Ketika Tuhan mengambil suamiku saat ia tengah berada di puncak pelayanannya, di situ aku merasa gamang. Tak pernah terbayangkan bahwa Ago, suamiku, akan berpulang di usia yang relatif muda, 48 tahun. Aku menemukannya tersungkur dekat tangga pada jam 12.30 malam. Ternyata ia mengalami stroke setengah badan, tetapi setelah mendapat perawatan di rumah sakit, kondisinya berangsur membaik meski sebelah tangannya masih belum bisa digerakkan. Siapa yang menyangka, hanya selang beberapa hari kemudian, kondisinya memburuk dan ia berpulang, meninggalkan aku dan kedua anak kami.

Yuliana Komul 1

Foto: Keluarga kecilku saat masih lengkap

Ketika dipanggil Tuhan, suami masih sangat aktif dalam pelayanan. Selain sebagai gembala sebuah komunitas kecil yang terdiri dari beberapa keluarga, ia juga terlibat aktif dalam penulisan renungan harian gereja dan sesekali naik mimbar. Selain itu, berdua kami melayani sebagai majelis gereja.

Beberapa hari setelah ia meninggal, aku mulai merenungkan pelayanan yang selama ini kami jalani bersama sebagai majelis dan gembala komunitas kecil. Aku merasa seolah sayapku menjadi patah sebelah. Ini bukanlah keadaan yang mudah untuk kutanggung. Di gereja kami, majelis selalu terdiri dari pasangan suami-istri, sehingga jelas, dalam kondisi “sayap” yang patah sebelah, aku merasa tidak pantas lagi melayani di sana. Namun, bukan itu yang terberat. Yang membebani pikiranku adalah bagaimana nasib komunitas kecil yang selama ini digembalakan oleh suami. Ya, komunitas ini terdiri dari beberapa keluarga. Hubungan kami sebagai gembala dan jemaat terjalin sangat hangat dan akrab. Susah-senang kami jalani bersama. Bila ada masalah dan persoalan dalam rumah tangga mereka, jemaat komunitas kami tidak langsung meminta bantuan gembala gereja, tetapi akan berkonsultasi dulu dengan kami berdua. Masalah apa saja bisa mereka bawa kepada kami: masalah anak, masalah suami-istri, masalah ekonomi, pun masalah dalam pelayanan.

Mengingat itu semua, jujur aku merasa berat bila harus meneruskan pelayanan ini. Bagaimana tidak, aku kini sendiri. Tidak ada lagi imam yang membimbing dan memimpin aku. Apakah keluarga-keluarga yang selama ini dibimbing dan dibina oleh suamiku, mau dibimbing dan dibina oleh aku, seorang wanita?

Setelah cukup lama merenung, aku memutuskan untuk menemui gembala gereja dan mengembalikan pelayanan ini kepada beliau. Alasanku, aku merasa tidak kompeten dalam memimpin jemaat, karena tidak lagi memiliki suami. Padahal, yang aku pimpin adalah pasangan-pasangan. Namun, tak disangka Pak Gembala ternyata malah mengembalikan kepercayaan itu kepadaku, disertai kalimat penguatan: “Saya yakin Tuhan memampukan Ibu memimpin domba-domba yang Dia percayakan. Jangan melihat kondisi Ibu yang sendiri sekarang. Sejak dulu pun sebenarnya Bapak dan Ibu mengandalkan Tuhan, bukan mengandalkan diri sendiri. Jadi, kalau sekarang Ibu berjalan sendiri tanpa Bapak, sesungguhnya Ibu tidak sendirian. Karena ada Tuhan yang bisa Ibu andalkan.”

Aku tercenung mendengar perkataan itu. Perlahan, kesadaran baru terbit dalam hatiku. Sebuah ayat pun muncul dalam benak, yang aku yakin merupakan cara Roh Kudus menguatkanku: “Ia takkan membiarkan kakimu goyah, Penjagamu tidak akan terlelap” (Mazmur 121:3). Dan satu ayat lagi: “Dia memberi kekuatan kepada yang lelah dan menambah semangat kepada yang tiada berdaya” (Yesaya 40:20).

Ya! Benar saat ini kakiku goyah, dan aku lelah, tetapi syukur kepada Allah, Dia memberiku kekuatan baru! Mengapa aku harus takut? Bukankah ada Allah, Sumber Segala Hikmat, yang akan membimbing dan memimpinku? Bukankah jika Dia yang memilih, maka Dia yang akan memperlengkapi? “God does not call the equipped, He equips the called.” Artinya: Allah tidak memanggil orang yang lengkap (mampu dan memiliki segala yang dibutuhkan dalam pelayanan), tetapi Dia memperlengkapi orang yang Dia panggil.

Yang lebih melegakan lagi, domba-domba yang selama ini kami gembalakan, sepenuhnya mendukungku melanjutkan pelayanan ini. Sama sekali tak pernah terbesit dalam benak mereka bahwa aku akan mundur. Karena mereka merasa aku pasti mampu melanjutkan pelayanan ini. Dukungan tulus mereka membuatku semakin mantap melangkah.

Yuliana Komul 2

Foto: Komunitas kecilku “El Shaddai” kini

Memang, tidak mudah menjalani pelayanan ini. Ada masa-masa ketika aku merasa sangat membutuhkan kehadiran suami, seperti ketika gereja mengadakan “Bulan Keluarga” dan memberikan materi-materi khusus keluarga untuk dibahas di komunitas-komunitas kecil selama sebulan penuh. Dalam materi tersebut, ada bagian-bagian yang khusus berbicara tentang bapak dan perannya sebagai imam dalam rumah tangga. Namun, aku menyiasatinya dengan mengajak komunitas kecilku bergabung dengan komunitas kecil lain yang ada imamnya. Dengan begitu, para pria dapat belajar tentang peran mereka dari pria sendiri. Atau ketika gereja berbicara tentang “fathership-sonship”, aku berusaha sedapat mungkin menghadirkan pembicara yang berkompeten dalam hal itu untuk mengajar di kelompok kecilku. Berbagai kesulitan yang kuhadapi kurasakan justru semakin menempaku untuk tidak mudah menyerah dalam menjalani pelayanan ini.

Kini, dua tahun telah berlalu sejak masa-masa suram dan gamang itu. Komunitas kecil yang “diwariskan” suamiku kepadaku, telah semakin berkembang. Keluarga-keluarga baru Tuhan kirimkan ke komunitas kami untuk tumbuh bersama secara rohani. Bersyukur, meski gaya kepemimpinanku sama sekali berbeda dengan gaya kepemimpinan almarhum suamiku dulu, namun itu sama sekali tak mengganggu pertumbuhan komunitas ini. Semua dengan cepat menyesuaikan diri dan berkat anugerah Tuhan, komunitas ini semakin kuat dan berkembang. Kelak, aku percaya, dari komunitas ini lahir gembala-gembala baru yang akan memimpin komunitas kecil lainnya.

Sayapku yang dulu sempat patah, telah Dia bebat dengan penuh kasih hingga pulih sempurna. Oleh anugerah-Nya, kini aku dapat terbang kembali bersama-Nya. Terima kasih, Tuhan.

 

Ditulis oleh Monica Dwi Chresnayani berdasarkan kesaksian Yuliana Komul.

Pastikan Anda tidak ketinggalan membaca tulisan-tulisan terbaru kami lainnya.

Klik untuk SUBSCRIBE