Derit kursi roda memecah kesunyian jalan berbatu di tepi danau itu. Angin nakal menyibakkan rambut putih Oma, memperlihatkan senyum bahagia terus tersungging di bibir merahnya. Matanya yang dulu tajam kini menyapu pemandangan dengan tatapan nostalgia, seolah kembali ke suatu hari dan tempat di Australia bertahun-tahun yang lalu. Sementara Lena hanyut dalam lamunannya sendiri sambil mendorong kursi roda.

“Bagaimana keadaan suamimu?” Oma menengadah ke arahnya, membuyarkan lamunan Lena.

Lena terkesiap, sejenak ia hanya bisa terpaku, seolah lupa cara bercerita. “Ahya…dia sedang tidak enak badan, Oma,” jawabnya gelagapan.

Loh, dia sakit apa?” tanya Oma lagi.

Lena terdiam. Sungguh, ia bingung bagaimana melukiskan keadaan suaminya yang sebenarnya. “Aku… aku nggak ngerti sih, Oma. Dia sebenarnya sakit sedikit tapi seolah-olah sakitnya banyak sekali,hanya itu yang bisa Lena ungkapkan saking bingungnya mendeskripsikan keadaan Dodi, suaminya.

Tawa Oma meledak, bukan hanya karena jawaban Lena, tapi juga karena ekspresinya. Bukan sekali ini ia melihat raut serupa di wajah wanita-wanita muda yang datang meminta nasihat kepadanya. Sebab memang cinta dalam pernikahan tak pernah mudah, dan meski ini sudah ada sejak zaman purba, manusia sulit mengingat hikmatnya.

Itu sifat laki-laki Lena, semua laki-laki memang begitu,” katanya geli.

Lena terkejut dengan reaksi Oma. Ada sedikit perasaan lega yang pelan mengaliri hatinya. Benarkah, Oma? Jadi aku bukan satu-satunya wanita di dunia ini yang menghadapi laki-laki yang mendadak tak berdaya padahal cuma flu belaka? batinnya. Ia tersenyum, matanya berkaca-kaca. “Begitu ya, Oma. Ternyata suamiku bukan satu-satunya, ya.

Kau harus belajar dari Oma yang sudah menjalani pernikahan lebih dari lima dekade,” kata Oma lembut. “Meskipun Opa sudah tiada, tapi ingatan Oma tentang Opa terus melekat. Bahkan sampai hal-hal remeh,” ucapnya.

Lena mengangguk. Bukan cuma itu, pengalaman pernikahan beliau yang tidak mudah justru menjadi kesempatan bagi beliau menjadi saksi iman dan menolong puluhan bahkan ratusan pasangan yang bergumul untuk memahami pasangan masing-masing seperti Lena. Hal-hal kecil yang tampak sepele, yang kadang sampai menggerogoti hingga akhirnya tak tertahankan dan mengganggu rutinitas sehari-hari terselesaikan hanya dengan satu kalimat: “Itu sifat laki-laki.”

Sudah lebih dari sepuluh tahun Lena menikah dengan Dodi, tapi tetap saja ia belum sepenuhnya memahami sifat dan karakter suaminya. Hal-hal kecil dan besar yang Dodi katakan dan lakukan, seringkali membuatnya terperangah, bahkan trauma. Bahkan sudah dua tahun ini Lena merasa kekuatannya terkuras habis. Remuk redam. Bagaimana tidak? Dalam upayanya yang tertatih-tatih untuk menyatukan kepingan-kepingan dirinya, ia masih harus terus bergumul menghadapi badai bernama Dodi yang sering kali muncul tiba-tiba. Entah sudah berapa banyak luka yang tertoreh. Luka yang semakin lama semakin sulit sembuh, yang semakin lama semakin menciptakan kegetiran. Bukan, bukan karena Dodi memukul dan menyiksanya, tapi karena suaminya itu seolah meracuni pernikahan mereka dengan kecemasan, ucapan blak-blakan yang tanpa tedeng aling-aling, pandangan berbumbu cemoohan yang kerap ditujukan padanya, yang bagi Lena terasa bagai anak-anak panah tajam tak berperasaan.

“Kok diam? Apa yang kaupikirkan, Nak?” tanya Oma lembut.

Orang bilang perbedaan karakter dalam perkawinan itu baik, agar suami-istri bisa saling melengkapi. Ibaratnya seperti batu dan air bertemu, langit dan bumi bersatu, utara dan selatan bergandengan tangan, bumbu-bumbu cinta itu menyedapkan. Tapi rasanya aku belum juga bisa sepenuhnya memahami hal itu,” ucap Lena sambil menerawang. Ia menggeleng.

“Seandainya batu dan air dipertemukan, siapa kira-kira yang bakal lebih menderita, batu yang keras ataukah air yang lembut? Seandainya langit dan bumi bisa bersatu, siapa yang bakal mengalah? Langit yang turun ke bumi, atau bumi yang bakal terbang ke langit? Ah…betapa gilanya pemikiran-pemikiran yang mendadak berkecamuk ini…” Lena dengan cepat berusaha menepis semua itu.

Tangan Oma yang lembut menggenggam tangan Lena, menenangkannya. Ada senyum mengerti di wajah yang termakan usia itu. “Pernah ada buku yang menulis begini: Semakin kamu memahami suamimu, kamu akan menjadi semakin sabar menghadapinya. Tapi kalimat itu tidak pernah berlaku searah. Itu juga berlaku bagi suami tentang istrinya. Kita masing-masing datang ke pernikahan dengan semua adat budaya dan luka masa lalu kita, Lena. Luka yang tak berhasil disembuhkan itu biasanya jadi senjata untuk melukai orang lain. Itu sebabnya pernikahan tidak mudah. Jangan pernah tertipu dengan film-film di layar lebar apalagi drakor,” Oma tersenyum lagi.

Budayayamungkin itu masalahnya. Dodi berasal dari budaya yang memang keras dan blak-blakan. Apalagi ia anak sulung yang sering ditempa banyak bully-an, tanggung jawab, dan kerja keras. Mungkin itu yang membentuknya menjadi laki-laki serba bisa yang berusaha bertanggung jawab terhadap segala sesuatu, namun juga tidak sabar menghadapi berbagai hal, keadaan, maupun orang yang seolah menghambatnya. Sebaliknya, Lena sendiri dari budaya yang cukup tenang, yang menjunjung kesopanan dan kesungkanan sebagai sesuatu yang berharga. Dibesarkan dalam lingkungan keluarga dengan tingkat kesopanan yang tinggi, ia bahkan tidak memiliki banyak perbendaharaan kata-kata kasar selama hidupnya.

Namun, sejak memasuki pernikahan, hampir setiap hari ia mendengar kata-kata yang mungkin blak-blakan bagi orang lain, tapi nyelekit baginya. Entahkah itu ditujukan pada dirinya ataupun orang lain. Dan semua yang dianggap biasa oleh Dodi, dikenali sebagai pelanggaran sopan santun bagi Lena. Alhasil, Lena memasang benteng pertahanan agar ia sendiri tidak menjadi lemah dan melarikan diri, sama sekali tidak sadar bahwa sikap siaga ini membuatnya semakin sulit menumbuhkan keinginan untuk memahami, mendengarkan, bahkan mungkin… mencintai suaminya? Ah.

“Lena… kemari, kemari,” tiba-tiba Oma membangunkan Lena dari pikiran-pikirannya yang kusut, menariknya ke hadapannya.

Lena berlutut di hadapan Oma, sehingga wajah mereka sejajar. Wajah Oma yang penuh garis-garis kehidupan itu memandangnya dengan lembut.

“Pernikahan memang tidak mudah, itu sebabnya kita tidak pernah menjalaninya berdua, tidak mengasihi suami kita dengan kasih kita, dengan kesabaran kita, dengan pemahaman kita, melainkan dengan bantuan Roh, kita dapat melakukan semua itu. Itulah keindahan pernikahan Kristen, Lena, kita tidak pernah melakukannya berdua saja. Ya?”

Lena mengangguk. Rasanya jiwanya yang kering mendapat siraman kasih yang begitu indah, hingga ia tidak dapat menamainya.

Ya, aku harus tetap kuat, aku harus tetap tegar, batinnya. Tiba-tiba ia teringat sebuah kutipan indah yang pernah dibacanya dalam sebuah artikel. “But when we have confidence that the Spirit will use us, we become more resilient, creative, and engaged.” Ya, ketika kita percaya bahwa Roh Kudus ingin memakai kita untuk menyatakan kemuliaan Tuhan, maka kita akan ditolong untuk menjadi lebih tangguh, kreatif, dan bertahan. Terutama dalam pernikahannya ini. Ia pasti kuat. Pernikahan mereka akan kuat melewati semua ini.

“Kalau Opa masih hidup, mungkin dia juga akan bilang, ‘Memang begitu sifat wanita!’” Oma tersenyum lebar. “Ingat, Lena, wanita itu kuat dalam mencinta, maka tak heran, Adam pernah bilang, Inilah tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ungkapan yang indah, bukan? Benar-benar menggambarkan hubungan kedekatan yang erat. Ungkapan daging dan tulang’ ini bukan hanya berarti harafiah saja, kau tahu? Juga bukan hanya menyiratkan ide tentang perjanjian atau loyalitas, tapi juga perpaduan antara kekuatan dan kelemahan. Kau masih ingat, kan, materi di kelas Opa dulu?”

Lena mengangguk. Ya, ia ingat. “Dalam konsep antropologi PL daging (bâśâr) sering kali menyiratkan makna kelemahan dan kefanaan hidup manusia. Sebaliknya, tulang (‛etsem) merefleksikan makna kekuatan. Perpaduan inilah yang di kemudian hari dijadikan dasar dari kekuatan pernikahan. Seolah Adam ingin mengatakan, Hai wanita, engkau adalah kuatku sekaligus lemahku,’ suatu bentuk hubungan rumit yang sulit untuk dideskripsikan.

Seorang wanita tidak lagi pribadi yang terpisah dari seorang pria ketika mereka telah menikah. Mereka telah menjadi satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Tanpa Allah, kesatuan yang sejati dan sempurna itu mustahil adanya.

Setiap manusia berbeda, cara melihat, cara memaknai pernikahan, apalagi laki-laki dan perempuan yang memiliki sifat khas masing-masing. Misalnya, orang yang sabar akan mudah bereaksi terhadap orang yang kurang sabar. Namun sebaliknya, orang yang kurang sabar akan mudah bereaksi terhadap orang yang terlalu sabar. Keduanya bergumul dengan keadaan masing-masing. Keduanya bergumul dengan perasaan masing-masing terhadap pasangannya. Meski demikian, keduanya terus mencoba menjadi lebih baik pada satu sama lain. Kelebihan yang satu menutupi kekurangan yang lain.

Kita perlu mengusahakan pernikahan, tapi juga perlu kebesaran hati untuk menerima bahwa pernikahan kita tidak seindah di drakor atau di medsos, dan intinya memang bukan itu. Karena tujuan pernikahan adalah menciptakan kesatuan yang menghasilkan perlindungan dan kebahagiaan yang terikat dalam perjanjian ilahi.

Yuk berjalan berdampingan untuk

Menjadi Orangtua Sebaik yang Kita Bisa.

Kami akan menampilkan artikel, kesaksian, dan tips-tips parenting setiap minggunya.

Klik untuk SUBSCRIBE