulan, satu demi satu kemunduran Gavin pun semakin tegas terlihat. Ia bisa tahu-tahu menjatuhkan kepala seperti kehilangan kesadaran, lalu tak lama setelah itu kejang-kejang. Dalam sehari ia bahkan bisa mengalami lima “serangan” seperti ini. Kami kalut. Takut. Dan dengan semua perasaan itu, kami segera membawanya ke dokter. Sejak itu, dimulailah perjalanan panjang yang kadang menukik dan tak jarang begitu licin dan terjal. Tes demi tes dilaksanakan, obat demi obat diberikan, terapi demi terapi dilakukan. Doa demi doa, kenyataan demi kenyataan, harapan demi harapan, terus mengisi setiap celah hidup kami bahkan sampai sekarang.
Tak ada yang menandingi rasa jeri yang kami rasakan saat perjalanan ini baru dimulai. Begitu banyak kemungkinan-kemungkinan diagnosis yang menciutkan hati. Tidak mudah juga untuk mempersiapkan Gavin agar bisa tertidur sebelum menjalani EEG dan MRI. Proses ini selalu menegangkan, dan saat-saat menunggu hasil tes pun terasa menyiksa. Apakah Gavin harus dioperasi? Apakah nyawa anakku terancam? Apa yang harus kulakukan setelah ini? Apakah aku bisa memberikan yang terbaik bagi putraku? Sampai kapan? Aku ingat betapa derasnya doa-doaku di tengah ketidaktahuan dan ketidakpastian saat itu.
Dokter akhirnya menyimpulkan bahwa ada kelainan pada sistem saraf Gavin. Di otaknya ada gelombang yang menyebabkan serangan epilepsi. Selain itu, ia juga menderita autisme ringan. Satu-satunya pilihan untuk dapat mengendalikan kondisinya dan mencegah Gavin mengalami kejang adalah dengan mengonsumsi obat-obatan. Jangan bayangkan obatnya hanya satu-dua butir, karena sampai sekarang pun aku masih belum dapat menghafal rincian obat-obatan jangka panjang Gavin yang berlembar-lembar banyaknya.
Namun… meski diagnosis dokter terbilang tidak ringan, aku ingat untuk pertama kali sejak Gavin kami bawa ke dokter, aku merasa sedikit tenang. Paling tidak kami akhirnya tahu apa masalah Gavin, akhirnya tahu apa yang perlu dilakukan. Dan yang terpenting, akhirnya lega karena putra kami tidak perlu dioperasi.
Tak perlu bertanya, “Kenapa ini terjadi padaku? Kenapa Tuhan memberikan anak ini kepadaku?”
Awalnya, tentu saja pertanyaan ini sempat menguasaiku. Itu wajar dan manusiawi. Kita tentu boleh bertanya kepada Tuhan “kenapa?”, tetapi kurasa kita juga perlu menerima bahwa Tuhan tidak selalu akan menjawab pertanyaan kita. Namun, satu hal yang Tuhan setia lakukan bagi kita adalah, Dia akan terus menyertai.
Selain itu, doa-doa yang kunaikkan sendiri maupun yang dipanjatkan orang-orang di sekeliling kami, menguatkanku untuk tetap berpikir positif. Semua ini telah ditetapkan untuk diberikan kepada kami, tidak perlulah membuang-buang waktu untuk bertanya “kenapa”. Aku percaya bahwa jika anak ini diberikan kepadaku, maka pasti Tuhan memiliki maksud. Tuhan tidak pernah keliru menempatkan seorang anak pada orangtuanya. Jikalau kita dititipi anak yang berkebutuhan khusus maka Tuhan juga akan memperlengkapi kita dengan kemampuan yang istimewa. Dengan demikian, kita dapat menolong anak-anak istimewa ini untuk dapat menjalani kehidupan yang tidak mudah ini.
Jalani kehidupan sehari demi sehari
Sebagai orangtua, kita pastinya menyimpan kekhawatiran mengenai masa depan anak kita. Apakah nanti anak kita bisa hidup mandiri? Apakah kelak ada yang menolong dia jika kita sudah tidak ada lagi untuk merawatnya? Dan masih banyak pertanyaan berujung kecemasan lainnya, yang jika dibiarkan akan membuat kita lumpuh dan malah tidak dapat melakukan apa-apa untuk anak kita sekarang.
Dulu aku pun begitu. Namun, perjalanan ini mengajarku untuk belajar menaklukkan kecemasanku. Ada satu ayat yang terus kupegang erat setiap kali aku mulai cemas, yaitu ucapan Tuhan Yesus di Injil Matius. “Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari” (Matius 6:34). Setiap pagi, aku selalu memulai hari-hariku dengan “pulang” ke ayat ini. Dan membayangkan Tuhan Yesus mengucapkannya khusus untukku, selalu dapat menenangkan badai-badai kekhawatiranku.
Selain itu, yang juga menenangkan, aku belajar untuk melangkah dengan target-target kecil, selangkah demi selangkah, sehari demi sehari. Kubuka hariku dengan melakukan satu per satu segala sesuatu yang harus dikerjakan, sampai akhirnya kututup malamku dengan berdoa bersama putraku. Dan kuisi doa-doaku dengan memohon kepada Tuhan agar Gavin dikaruniai kepintaran demi kepintaran.
Coba bayangkan, jika dulu aku hanya terpuruk putus asa? Tentu tidak ada gunanya bagi Gavin dan keluargaku. Juga bagi diriku sendiri.
Jangan membanding-bandingkan
Percayalah, membanding-bandingkan itu hanya membuang-buang energi, tetapi toh banyak dari kita menghabiskan waktu untuk melakukannya. Mulai dari hal-hal seperti terapi apa saja sih yang diberikan orangtua yang itu kepada anaknya? sampai Anakku sudah bisa ini kok anaknya belum?
Sejak usia dua setengah tahun, kami mengikutkan Gavin dalam berbagai terapi yang memberinya kesempatan untuk memahami banyak hal. Terapi-terapi seperti itu tidak murah, tapi sangat penting bagi anak seperti Gavin. Ada terapi wicara, terapi okupasi di mana Gavin ditempatkan dalam sebuah ruang kecil bersama terapis, juga terapi sistem integrasi. Tidak satu pun dari terapi-terapi tersebut memberi hasil yang instan, bahkan tidak ada jaminan bahwa terapi yang berhasil untuk seorang anak berkebutuhan khusus, akan berhasil juga untuk anak lainnya.
Sebagai orangtua, kita perlu terus mengingatkan diri bahwa setiap anak memiliki kekuatan dan tantangannya sendiri, dan masing-masing anak berkebutuhan khusus pun memiliki tingkat perkembangan dan kemampuan berbeda-beda. Yang perlu kita lakukan adalah mengusahakan dan bersyukur atas setiap perkembangan dan pencapaian mereka. Sekecil apa pun itu. Sesepele apa pun itu di mata dunia.
Meski terkadang sulit, aku sendiri terus belajar mensyukuri hal-hal besar dan kecil. Bersyukur putraku sudah bisa tenang dan diajak menonton bersama, bersyukur setiap kali ia dapat memahami dan merespons perkataanku, bahkan mengerti saat aku marah dan mencoba berbaikan dengan cara menghampiri dan mengelus tanganku. Semua, setiap langkah kemajuan sekecil apa pun yang berhasil dicapai Gavin, selalu membuat hatiku meluap oleh rasa syukur. Suara Tuhan selalu terdengar sangat lantang lewat kemajuan-kemajuan putraku ini. Aku tidak pernah malu dan minder menjadi ibu Gavin. Anak-anak seperti Gavin hatinya baik, mereka bagai permata yang hanya perlu diasah dengan lebih sabar hingga kita berhasil menggali kemampuannya. Terus jalani sehari demi sehari tanpa membanding-bandingkan, tetapi jangan lupa untuk tetap memelihara api cita-cita, tetap setia berdoa, dan menerima semuanya dengan besar hati.
Percayakan segalanya kepada Tuhan
Meski berkali-kali teman-teman seiman mengingatkan bahwa “Tuhan sudah memberi yang terbaik, sekarang kamu harus belajar menyingkirkan kekhawatiranmu,” ada satu hal yang sesekali masih membuatku gentar—bagaimana nantinya kehidupan Gavin setelah aku dipanggil pulang oleh Tuhan?
Namun, yang menjadi penghiburan terbesarku adalah keyakinan bahwa Tuhan memegang kendali. Bahwa potensi anak-anak kita tidak tergantung pada terapi, pendidikan, bahkan pada usaha dan kemampuan kita, orangtuanya. Tuhan mempercayakan Gavin ke tanganku hanya untuk sementara waktu. Jadi hal terpenting yang harus kulakukan adalah mengasihinya dan mengarahkannya kepada Tuhan Yesus.
Menerima semua yang diberikan kepada kita akan menolong kita untuk melangkah tenang. Menjalani hidup sehari demi sehari akan memberi kita kekuatan, dan tidak membanding-bandingkan akan membebaskan kita. Namun, mempercayai Allah-lah yang mendatangkan damai sejahtera bagi kita. Sebab sesungguhnya Tuhan memiliki rancangan yang baik bagi kita dan anak kita, dan Dia akan memenuhi rancangan itu serta memberi jalan keluar bagi orang-orang yang terus berpegang pada-Nya.
Keyakinan seperti ini jugalah yang menolongku memelihara pengharapan. Aku tetap berharap suatu hari kelak Gavin dapat hidup mandiri. Berharap, suatu saat ia dapat mengobrol dengan orangtua dan sesamanya. Aku terus memelihara harapan bahwa hidupnya bisa menjadi berkat bagi orang lain. Dan berdoa, kelak aku dapat mendengar ia bernyanyi lagi, “Haleluya, puji Tuhan!”
Anda diberkati dengan materi ini?
Pastikan Anda tidak ketinggalan membaca tulisan-tulisan terbaru kami lainnya.